Bian memuntahkan sumpah serapah dalam deretan bahasa Itali saat ia memberikan laporan pada Julian tentang apa yang dia rasakan saat berenang bersama Luna. Terdengar gelak tawa puas dari seberang telepon. "Jadi maksudmu, sesaat gairahmu menyergapmu dan sesaat kemudian gairah itu hilang tidak bersisa." Bian kembali ingin menyumpah, tapi dia memilih untuk menahan diri. Saat dia dan Luna mandi bersama, dia tidak merasakan apa pun. Berbeda jika saat Luna memijatnya, juga saat mereka berenang tadi. "Libidoku seperti sedang mempermainkanku," katanya dengan nada jengkel yang membuat tawa Julian kembali mengudara. "Kalau begitu, kau bisa memancingnya dengan meminta Luna mengenakan bikini setiap hari." "Luna tidak mengenakan bikini." "Jadi apa yang dikenakannya?" "Kenapa aku harus menjelaskan kepadamu apa yang dikenakan istriku?" Lagi dan lagi Julian tertawa mendengar kejengkelannya. "Setidaknya kita tahu bahwa kamu masih memiliki gairah walau tidak terlalu ampuh. Saranku, coba kamu
Putaran kedua, Bian mulai main serius. Luna tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia harus menang. Dan akhirnya putaran kedua Bian mendapatkan apa yang dia inginkan."Kamu masih virgin?"Manik Luna membeliak seketika. Sopakah bertanya begitu. "Aku bukan pria yang menuntut istriku harus perawan." Penekanan itu seolah menuntut agar Luna berkata jujur apa adanya."Darimana kebijaksanaan ini berasal. Dari banyaknya wanita yang kamu tiduri?""Anggap saja seperti itu. Jadi?"Bian mengamati wajah Luna dengan seksama. Bian tidak tahu apa alasan kegelisahan yang dia rasakan sekarang. Apakah karena dia sangat menunggu jawaban Luna atau karena keyakinannya bahwa Luna tidak akan memberikan jawaban yang artinya gadis itu akan melepaskan salah satu benda yang melekat di tubuhnya. Dan dari yang Bian amati, tidak ada yang menempel di tubuh Luna selain pakaiannya, kecuali memang..."Jangan lakukan itu!"Terlambat. Luna sudah melepaskan cincin kawinnya. "Aku menolak untuk menjawab.""Jangan melepaskannya
Bian duduk di kursi dekat jendela, menikmati ketenangan malam. Pintu kamar mandi terbuka, dan Luna keluar dengan langkah lembut. Rambut panjangnya yang basah mengkilap terurai hingga punggung, memberikan kilauan di bawah cahaya lampu kamar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk putih yang kontras dengan warna rambutnya yang gelap. Luna mengenakan pakaian tidur sutra berwarna pastel, berpotongan sederhana namun tetap memancarkan kelembutan. Gaun tidur itu mengalir dengan lembut mengikuti lekuk tubuhnya, menonjolkan kesan feminin dan anggun. Kainnya yang halus membelai kulitnya, memberikan kesan nyaman namun elegan. Sambil berjalan menuju meja rias, Luna meletakkan handuk di kursi dan mengambil sisir. Ia mulai menyisir rambutnya dengan gerakan yang penuh perhatian, memastikan setiap helai rambut tertata rapi. Luna tampak fokus pada aktivitasnya, sesekali mengamati pantulan dirinya di cermin. Bian, yang duduk di kursi, memperhatikan setiap gerakan Luna dengan seksama. Tatapannya taj
Mengingat semua perlakuan ayahnya yang kasar dan tidak adil, Luna merasakan napasnya mulai kasar. Dia tidak pernah istimewa di mata siapa pun. Jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak mungkin memberikan kejutan pahit di hari ulang tahunnya, dengan menjualnya. Jika dia cukup istimewa, harta yang diwariskan ibunya padany tidak mungkin disita dan jika dia cukup istimewa, ayahnya tidak akan tega melihatnya kelaparan dan terpaksa makan roti kering sementara ayahnya lebih dari mampu membeli sepotong roti yang lebih layak untuknya. Kadang ia bertanya-tanya, apakah dia seburuk itu atau ayahnya yang memang sekejam itu?Luna membungkuk tegang karena terlalu sakit, tapi matanya kering dan seperti terbakar. Ketegarannya berangsung sirna. Sekarang ia menyadari betapa kesepiannya dirinya. "Ibuku tersenyum sebelum memutuskan untuk meneguk racun yang entah sejak kapan dia siapkan. Kenapa ibuku begitu bahagia melakukan itu di hadapanku. Jika dia bisa tersenyum saat ingin meninggalkan, lantas ada apa d
