Sarena menyeret tangan Luna memasuki sebuah klub bernama Vortex. Dari luar, bangunan itu sudah mengesankan dengan lampu neon yang berkedip-kedip dalam warna-warna mencolok, memberi tahu siapa pun yang lewat bahwa tempat ini bukan untuk yang berjiwa lemah. Begitu mereka masuk, Luna langsung disambut oleh suara musik yang menggema, dentuman bass yang mengguncang lantai, dan kilatan lampu strobe yang memecah kegelapan. Semua itu menciptakan atmosfer yang serba cepat dan sedikit menyesakkan bagi Luna. Di dalam, aroma campuran minuman keras, asap rokok, dan parfum mahal tercium kuat. Orang-orang di sekitar tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri, sebagian besar sudah dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk. Mereka berdansa dengan penuh semangat, tubuh mereka bergerak seirama musik yang menggelegar, sementara beberapa lainnya berkerumun di bar, berbicara terlalu keras agar bisa saling mendengar. Luna merasa ragu dan tak nyaman. Matanya menatap sekitar, melihat wajah-wajah yang kebanya
Luna menghubungi Miya, satu-satunya orang yang bisa ia minta tolong. “Maaf sudah mengganggu tidurmu,” ucap Luna penuh sesal saat Miya muncul dengan wajah cemberut dan penasaran. Hari sudah hampir tengah malam. “Terima kasih sudah bersedia datang.” Miya memutar bola matanya. “Aku pikir aku salah dengar saat kamu bilang kamu di klub. Astaga, Luna, kamu benar-benar ya, mau belajar jadi liar?” Luna menggelengkan kepala. “Tempat ini mengerikan. Jalan cepat menuju neraka. Pak Adam ada di sana. Tolong antarkan dia sampai selamat.” “Kamu harus membayar mahal untuk ini,” kata Miya sambil menerima kunci mobil Adam yang berhasil Luna ambil dari kantong pria itu. “Nomor ponsel Nathan, aku akan memberikannya,” sahut Luna. “Oke. Lalu, kamu?” “Aku akan menyetir. Adik iparku sudah pingsan di sana.” Miya menoleh ke dalam mobil. Sarena duduk terkulai dengan rambut acak-acakan yang menutupi wajahnya. “Hais...mengapa ada orang-orang yang suka mabuk,” kata Miya sinis. Luna tidak menyangkal kata-
Sinar matahari menyeruak dan membuat Luna terbangun dari tidurnya. Luna menatap Bian yang sedang memakai jam tangannya. Bian bangun lebih awal lagi dari Luna. Jam berapa pria itu pulang, dia pun tak tahu. Yang jelas sekarang Bian sudah mengenakan pakaian rapi dan sudah terlihat segar dan menawan. "Bagaimana acara semalam? Siapa yang menang?" Hah? Luna terkejut mendengar pertanyaan Bian. Mengapa dia bertanya siapa yang menang? Apa dia tahu apa yang terjadi tadi malam? "Ada masalah?" Bian mendekati Luna. Kali ini tatapannya berusaha menyelidiki sikap diamnya Luna. Luna buru-buru menggeleng. "Kutebak, Sarena pasti pemenangnya. Dia memang tahu cara menghabiskan uang. Apa yang kamu beli?" Luna menghela nafas lega begitu menyadari maksud pertanyaan Bian adalah mengenai acara berbelanjanya dengan Sarena. "Ya. Dia belanja banyak. Aku hanya belanja beberapa barang." Luna beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju kantong belanjaan yang diletakkan di sudut ruangan. Ia mengintip
"Terima kasih sudah mengantarku." Ya, pada akhirnya Bian bersikeras untuk mengantar Luna ke kampus. Dan sekarang mereka sudah sampai. Luna akhirnya berbohong pada Bian dan mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi padanya semalam. Bian tidak menyahut. Sepenjang perjalanan mereka hanya saling diam. Meski berusaha menghindar untuk menatap wajah Bian, Luna tetap saja diam-diam melirik tangan Bian saat menarik tuas mobil. Bagaimana jari-jari Bian yang panjang mengepal di sana. Ini pertama kalinya dia melihat Bian menyetir. Dan ini pertama kalinya mereka berduaan di mobil. Bagi Luna ini sangat intim. Jantungnya berkhianat, dia berdebar. "Sebaiknya aku turun. Kelasku akan dimulai sebentar lagi." Saat Luna hendak turun, Luna baru menyadari bahwa Bian masih mengunci pintu mobil, Luna otomatis tidak bisa keluar dari sana. Luna menoleh, bertanya dalam diam. Bian mencondongkan tubuhnya. Mata Luna melebar sebelum akhirnya terpejam secara naluri. Beberapa detik Luna menunggu, na
"Apa kau tidak memikirkan pandangan orang lain jika sampai mengetahui istri seorang Bian Sagara dekat dengan pria lain?" tanya Bian dengan nada tegas dan dingin, hampir seperti sebuah peringatan. Kata-katanya membuat Luna terdiam. Dia tahu Bian sedang marah, dan memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka berdua. Luna merasa campuran antara kesal dan dongkol. Baru saja tiba di kampus, sudah harus pulang lagi. Namun, di balik rasa kesalnya, ada ketakutan yang menjalar. Bian tampak sangat marah, dan Luna tidak berani menambah masalah dengan membuka percakapan lebih lanjut. Sesampainya di rumah, Luna berencana untuk langsung menuju kamar, menghindari perdebatan atau konflik yang mungkin terjadi. Namun, ketika dia baru saja hendak naik ke lantai atas, langkahnya terhenti. Sarena, yang kebetulan sedang menuruni tangga, datang dari arah berlawanan. "Kalian berdua, cepat duduk!" suara Bian terdengar dari ruang tamu. Nada suaranya jel
Luna memandangi wajah Sarena dengan cermat, mencoba mencari kejujuran di sana. Namun, ekspresi adik iparnya terlihat bingung, seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Luna. Hal itu semakin membuat Luna curiga bahwa Sarena sedang mengelak. Di dalam hatinya, Luna yakin ia tidak salah dengar tadi malam. Nama Inara jelas disebut sebagai kekasih Bian, dan itu cukup mengguncang hatinya. "Sarena, tadi malam kamu menyebut seseorang bernama Inara," kata Luna, suaranya pelan namun serius. "Kamu bilang dia adalah kekasih Bian." Sarena mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Namun, tatapannya masih tampak bingung. "Inara?" gumamnya, seolah mengulangi nama itu untuk mencoba memicu ingatannya. "Aku tidak ingat menyebutkan nama itu. Siapa dia?" Luna menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. "Kamu bilang Inara adalah kekasih Bian. Kamu bahkan menyebutnya dengan cukup jelas tadi malam." Mendengar penegasan itu, Sarena tampak terkejut. "Aku bilang begitu?" tanyanya, lebih kepada
"Kamu sudah tidur?" Bian memasuki kamar, menanggalkan satu persatu yang dia kenakan. Mulai dari jam tangan, jas, dasi dan membuka kemejanya hingga hanya kaos putih bersih yang melekat di sana. Luna yang sebenarnya belum tidur, memilih untuk diam. Berlakon seolah dia sudah tertidur lelap. Bian memasuki kamar mandi. Bersih-bersih sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan pria itu. Bian keluar tidak berapa lama. Pria itu sudah mengenakan celana piyama longgar tanpa atasan. Ranjang merengsek saat dia duduk di sisi yang kosong. Kemudian dia menarik selimut, masuk ke dalamnya.Luna masih enggan untuk menjawab. Namun, dirinya mulai sedikit tersentak begitu mendapati sentuhan hangat di wajahnya. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di ceruk leher Luna. Membuatnya merasa geli, hingga akhirnya ia semakin merasakan bahwa wajah Bian kian mendekat ke wajahnya. Luna membuka matanya, "Apa yang mau Mas lakukan?" Luna dapat melihat wajah Bian yang cukup dekat dengan wajahnya. Pria itu berusaha meny
Luna terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia merasa sedikit hangat dan nyaman karena ada sesuatu yang melingkar di perutnya. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia sadar itu adalah tangan Bian. "Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Membayangkan Bian mengangkatnya ke atas ranjang, hatinya menghangat. Perlahan, Luna berbalik dan menemukan Bian masih tertidur lelap. Sudah lama ia tidak melihat wajah suaminya dengan puas, tanpa beban, tanpa rasa canggung atau jaga jarak. Luna memanfaatkan momen ini untuk benar-benar memandangi Bian. Wajah Bian terlihat sangat tenang dalam tidurnya. Garis-garis wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut, memberikan kesan hangat yang jarang muncul dalam kesehariannya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru membuatnya tampak lebih natural dan mendekati sisi pria yang Luna jarang lihat. Tanpa sadar, jemari Luna bergerak, ingin menyentuh pipi Bian. Namun, dia menahan diri, khawatir akan membangunkannya. Perlahan, ia menar