Share

Melihat Pahatan Tubuhku

Luna semakin gugup. Detik itu ia menyadari bahwa hidupnya terjerumus di dalam sangkar pria kejam.

"Aku akan mandi. Segera." Luna beranjak, melangkah cepat. Saat melewati Bian, Luna justru malah terkilir dan terjatuh di atas pangkuan Bian dalam posisi duduk menyamping dan tanpa sengaja mencium leher Bian.

"Ma-maaf, aku.."

"Leher bukan titik pusat yang bisa merangsangku, Luna." Bisik pria itu dengan nada sensual di telinga Luna yang membuatnya bergidik ngeri. "Berhenti mengembuskan napasmu di sana." Dengan langkah cepat, Luna bangkit dan melangkahkan kakinya menjauhi Bian.

"Kamu mempunyai waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri."

Luna masih gemetar meski ia sudah berada di kamar mandi, menutup rapat pintu toilet tersebut lalu berjongkok, memainkan kukunya yang dipotong rapi. Tabiat yang biasa ia lakukan saat ia merasa gugup.

"Jangan menangis... Jangan menangis, Luna. Ini bukan apa-apa. Kamu sudah terbiasa melewati kehidupan yang tidak beruntung seperti ini."

"Dua menit lagi, Luna."

Luna mengabaikan bak mandi yang ditaburi kelopak bunga mawar. Ia langsung menuju shower dan berdiri di bawahnya. Dinginnya air membuat tubuhnya tersentak kaget. Ia tidak berlama-lama di sana karena ia tahu Bian sedang menunggunya di sana. Dia tidak ingin cari perkara dengan membuat mood pria itu rusak.

Saat ia membuka pintu, dia kaget melihat Bian ada di depan pintu kamar mandi. Refleks ia mengencangkan tali kimononya.

"Kamu membutuhkan sesuatu?" Luna bertanya setenang mungkin walau sebenarnya dia kaget bukan main.

Bian melayangkan lirikan cepat padanya, seolah sedang menilai fisiknya.

"Pakianmu sudah ada di dalam lemari. Kenakan gaun satin turquoise."

"Hah?"

"Aku tidak akan mengulangi kalimatku dua kali dan aku tahu indra pendengaranmu tidak bermasalah sama sekali." Bian menjalankan kursi rodanya. "Jangan mematung di sana atau kamu ingin aku mengenakan pakaianmu."

"Aku bisa melakukannya sendiri. Satin tosca, ya, satin tosca, aku akan mengenakannya." Luna mempercepat la langkahnya menuju ruang ganti. Apakah mulai sekarang ia juga harus berpakaian menurut selera pria itu. Luna tentu saja tidak akan mau! Tapi untuk kali ini, ia tidak akan berdebat.

Namun saat ia mengenakan gaun satin yang dipilihkan Bian untuknya, Luna dibuat terkagum-kagum. Saat ia melihat pantulan dirinya di cermin, ia terkejut dengan betapa indahnya gaun tersebut di tubuhnya. Gaun itu panjangnya sampai ke mata kaki, dengan potongan yang pas di pinggang, memberikan siluet yang elegan. Kain satin yang lembut berkilau di bawah cahaya lampu, memberikan sentuhan glamor yang tak terbantahkan. Gaun itu memiliki detail renda halus di bagian leher dan ujung lengan, menambah kesan mewah dan anggun.

"Jika kamu sudah selesai, bantu aku mengganti pakaianku."

Luna segera keluar karena tidak punya alasan untuk berlama-lama di sana. Melihatnya muncul, Bian memandangnya dengan ekspresi tidak terbaca.

"Bagaimana aku akan mengganti pakaianmu?" Luna mengamati penampilan Bian yang dibalut jas mewah dari desainer ternama.

"Senyamanmu saja."

Jawaban apa pula itu. Jika Luna boleh jujur, keadaan dan situasinya sekarang jauh dari kata nyaman. Ia meragu apakah ia akan merasakan kenyamanan selama menyandang status istri dari seorang Bian.

"Sebelumnya aku belum pernah mengurus seseorang. Aku meragu jika aku bisa melakukannya. Aku_

"Mulailah dengan melepaskan dasiku." Bian menyela kalimat Luna. "Tubuhku sudah sangat lelah dan ingin segera berbaring."

Luna mengerutkan keningnya. Dasi? Hanya melepaskan dasi, apa pria itu juga butuh bantuan mengingat tangannya masih berfungsi dengan baik.

"Hanya melepaskan dasi, harusnya kamu bisa melakukannya."

"Jika ingin mengurusku, jangan lakukan setengah-setengah!"

Percuma menantang perintah Bian, Luna tidak akan mendapat kemenangan. Tidak ada gunanya mengulur waktu dengan berdebat, Luna juga sudah mengantuk.

"Aku akan mulai membuka dasimu kalau begitu." Luna mengulurkan tangan.

"Hm, tidak usah sungkan." Bian menyahut dengan enteng yang justru membuat Luna gugup. Jarak wajah keduanya juga sangat dekat.

"Melepas dasi, Luna. Bukan mencekikku."

"Hah? Maaf." Luna terlalu panik hingga tanpa sadar justru menarik tali simpulnya. "Jangan memandangiku, kamu membuatku gugup."

Bian dengan patuh mengalihkan tatapannya dengan mendongak ke atas.

"Jangan mendongak."

Bian mulai kesal. Dia tidak suka diperintah dan lehernya juga mulai sakit. "Jadi kemana aku harus melihat?!"

"Sudah lepas. Aku berhasil melepaskannya." Luna tersenyum lebar seolah ia baru saja melepaskan pekerjaan hebat yang luar biasa.

"Haruskah aku memberimu penghargaan?"

"Eh?"

"Sembari kamu memikirkan hadiah apa yang kamu inginkan, bagaimana jika kamu mulai melepaskan jasku."

Membuka jas bukan sesuatu yang sulit. Luna melakukannya dengan cekatan. Pekerjaannya lebih mudah karena Bian bekerjasama dengan baik dengan merentangkan kedua tangannya.

Begitu jas terlepas, Luna baru menyadari jika dirinya berada dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan hati-hati, ia mulai membuka kancing kemeja Bian satu per satu. Di usianya yang sudah dewasa, Luna belum pernah melihat tubuh pria secara langsung.

Bian hanya diam menunggu, sementara Luna mengulurkan tangan untuk membuka kancing pertama di leher. Tangannya beralih ke kancing kedua, dan jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Saat ia membuka kancing ketiga, Luna mulai merasa keringat dingin.

Dada Bian mulai terlihat, dengan bulu-bulu halus yang menghiasi. Jemarinya semakin meluncur ke bawah, membuka lebih banyak kancing, dan terungkaplah pemandangan yang membuat kedua pipinya terasa begitu panas. Otot perut yang sempurna layaknya sebuah pahatan.

Luna menahan debaran jantungnya yang semakin kencang. Meski gugup, ia mencoba menjaga agar wajahnya tidak menunjukkan kecangungan.

"Apa ada yang salah dengan tubuhku? Mengapa wajahmu merah seperti itu?"

Nyaris Luna tersedak mendengar pertanyaan tersebut. Apa yang harus dirinya katakan mengenai hal itu? Tidak mungkin Luna mengakui bahwa ia merasa gugup melihat tubuh Bian

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status