Bian keluar dari kamar mandi dan terlihat sangat segar. Harusnya Luna sudah terbiasa, tapi tetap saja ia merasakan jantungnya berteriak-teriak seolah berencana untuk memecahkan gendang telinganya. "Aku ingin istirahat sebentar." Luna langsung membantunya berdiri, memegang bahu Bian, berat pria itu bertumpu ke tubuhnya. Sekarang tubuh Bian sangat familier baginya seperti tubuhnya sendiri, seolah Bian bagian dari dirinya. Tiba-tiba Luna merasakan dorongan ingin menempelkan pipi di kepala Bian yang berpotongan rambut tidak rata. Keinginan untuk merasakan kehalusan rambut Bian begitu kuat, meski Luna berusaha untuk menepisnya. Namun, kepala Bian seolah-olah memanggil menggodanya. Dengan hati-hati, Luna memindahkan tangannya dari bahu Bian ke helaian rambutnya, merasakan teksturnya. "Rambutmu sepertinya perlu dirapikan," katanya dengan lembut berharap Bian tidak menyadari debaran jantungnya yang semakin kencang. "Kalau begitu, silakan pangkas rambutku." "Kamu mempercayaiku
"Siap?"Bian menelan ludah. Tatapannya bergeser dari Luna ke palang, lalu kembali ke wanita itu."Aku tidak yakin.""Ini bukan masalah besar, Mas. Berdiri saja, jangan mencoba berjalan dulu. Biarkan kakimu terbiasa menopang bobotmu. Ayo, Mas, kamu pasti bisa!" Luna memamerkan senyum terbaiknya.Bian menatap senyum tersebut, yang berhasil menjadi mantara. Ia mengeraskan rahang dan mengulurkan tangan ke palang. Setelah menggenggam palang kuat-kuat, dia menarik tubuhnya bangkit dari atas kursi roda.Upaya mengangkat bobot berjalan mudah dengan menggunakan kekuatan bahu dan tangan. Bian mulai pucat dan peluhnya mulai menetes di wajahnya saat Luna mulai memposisikan kaki Bian dengan mantap di bawah tubuh."Sekarang, Mas," kata Luna dengan lembut. "Lepaskan tanganmu dari tugas menyanggah tubuh. Biarkan kakimu yang menopang. Kamu mungkin akan jatuh, jangan khawatirkan hal itu. Kata Julian, semua pasien jatuh ketika tiba di fase terapi ini."Bian menelan ludah, napasnya berat. Ia tidak yakin
Luna merasakan aliran panas yang menjalar ke wajahnya, tapi dia dengan cepat menenangkan diri. Sebuah senyum bermain di sudut bibirnya, dan matanya yang secerah madu memandang Bian dengan tajam namun lembut. Ciuman tadi cukup mengejutkan baginya, disusul dengan pernyataan yang terdengar seperti pujian membuat jantungnya berdebar kencang tidak karuan."Apa kamu juga tersesat, Mas Bian?" tanya Luna, suaranya terdengar menggoda namun cerdas. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, namun bukannya memberikan ciuman seperti yang mungkin diharapkan Bian, Luna menatapnya dengan intens, seolah-olah sedang mengajaknya bermain dalam permainan yang hanya mereka berdua yang tahu aturannya.Luna tersenyum, kali ini lebih dalam. "Pastikan saja, jika kamu tersesat, kamu tidak akan pernah ingin menemukan jalan keluar."Bian terdiam sejenak, terpesona oleh cara Luna merespons. Ada sesuatu dalam nada suaranya, sebuah ketegasan yang lembut, yang membuat Bian menyadari bahwa Luna bukan hanya seka
Hari ini cukup mengduk-aduk emosi bagi Luna. Ciuman, perbincangan layaknya teman, keintiman, harusnya hal tersebut bisa membuat Bian lebih terbuka padanya. Luna sudah maju selangkah demi selangkah, membuka diri kepada Bian, tapi pria itu tetap menutup diri. Bian tidak tahu jika ciuman dadakan tadi hampir membuatnya pingsan. Luna memegang bibirnya, masih bisa merasakan debaran jantungnya yang kacau karena masih merasakan Bian ada di sana. Apakah ikatan pernikahan yang sakral itu memang seperti ini? Setelah menyaksikan keserakahan dan keargonan ayahnya, diperlengkap dengan kebusukan Juan yang nyaris memperkosanya, dia tidak yakin dia akan mempercayai pria lagi. Tapi bersama Bian, tanpa sadar dia justru menunggu saat-saat terapi bersama Bian.Setelah makan malam, Bian meninggalkannya, Nathan mengumumkan ada telepon untuknya.Siapa kira-kira yang menghubunginya? Kenapa harus pergi menjauh ke ruangan khusus. Luna menemukan dirinya mulai penasaran. Bukan hanya tentang Bian secara personal,
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat