"Terima kasih sudah mengantarku." Ya, pada akhirnya Bian bersikeras untuk mengantar Luna ke kampus. Dan sekarang mereka sudah sampai. Luna akhirnya berbohong pada Bian dan mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi padanya semalam. Bian tidak menyahut. Sepenjang perjalanan mereka hanya saling diam. Meski berusaha menghindar untuk menatap wajah Bian, Luna tetap saja diam-diam melirik tangan Bian saat menarik tuas mobil. Bagaimana jari-jari Bian yang panjang mengepal di sana. Ini pertama kalinya dia melihat Bian menyetir. Dan ini pertama kalinya mereka berduaan di mobil. Bagi Luna ini sangat intim. Jantungnya berkhianat, dia berdebar. "Sebaiknya aku turun. Kelasku akan dimulai sebentar lagi." Saat Luna hendak turun, Luna baru menyadari bahwa Bian masih mengunci pintu mobil, Luna otomatis tidak bisa keluar dari sana. Luna menoleh, bertanya dalam diam. Bian mencondongkan tubuhnya. Mata Luna melebar sebelum akhirnya terpejam secara naluri. Beberapa detik Luna menunggu, na
"Apa kau tidak memikirkan pandangan orang lain jika sampai mengetahui istri seorang Bian Sagara dekat dengan pria lain?" tanya Bian dengan nada tegas dan dingin, hampir seperti sebuah peringatan. Kata-katanya membuat Luna terdiam. Dia tahu Bian sedang marah, dan memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka berdua. Luna merasa campuran antara kesal dan dongkol. Baru saja tiba di kampus, sudah harus pulang lagi. Namun, di balik rasa kesalnya, ada ketakutan yang menjalar. Bian tampak sangat marah, dan Luna tidak berani menambah masalah dengan membuka percakapan lebih lanjut. Sesampainya di rumah, Luna berencana untuk langsung menuju kamar, menghindari perdebatan atau konflik yang mungkin terjadi. Namun, ketika dia baru saja hendak naik ke lantai atas, langkahnya terhenti. Sarena, yang kebetulan sedang menuruni tangga, datang dari arah berlawanan. "Kalian berdua, cepat duduk!" suara Bian terdengar dari ruang tamu. Nada suaranya jel
Luna memandangi wajah Sarena dengan cermat, mencoba mencari kejujuran di sana. Namun, ekspresi adik iparnya terlihat bingung, seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Luna. Hal itu semakin membuat Luna curiga bahwa Sarena sedang mengelak. Di dalam hatinya, Luna yakin ia tidak salah dengar tadi malam. Nama Inara jelas disebut sebagai kekasih Bian, dan itu cukup mengguncang hatinya. "Sarena, tadi malam kamu menyebut seseorang bernama Inara," kata Luna, suaranya pelan namun serius. "Kamu bilang dia adalah kekasih Bian." Sarena mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Namun, tatapannya masih tampak bingung. "Inara?" gumamnya, seolah mengulangi nama itu untuk mencoba memicu ingatannya. "Aku tidak ingat menyebutkan nama itu. Siapa dia?" Luna menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. "Kamu bilang Inara adalah kekasih Bian. Kamu bahkan menyebutnya dengan cukup jelas tadi malam." Mendengar penegasan itu, Sarena tampak terkejut. "Aku bilang begitu?" tanyanya, lebih kepada
"Kamu sudah tidur?" Bian memasuki kamar, menanggalkan satu persatu yang dia kenakan. Mulai dari jam tangan, jas, dasi dan membuka kemejanya hingga hanya kaos putih bersih yang melekat di sana. Luna yang sebenarnya belum tidur, memilih untuk diam. Berlakon seolah dia sudah tertidur lelap. Bian memasuki kamar mandi. Bersih-bersih sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan pria itu. Bian keluar tidak berapa lama. Pria itu sudah mengenakan celana piyama longgar tanpa atasan. Ranjang merengsek saat dia duduk di sisi yang kosong. Kemudian dia menarik selimut, masuk ke dalamnya.Luna masih enggan untuk menjawab. Namun, dirinya mulai sedikit tersentak begitu mendapati sentuhan hangat di wajahnya. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa di ceruk leher Luna. Membuatnya merasa geli, hingga akhirnya ia semakin merasakan bahwa wajah Bian kian mendekat ke wajahnya. Luna membuka matanya, "Apa yang mau Mas lakukan?" Luna dapat melihat wajah Bian yang cukup dekat dengan wajahnya. Pria itu berusaha meny
Luna terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia merasa sedikit hangat dan nyaman karena ada sesuatu yang melingkar di perutnya. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia sadar itu adalah tangan Bian. "Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Membayangkan Bian mengangkatnya ke atas ranjang, hatinya menghangat. Perlahan, Luna berbalik dan menemukan Bian masih tertidur lelap. Sudah lama ia tidak melihat wajah suaminya dengan puas, tanpa beban, tanpa rasa canggung atau jaga jarak. Luna memanfaatkan momen ini untuk benar-benar memandangi Bian. Wajah Bian terlihat sangat tenang dalam tidurnya. Garis-garis wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut, memberikan kesan hangat yang jarang muncul dalam kesehariannya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru membuatnya tampak lebih natural dan mendekati sisi pria yang Luna jarang lihat. Tanpa sadar, jemari Luna bergerak, ingin menyentuh pipi Bian. Namun, dia menahan diri, khawatir akan membangunkannya. Perlahan, ia menar
"Dia sudah tidur lagi," Luna mengamati wajah Bian yang kembali terlelap setelah meminum obat. Menjelang sore, Luna turun dari kamar. Ia harus menemui Sarena sebelum gadis itu juga ikut merajuk padanya. Sampai di ruang utama, dia tidak menemukan Sarena sama sekali. Saat ia hendak mencarinya ke dapur. Bel rumah berbunyi. Dia bisa saja mengabaikannya dan membiarkan pelayan membuka pintu untuknya. Tapi, dia tidak melakukannya. Luna berlari kecil menuju pintu. Dibukanya kedua daun pintu yang besar itu. Sulit menentukan wanita mana yang lebih terkejut ketika saling melihat. Tamu itu yang lebih dahulu membuka suara dan bertanya pada Luna. "Siapa kamu?" Wanita itu menegakkan tubuhnya. Kulit yang membalut tulang wajahnya yang klasik sangat halus sehingga tidak tampak garis atau kerut sama sekali. Dengan dingin wanita itu berkata, "Aku bertanya padamu." "Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu?" Luna menolak untuk menjawab siapa dirinya. Dia mengamati wanita itu. Pakaiannya
"Kamu tidak bisa ke sana," Luna menghentikan Irana yang hendak melangkah menuju lantai dua. Selain Bian memang tidak ada di sana, seingat Luna, lantai dua terlarang untuk siapa pun. "Maaf?" Luna tahu Inara mengerti maksudnya. "Kamu tidak diijinkan naik ke atas," tegas Luna yang langsung membuat wajah Inara masam. "Aku ingin bertemu Bian." "Dia sedang istirahat. Dan aku tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya." Inara terlihat tidak suka dengan apa yang Luna katakan. Wanita itu kembali melayangkan tatapan menilai padanya. Dan terlihat di wajah Inara jika dia merasa lebih hebat dari Luna. Inara menoleh ke arah Sarena, seolah meminta dukungan. Sarena terlihat sedikit tegang, tetapi akhirnya menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Luna benar. Bian butuh istirahat." Sarena tidak menjelaskan bahwa Bian sedang sakit. Bisa-bisa Inara langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Inara mendesah, tampak kesal, tetapi akhirnya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi menyera
"Rumah ini sesuai inginku." Kata itu terus terngiang di telinga Luna. Luna berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya sejauh mungkin dari rumah. Saat sebuah mobil menekan klakson dengan nyaring, Luna terlonjak kaget, dan berbalik dengan niat untuk meluapkan amarahnya. Namun, begitu melihat Saka tersenyum padanya, kemarahan yang hendak meluap itu segera mereda. “Onty Luna, mau kemana?” tanya Saka, dengan nada yang lembut namun penuh keceriaan. Ayah dari bocah itu keluar dari mobil. Adam tersenyum padanya, Luna membalasnya dengan canggung mengingat pertemuan terakhir mereka. "Hai," sapa Adam dengan santai. "Kamu mau kemana?" Adam menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa gerangan teman Luna. Mungkin saja Bian muncul entah darimana. "Eum, itu, Pak..." "Onty ikut kami saja. Saka dan Papa mau cari makan."Sekarang apa yang Bian dan Inara lakukan di rumah impian mereka? Batin Luna. "Bagaimana? Kamu mau ikut?" Pertanyaan Adam menyentakkan lamunannya. "Ah, ya, b