"Apa yang harus kulakukan?" tanya Luna pada Julian, berusaha mengabaikan hatinya yang bereaksi berlebihan."Sebenarnya Bian tidak membutuhkan terapis lagi. Hanya saja dia masih membutuhkan pijatan dan latihan teratur dalam beberapa minggu ke depan untuk memastikan kesembuhannya sepenuhnya. Dan harus ada orang yang mengawasi hal itu."Luna dan Julian tampak berdiskusi, sementara Bian menatap keduanya dengan tatapan menusuk, menghujam seperti laser.Luna menelan ludah, "Maksudmu, aku harus memijatnya setiap hari?" Bayangan ia harus menyentuh tubuh Bian setiap hari membuat bulu kuduknya berdiri."Kenapa? Apakah itu pikiran yang terlalu menjijikkan untukmu, Luna?""Tidak... Tidak... Tentu saja tidak. Hanya saja aku tidak pernah benar-benar memijat orang." Wajahnya merona saat mengatakan hal itu. Jangan sampai Bian tahu apa yang mengotori otaknya."Bukan perkara sulit," Julian menengahi. "Aku akan mengajarkan tekhnik dasarnya padamu. Jika kamu memang bekerja cekatan dengan tanganmu, ini ti
Luna bisa merasakan jantungnya berpacu bagaikan kereta api, karena ini aneh. Ini lebih dari sekadar aneh.Kedua tangannya goyah ketika ditempatkan di atas punggung Bian yang telanjang dan ia menarik napas dalam-dalam, berdoa semoga pria itu tidak bisa menebak betapa gugup dirinya. Berdoa semoga dirinya tidak canggung ketika mulai melakukan persis seperti yang diajarkan Julian kepadanya. Tidak sulit, katanya kepada diri sendiri. Pijat memang suatu keterampilan, pekerjaan yang dilakukan oleh ribuan orang setiap hari.Meskipun bayangan akan menyentuh kulit Bian membuat mulutnya kering karena takut, tampaknya Luna tidak mungkin menghindarinya. Bian berjanji akan memberikan uangnya. Mereka sudah sepakat. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya menyentuh seorang pria? la menurunkan kedua tangannya ke kulit mengilap itu dan berusaha mengalihkan pikirannya tentang cafe yang akan dia bangun.Pertama-tama yang harus dia lakukan adalah menyelesaikan kuliahnya sebelum membangun cafe. Bukan waktu
"Luna!!"Panggilan itu langsung membuat Luna menoleh. Dia mengenali suara itu. Miya, sahabatnya."Jadi kamu sungguh sudah menikah?"Manik Luna membeliak, ia mengira pernikahan antara dirinya dan Bian dirahasiakan."Bagaimana kamu tahu?""Jadi itu memang benar?" Miya semakin histeris. "Kamu sungguh mengkhianati Juan demi pria tua kaya raya yang sekarat."Wajah Luna berubah masam. Dirinya difitnah. "Aku tidak berkhianat dan tidak aku tidak menikah dengan pria tua." Melainkan pria lumpuh yang pesonanya ampun-ampunan, ia menambahkan dalam hati. "Jadi kamu menikah dengan siapa?" Miya menelisik mobil mahal yang ada di hadapan mereka. Gadis itu semakin mendekat dan mengintip ke dalam kaca. "Pasti bukan orang sembarangan. Jadi, kamu sungguh meninggalkan keluargamu saat sedang terpuruk." "Siapa yang menyebarkan gosip itu padamu? Ana?""Siapa lagi." Miya menegakkan tubuhnya, berbalik menghadap Luna. "Aku tidak akan termakan ucapannya. Omong-omong, kenapa suamimu tidak mau turun? Wajahnya buru
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Luna meronta, tidak terima Juan tiba-tiba menariknya dari kursi dan membawanya ke luar kelas. "Apa kamu tuli, Juan?!"Juan tidak menjawab, terus saja ia menarik Luna hingga gadis itu kesulitan menyamakan langkah mereka."Juan, aku sedang berbicara kepadamu!"Tidak hanya mendadak tuli, sepertinya Juan juga terserang panas dalam akut sehingga pria itu enggan berbicara.Brak... Bruk..."Akh!!" Luna meringis begitu Luna mendorong tubuh Juan ke dinding. Pria itu ternyata membawanya ke ruang lab yang sudah tidak terpakai. Ruangan itu penuh debu dan barang-barang rusak. Beberapa patung anatomi tergeletak begitu saja membuat suasana di ruangan itu sedikit mistis."Bagaimana malam pertamamu? Dia menyentuhmu? Di mana? Di sini."Juan menyusurkan jemarinya di leher Luna. Luna segera menepisnya dengan kasar."Singkirkan tanganmu!" Juan menyemburkan tawanya, namun wajah pria itu terlihat gusar. "Kenapa? Apa karena kamu sudah terbuai dengan sentuhan si lumpuh i
"Harimu buruk?"Bian menyambut kedatangan Luna di ruang utama. Mengamati penampilan Luna dari atas ke bawah. Dahinya sedikit mengernyit saat menyadari Luna mengenakan pakaian yang berbeda saat istrinya itu pergi ke kampus.Menyadari apa yang sedang diperhatikan Bian, Luna segera berkata, "Aku mengganti pakaianku." Alih-alih membawa Luna ke toko baju, Adam justru membawanya ke resto. Selain dosen, Adam ternyata seorang pengusaha kuliner. Dia meminjam salah satu baju karyawannya untuk Luna. Menurut Adam caranya lebih praktis.Bian mengangkat tatapannya, kembali ke wajah Luna. "Kebetulan aku cukup senggang untuk mendengar penjelasanmu."Luna tidak ingin menjelaskan apa pun. Kejadian hari ini cukup mengerikan untuk dibahas ulang."Aku lelah, aku mau mandi."Luna melewati Bian begitu saja, dan di detik selanjutnya dia sudah menemukan dirinya berada di atas pangkuan Bian. Luna terdiam sejenak, terkejut oleh tindakan Bian yang tiba-tiba. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma after
"Adam Abimanyu." Bian mengucapkan nama itu dengan pelan, hampir seperti berbisik. Setiap suku kata terdengar seperti mantra yang memanggil rasa sakit dari dalam dirinya. Ada nada kemarahan yang samar namun jelas dalam suaranya, seolah nama itu saja sudah cukup untuk menyalakan api di dadanya. Matanya menyipit, memperlihatkan kilatan kebencian yang terpendam, sementara bibirnya mengerut, menahan emosi yang ingin meledak. Nama itu bergema di ruang kecil antara mereka, menggantung berat di udara. Bian menatap lurus ke arah pintu kamar yang tertutup, tempat ia menghukum Luna di sana, seolah berharap bisa menembus penghalang fisik dan menyaksikan kebenaran yang tersembunyi di baliknya. Kecurigaan melintas di wajahnya; kecurigaan yang kuat, nyaris menggerogoti ketenangannya yang biasanya tak tergoyahkan. Nama Adam Abimanyu seolah menjadi pemicu yang membangkitkan semua perasaan negatif yang pernah dia rasakan—kebencian, kemarahan, dan ketidakpercayaan. "Siapa dia?"Setelah mendapat infor
Luna hanya bisa menahan napas sepanjang mereka mandi. Bagaimana tidak menahan napas, bukannya memandikan Bian, justru dia yang sedang dimandikan pria itu. Bian tepat berada di belakangnya, menggosok punggungnya dengan gerakan lembut, namun sangat menyiksa bagi Luna. Ia belum pernah seintim ini dengan seorang pria. Kulitnya yang bertemu dengan kulit Bian terasa terbakar, panas membara. Ini benar-benar hukuman yang paling menyiksa. Bian tidak mendengarkan beberapa protes yang dia layangkan. Seolah pria itu tuli dan hanya fokus pada tubuh Luna, membersihkannya dengan banyak sabun. "Aku kedinginan." Luna berharap Bian masih punya hati dan kali ini mau mendengarkannya. Dalam hati dia berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun darI Bian. Bian tidak memberikan respon apa-apa. Dia terus menggosok punggung Luna dengan gerakan melingkar."Mas, aku kedinginan."Gerakan tangannya berhenti. Body brush disingkirkan dari tubuhnya. "Ambilkan handuk."Artinya dia harus berdiri lagi dan mempertonton
Setelah mengompres kaki Luna, Bian menghubungi Julian. Hanya kepada pria itu dia bisa berdiskusi apa saja karena Julian mengetahui kelemahannya. "Bagaimana, apa setelah mendapat pijatan dari Luna, kakimu langsung bisa berjalan?" seloroh pria itu dari seberang telepon. "Pijatannya tidak seajaib itu." Bian mencoba membayangkan saat Luna memijat tubuhnya, sensasi itu sudah tidak ada lagi. Sial! "Apa yang kau rasakan?" Bian merenung mempertimbangkan apakah ia perlu mengungkapkan semua yang ia alami. "Libidoku bereaksi saat dia memijatku." Pada akhirnya dia tidak akan bisa menyembunyikan apa pun dari Julian. Terdengar siulan yang disusul dengan gelak tawa. "Bagus, Dude. Artinya kamu masih ampuh." "Tubuhku tidak memberi reaksi saat kami sedang mandi," serunya segera sebelum Julian mengambil kesimpulan dengan enteng. "Kamu dan Luna mandi bersama?" "Ada yang salah dengan itu?" Bian mulai jengkel. Inilah yang tidak dia sukai jika ia mencoba untuk terbuka. Akan ada banyak perta