"Dia sudah tidur lagi," Luna mengamati wajah Bian yang kembali terlelap setelah meminum obat. Menjelang sore, Luna turun dari kamar. Ia harus menemui Sarena sebelum gadis itu juga ikut merajuk padanya. Sampai di ruang utama, dia tidak menemukan Sarena sama sekali. Saat ia hendak mencarinya ke dapur. Bel rumah berbunyi. Dia bisa saja mengabaikannya dan membiarkan pelayan membuka pintu untuknya. Tapi, dia tidak melakukannya. Luna berlari kecil menuju pintu. Dibukanya kedua daun pintu yang besar itu. Sulit menentukan wanita mana yang lebih terkejut ketika saling melihat. Tamu itu yang lebih dahulu membuka suara dan bertanya pada Luna. "Siapa kamu?" Wanita itu menegakkan tubuhnya. Kulit yang membalut tulang wajahnya yang klasik sangat halus sehingga tidak tampak garis atau kerut sama sekali. Dengan dingin wanita itu berkata, "Aku bertanya padamu." "Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu?" Luna menolak untuk menjawab siapa dirinya. Dia mengamati wanita itu. Pakaiannya
"Kamu tidak bisa ke sana," Luna menghentikan Irana yang hendak melangkah menuju lantai dua. Selain Bian memang tidak ada di sana, seingat Luna, lantai dua terlarang untuk siapa pun. "Maaf?" Luna tahu Inara mengerti maksudnya. "Kamu tidak diijinkan naik ke atas," tegas Luna yang langsung membuat wajah Inara masam. "Aku ingin bertemu Bian." "Dia sedang istirahat. Dan aku tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya." Inara terlihat tidak suka dengan apa yang Luna katakan. Wanita itu kembali melayangkan tatapan menilai padanya. Dan terlihat di wajah Inara jika dia merasa lebih hebat dari Luna. Inara menoleh ke arah Sarena, seolah meminta dukungan. Sarena terlihat sedikit tegang, tetapi akhirnya menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Luna benar. Bian butuh istirahat." Sarena tidak menjelaskan bahwa Bian sedang sakit. Bisa-bisa Inara langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Inara mendesah, tampak kesal, tetapi akhirnya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi menyera
"Rumah ini sesuai inginku." Kata itu terus terngiang di telinga Luna. Luna berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya sejauh mungkin dari rumah. Saat sebuah mobil menekan klakson dengan nyaring, Luna terlonjak kaget, dan berbalik dengan niat untuk meluapkan amarahnya. Namun, begitu melihat Saka tersenyum padanya, kemarahan yang hendak meluap itu segera mereda. “Onty Luna, mau kemana?” tanya Saka, dengan nada yang lembut namun penuh keceriaan. Ayah dari bocah itu keluar dari mobil. Adam tersenyum padanya, Luna membalasnya dengan canggung mengingat pertemuan terakhir mereka. "Hai," sapa Adam dengan santai. "Kamu mau kemana?" Adam menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa gerangan teman Luna. Mungkin saja Bian muncul entah darimana. "Eum, itu, Pak..." "Onty ikut kami saja. Saka dan Papa mau cari makan."Sekarang apa yang Bian dan Inara lakukan di rumah impian mereka? Batin Luna. "Bagaimana? Kamu mau ikut?" Pertanyaan Adam menyentakkan lamunannya. "Ah, ya, b
Mendengar apa yang dikatakan pelayan, Luna bisa menduga jika hubungan Bian dan wanita itu cukup intens. Pelayan sampai mengenal dan tahu kebiasaannya. Saat Luna kembali ke ruang utama, Bian tidak ada di sana. Inara pun demikian. Ia kembali ke kamar, tidak berniat untuk mencari keberadaan keduanya. Ia butuh air dingin untuk meredamkan otak dan hatinya yang panas. "Kamu belum menjawab pertanyaanku," Bian masuk ke dalam kamar saat Luna baru saja masuk ke dalam selimut. Kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa tidak mengejarku dari tadi. Sibuk dengan Inara? Luna menatapnya, tapi tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud Bian. Seingatnya, dia sudah menjawab apa pun yang ditanyakan Bian padanya. "Kamu dengar aku, Luna." Pria itu berjalan mendekati ranjang. "Aku lelah, aku mau tidur." "Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku." "Pertanyaan yang mana yang kamu maksud, Mas?" Nadanya ketus tidak bersahabat. Tidak peduli apakah Bian akan marah padanya atau tidak. "Darimana
Luna benar-benar tidak mengerti sebagai apa dirinya di mata Bian. Terkadang sikap manis Bian membuatnya terbuai. Namun, di saat ia terbuai dan merasa hubungan mereka mulai dekat, Bian tiba-tiba menjaga jarak.Luna menatap Bian yang tertidur lelap, sementara dia tidak bisa memejamkan mata sejak perdebatan mereka yang berujung bercinta gila-gilaan.Perlahan Luna turun dari ranjang. Keluar dari kamar menuju dapur. Mendadak perutnya sangat lapar. Ruang keluarga masih terang benderang. Rupanya ada Sarena yang masih menonton sambil rebahan menikmati popcorn.Luna berjalan mendekatinya. Sarena langsung duduk tersenyum canggung."Belum tidur?" Tanya Luna sambil mengambil beberapa butir popcorn yang disodorkan Sarena padanya. "Belum mengantuk. Kamu kenapa belum tidur?"Luna mengangkat kedua bahunya, "Aku sedikit gelisah.""Karena Inara?" Tebak Sarena."Kamu berbohong padaku," Luna menatap Sarena dengan kecewa. Gadis itu menutupi kebenaran tentang Inara yang dia ungkapkan saat mabuk. "Maafka
"Apa maksudmu dengan foto-foto itu?" Luna menghubungi Ana dengan suara berbisik sambil matanya terus mengawasi Bian yang masih terlelap. Terdengar tawa renyah Ana di seberang telepon. "Aku tahu kamu tidak bodoh, Luna. Kamu jelas mengerti dengan maksudku. Jika kamu penasaran, aku bisa mengirim yang lainnya padamu. Coba bayangkan bagaimana reaksi suamimu? Kutebak, suamimu tidak tahu keliaranmu ini, bukan? Astaga, Luna... Kenapa kamu berani sekali. Well, kamu memang sangat liar." "Kamu pikir aku takut dengan ancaman, Ana?" "Ah, aku justru senang mendengar betapa kamu sangat bernyali. Ya sudah, selamat malam. Juan sedang menuntut perhatianku." Ana memutuskan sambungan telepon. Luna masih bergeming, menatap layar ponselnya, seolah fotonya dan Adam masih ada di sana. Sebelum kembali naik ke atas ranjang, Luna menonaktifkan ponselnya. Dia takut Ana mengusiknya dan mengirim foto-foto lain dan Bian melihatnya. Begitu ia naik ke ranjang, Bian langsung memeluk perutnya. Dan jika Ana ber
"Apa yang kamu inginkan?" Luna langsung bertanya tanpa basa-basi begitu ia sampai di tempat ia dan Gunawan berjanji. Luna bisa saja mengabaikan pesan dari Gunawan, tapi ia yakin ayahnya akan terus mendesak jika inginnya tidak dipenuhi. "Duduklah dulu," kata Gunawan sambil menyentakkan dagu ke arah kursi yang ada di hadapannya. Meski desakan ingin melayangkan kata-kata sengit, Luna tetap menuruti ingin Gunawan. Meja mereka sudah penuh dengan sisa bekas makanan. Rupanya mereka sudah makan siang tanpa repot-repot menunggunya. "Lagi pula, kita sudah lama tidak bertemu," kata wanita yang duduk di sampingnya. Ibu Ana. "Dan sangat tidak mungkin kalian mengajakku bertemu karena sangat merindukanku," sarkasnya dengan ekspresi wajah masam yang tidak berusaha ia sembunyikan. Ia yakin ada sebab lain, selain rindu tentunya. Ibu tirinya tertawa sinis, balik menatapnya dengan jengkel. "Apa kamu sudah merasa hebat setelah menikah dengan Bian Sagara sehingga kamu kehilangan sopan santunmu."
Bian sedang sibuk memeriksa dokumen yang menumpuk. Setelah benar-benar pulih, dia mulai sibuk lagi mengurus perusahaan. Gunawan benar-benar banyak melakukan kecurangan selama dia fokus pada kesehatannya. Keputusan tepat memang memecat pria serakah itu. Terlalu fokus, sampai ketukan di pintu tidak ia dengar sama sekali. Mencium aroma yang familier, akhirnya ia mendongak. Inara muncul dengan wajah sumringah. "Hai," sapa wanita itu dengan riang gembira. "Kejutan," imbuhnya dengan semangat. Ya, Bian memang sedikit terkejut dan agak bingung kenapa Inara ada di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Bian bertanya dengan nada dan ekspresi yang sama datarnya walau beberapa detik lalu dia sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. "Bekerja," sahut Inara, masih dengan nada sumringah. Dia berjalan anggun mendekati Bian. "Ini hari pertamaku, bagaimana jika nanti kita makan siang bersama." "Aku sibuk." "Jam makan siang harusnya istirahat," Inara mengusap pundak Bian. "Sudah dua tahu
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat