"Apa yang kamu inginkan?" Luna langsung bertanya tanpa basa-basi begitu ia sampai di tempat ia dan Gunawan berjanji. Luna bisa saja mengabaikan pesan dari Gunawan, tapi ia yakin ayahnya akan terus mendesak jika inginnya tidak dipenuhi. "Duduklah dulu," kata Gunawan sambil menyentakkan dagu ke arah kursi yang ada di hadapannya. Meski desakan ingin melayangkan kata-kata sengit, Luna tetap menuruti ingin Gunawan. Meja mereka sudah penuh dengan sisa bekas makanan. Rupanya mereka sudah makan siang tanpa repot-repot menunggunya. "Lagi pula, kita sudah lama tidak bertemu," kata wanita yang duduk di sampingnya. Ibu Ana. "Dan sangat tidak mungkin kalian mengajakku bertemu karena sangat merindukanku," sarkasnya dengan ekspresi wajah masam yang tidak berusaha ia sembunyikan. Ia yakin ada sebab lain, selain rindu tentunya. Ibu tirinya tertawa sinis, balik menatapnya dengan jengkel. "Apa kamu sudah merasa hebat setelah menikah dengan Bian Sagara sehingga kamu kehilangan sopan santunmu."
Bian sedang sibuk memeriksa dokumen yang menumpuk. Setelah benar-benar pulih, dia mulai sibuk lagi mengurus perusahaan. Gunawan benar-benar banyak melakukan kecurangan selama dia fokus pada kesehatannya. Keputusan tepat memang memecat pria serakah itu. Terlalu fokus, sampai ketukan di pintu tidak ia dengar sama sekali. Mencium aroma yang familier, akhirnya ia mendongak. Inara muncul dengan wajah sumringah. "Hai," sapa wanita itu dengan riang gembira. "Kejutan," imbuhnya dengan semangat. Ya, Bian memang sedikit terkejut dan agak bingung kenapa Inara ada di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Bian bertanya dengan nada dan ekspresi yang sama datarnya walau beberapa detik lalu dia sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. "Bekerja," sahut Inara, masih dengan nada sumringah. Dia berjalan anggun mendekati Bian. "Ini hari pertamaku, bagaimana jika nanti kita makan siang bersama." "Aku sibuk." "Jam makan siang harusnya istirahat," Inara mengusap pundak Bian. "Sudah dua tahu
Bian menatap kosong hasil USG yang ditinggalkan Inara di atas mejanya. Kemudian dia memasukkannya ke dalam laci. Ini kejutan yang jelas sangat tidak ia harapkan sama sekali. Nathan muncul di ruangannya. Mengumumkan bahwa Inara memang diterima melalui prosedur yang ditetapkan perusahaan. "Kamu bahkan melewatkan hal ini?" "Menyeleksi karyawan, bukan pekerjaanku, Tuan, kecuali Anda memberi perintah khusus." Bian tidak mendebat Nathan tentang hal itu. Asistennya itu benar adanya. Hanya saja tidak pernah ia duga Inara akan muncul lagi dan justru melibatkan diri dalam kehidupannya. "Awasi dia." "Baik, Tuan." Bian kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi, Nathan masih bergeming di sana. Bian mengangkat kepala, menatap asistennya itu dengan heran. "Sepertinya masih ada hal yang ingin kamu laporkan?" Bian mengetukkan jemarinya di atas meja. "Ini tentang istri Anda, Tuan." Bian terdiam sejenak, ketukan jarinya di meja juga berhenti. "Lanjutkan," katanya kemudian. "Sekitar jam satu
Hari yang buruk, benar-benar sangat buruk menurut Luna. Dia tahu dia sedang diperas, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti kemauan keluarganya yang tidak tahu diri. Jika Ana berani meminta 500 juta, dia yakin jika Gunawan akan meminta lebih daripada itu. Dan dia akan semakin tidak berdaya jika Gunawan mengancam akan memindahkan makam ibunya. Jika seperti ini, bisa-bisa dia tidak akan mampu mewujudkan impiannya untuk membangun kafe. Di tengah dilema yang menyerangnya, ponselnya berdering. Panggilan dari Adam. "Halo, Luna?" "Iya, Pak." "Tidak masuk lagi hari ini?" "Maaf, Pak, saya ada urusan mendadak. Mungkin minggu depan saya baru bisa masuk." "Bagaiman dengan proposalmu, sudah direvisi." "Sudah, Pak," bohongnya. Padahal belum direvisi sama sekali. "Eum, omong-omong soal bangunan yang ingin kamu beli, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Pak. Belum ada yang cocok dari yang kita lihat kemarin." "Nah, saya ingin mengabari bahwa teman saya ingin
"Kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mas."Hiburan yang ia butuhkan hanya dorongan semangat dari seorang teman. Tapi Luna tidak akan bisa mendapatkan hal itu dari seorang Bian, yang berstatus sebagai suaminya. Hubungan yang hambar ini sudah cukup membuatnya tertekan, ditambah lagi ancaman dari keluarganya, membuatnya semakin tertekan. Lagi pula, Bian tidak harus tahu apa masalahnya karena sepertinya Bian juga tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Dan Bian bukan tipikal yang menurut Luna akan dengan senang hati meluangkan waktu beberapa menit untuk saling berbagi kisah. Dan Luna, kamu juga bukan orang yang mudah untuk berbagi kisahmu dengan siapa pun, jadi jangan mengeluh! Batin Luna."Apa yang kamu lakukan hari ini?" Tanya Bian meski dia sudah tahu apa saja yang sudah dilakukan istrinya."Aku pergi makan siang."Bian menganggukkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari Luna. "Dengan?""Teman," sahut Luna singkat tanpa berani menatap wajah pria itu.Bian tidak bertanya lagi. Dia n
"Kudengar Inara kembali." Julian datang mengunjungi Bian. Keduanya berbincang di ruang kerja pria itu untuk menghindari gangguan apa pun. "Seperti biasanya jangkauan beritamu sangat cepat.""Kenapa dia kembali?"Bian juga mempertanyakan hal itu berulang kali dalam hatinya. Kenapa setelah sekian tahun Inara muncul? Kenapa butuh dua tahun untuk memberitahu tentang perihal kehamilannya. Bian mengangkat kedua bahunya. "Jika kau penasaran, kau bisa bertanya padanya."Julian mendengus, "Ada kau, kenapa aku harus bertanya padanya.""Dia juga bekerja di perusahaan."Julian bersiul. "Wow, apakah dia sedang berusaha memikatmu lagi, Kawan?"Bian tidak menanggapi. "Luna sudah tahu?""Bahwa dia mantan kekasihku? Ya.""Apa reaksinya?"Bian mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat reaksi istrinya saat Inara muncul di rumah mereka. Luna tidak menunjukkan reaksi apa pun selain memilih pergi. Luna sangat pintar menyembunyikan apa yang sedang dia rasakan. Baru tadi malam Bian melihat Luna serapuh itu
Luna berdiri di depan pintu kamar yang ada di lantai dua, pikirannya berkecamuk. Ia mengingat peringatan Nathan tentang larangan yang diberikan Bian, namun rasa penasaran begitu kuat menariknya. “Hanya mengintip sedikit...,” gumamnya pelan. Dengan perlahan, Luna membuka pintu kamar itu dan melangkah masuk. Ruangan tersebut persis seperti apa yang dikatakan Inara. Sebuah kamar luas dengan desain elegan dan modern. Jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota, perpustakaan kecil di sudut ruangan, serta kamar mandi yang mewah. Ini jelas bukan sekadar kamar biasa—ini adalah kamar yang dirancang dengan penuh perhitungan, sesuai impian seseorang.Dan impian itu... milik Inara.Hati Luna terasa sakit. Rasanya seperti setiap sudut ruangan berbisik, mengingatkannya bahwa ini adalah dunia Inara. Dunia yang pernah menjadi bagian dari hidup Bian, cinta pertamanya, wanita yang pernah mendominasi hatinya. Perasaan iri dan kecewa membanjiri dirinya. Ia merasa seperti penyusup di rumahnya sendir
Luna merasakan setiap kata yang diucapkan Inara seperti duri yang menusuk hatinya. "Untuk saat ini." Kalimat itu berulang di kepalanya, menggetarkan perasaan yang dia coba redam sejak pertama kali melihat Inara. Namun, dia tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang Inara yang kembali, tapi juga tentang mempertahankan apa yang seharusnya miliknya sekarang—Bian, suaminya. "Kau mungkin cinta pertama Bian," Luna menatap tajam, tak ingin tampak lemah. "Tapi aku adalah orang yang ada di sisinya sekarang." Inara hanya tersenyum kecil, seperti seseorang yang merasa yakin bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai keinginannya. "Waktu akan menjawab semuanya, Luna. Kadang, seseorang hanya butuh waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya mereka inginkan." Luna menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat. "Jika kamu berpikir Bian akan kembali padamu, kau salah. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." "Apakah kamu yakin?" Inara mendekat, suaranya nyaris berbisik. "Kamu tahu betapa kuatnya
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat