"Kita harus segera pergi."Bryan menatap penuh curiga. "Kamu bermain api, Bian. Jangan pikir aku akan begitu mudah percaya padamu."Bian tersenyum kecil, berusaha menunjukkan bahwa dia tenang meskipun situasi sebenarnya jauh dari itu. "Kamu sudah menyiksaku dengan cukup banyak, Bryan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali memberikan apa yang kamu inginkan. Jika aku mencoba berbohong, aku tahu kamu akan menghancurkan segalanya, termasuk Luna."Mata Bryan menyipit, tanda bahwa dia masih belum sepenuhnya percaya. Namun, kesombongan yang selama ini membuatnya berada di puncak kriminalitasnya juga menjadi kelemahannya. Dia berpikir bahwa semua orang akhirnya akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bian tahu itu, dan dia akan memanfaatkan rasa percaya diri Bryan ini."Kamu benar," ujar Bryan akhirnya, mengibaskan tangannya ke arah anak buahnya. "Kalian mundur. Beri kami ruang. Jangan ada yang mencoba bergerak sebelum aku perintahkan."Anak buah Bryan tampak ragu, namun tak berani membantah
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari arah luar vila. Bryan tersentak kaget. Matanya menyipit menatap murka. "Apa ini?!" pekiknya, mulai menyadari ada yang tidak beres.Seketika itu juga, suasana berubah menjadi kacau. Anak buah Bryan yang masih berada di dalam ruangan segera berlari keluar untuk memeriksa keadaan, tetapi sebelum mereka sempat mencapai pintu, tembakan kedua terdengar, lebih dekat kali ini. Salah satu anak buah Bryan tumbang, membuat semua yang tersisa panik.Bian memanfaatkan kekacauan itu. Saat Bryan kehilangan fokus, Bian bergerak cepat. Dengan sebuah pukulan keras, dia menghantam Bryan tepat di wajah, membuat pria itu tersungkur ke lantai. "Ini untuk Luna," geram Bian dengan suara rendah namun penuh amarah.Bryan terkejut, wajahnya memerah oleh darah yang mengalir dari bibirnya. "Berani kamu, keparat!" teriaknya sambil mencoba bangkit. Namun, Bian tidak memberinya kesempatan untuk melawan. Sebelum Bryan bisa berdiri, Bian menerjangnya lagi, menendangnya di perut
Bian segera bergegas menuju tempat Luna ditahan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran, apalagi saat ia mengingat bagaimana Luna terlihat tak berdaya ketika Bryan mulai mengancamnya. Di dalam hati, Bian tidak bisa membiarkan Luna terluka lebih parah lagi."Luna!" Bian memanggilnya dengan suara tegas namun cemas, saat dia mencapai ruangan tempat Luna berada. Luna terlihat terbaring di sudut ruangan, tubuhnya menggigil dan matanya setengah terpejam. Efek dari obat yang disuntikkan mulai terlihat jelas. Nafas Luna tersengal, dan matanya berusaha tetap fokus, namun gagal."Luna, bertahanlah," ujar Bian sambil berlutut di sampingnya. Dengan lembut, dia membelai pipi Luna, mencoba membangunkannya. "Luna, dengar aku. Kamu harus tetap sadar."Luna membuka matanya, namun pandangannya kosong. Tubuhnya terasa berat, seakan-akan seluruh ototnya kehilangan kekuatan. Namun, saat mendengar suara Bian, ada secercah kesadaran yang kembali. "Bian...," bisiknya lemah."Ya, ini aku. Aku di sini sekarang. K
Bian bergegas keluar dari kantor polisi, pikirannya kacau. Langkah kakinya cepat, melewati para wartawan yang masih mencoba mengajukan pertanyaan padanya. Mereka berteriak-teriak, meminta pernyataan resmi tentang penyergapan yang baru saja terjadi. Semua itu tidak penting baginya saat ini. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya: Luna."Inara dan Nathan," pikir Bian, wajahnya tegang. Mereka berhasil melarikan diri dalam kekacauan. Tidak ada waktu untuk memikirkan mereka saat itu. Namun, dampak dari pelarian mereka segera terasa. Berita tentang penyergapan vila Bryan kini menjadi headline di seluruh media. Dan laporan medisnya setelah kecelakan yang tersebar, dia nyatakan impoten. Sesuatu yang sangat pribadi, sekarang menjadi konsumsi publik. Bian merasakan amarahnya memuncak, tapi di balik itu semua ada perasaan bersalah yang mendalam.Selama berjam-jam, dia terjebak memberikan pernyataan kepada polisi, menjelaskan setiap detail. Setiap detik yang terbuang adalah siksaan. Wartawan ter
Bian menatap Luna dengan cemas, menggenggam tangannya seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyatukan mereka saat ini. Dia telah menyaksikan betapa hancurnya Luna, dan rasa bersalahnya semakin dalam setiap detiknya. Namun, saat dia mencoba berbicara lagi, Luna tiba-tiba menarik tangannya dengan gerakan cepat.“Bian,” ucap Luna, suaranya datar namun tegas. “Aku ingin kita berpisah.”Kata-kata itu menghantam Bian seperti pukulan keras di dada. Dia terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Apa... apa maksudmu, Luna?”Luna menatapnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga dipenuhi dengan ketegasan. “Pernikahan ini tidak ada gunanya lagi. Aku tidak bisa melanjutkannya. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”Bian mencoba menahan napas, merasakan kepanikan mulai menguasainya. “Luna, jangan bicara seperti itu. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan, tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa memperbaikinya. Tolong, beri aku kesempatan.”Luna tertawa kecil, tawa
Setahun telah berlalu sejak Luna meninggalkan kehidupan yang penuh dengan luka dan penderitaan. Hari ini, Luna memasuki kafenya dengan senyum lebar di wajahnya, ditemani oleh putranya yang baru berusia tiga bulan. Bayi itu tertidur dalam gendongannya, wajah mungilnya tenang, sementara suara deburan ombak terdengar lembut dari pantai di dekat kafe.Kafe Luna telah menjadi sangat populer. Terletak di tepi pantai dengan pemandangan laut yang menakjubkan, kafe ini menjadi tempat favorit para pengunjung untuk bersantai. Tak hanya suasananya yang nyaman, tetapi juga kue-kue dan dessert buatan tangan Luna yang membuat kafe ini ramai dikunjungi.Luna melangkah masuk ke dapur kafe, di mana para karyawan sudah sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Dia melihat salah satu karyawannya, Rina, tengah memanggang roti. Rina tersenyum hangat begitu melihat Luna masuk."Selamat pagi, Bu Luna!" sapanya ceria. “Seperti biasa, kafe penuh hari ini. Pelanggan tidak pernah bosan dengan kue buatan Ibu.”Luna ter
Sudah hampir setahun sejak kecelakaan yang merenggut hampir semua yang Bian miliki—kesehatannya, pernikahannya, dan mungkin, hidupnya yang dulu penuh ambisi. Kini, setelah berbulan-bulan terbaring di rumah untuk memulihkan diri, dia telah kembali. Bukan hanya kembali sebagai pria yang lebih kuat secara fisik, tetapi juga dengan tekad yang semakin bulat untuk mengambil alih kendali penuh atas hidupnya.Selama tiga bulan terakhir, Bian bekerja keras untuk memulihkan reputasinya di perusahaan. Dia kembali ke kantor dengan satu tujuan—meyakinkan para direksi bahwa ia adalah orang yang tepat untuk memimpin. Dia menghadapi banyak skeptisisme dari mereka yang meragukan kapasitasnya setelah kecelakaan, tetapi Bian tidak gentar. Dengan kerja keras dan kejelian dalam membaca situasi, dia menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menghambat kemajuan perusahaan. Salah satu kemenangan besarnya adalah ketika ia berhasil menjebloskan Lucas, tangan kanan pamannya yang selama ini menjadi duri dala
Bian menatap jalanan yang dilaluinya dengan fokus penuh. Di kursi belakang mobilnya, Rafael dan Julian saling berbicara pelan mengenai pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan para pemilik lahan. Selama beberapa hari terakhir, mereka telah mengunjungi sejumlah pemilik tanah di pesisir pantai untuk membicarakan proyek besar yang Bian rencanakan. Sebagian besar sudah setuju dengan penawaran yang Bian berikan, namun kali ini, mereka akan bertemu dengan pemilik terakhir—seseorang yang memegang lahan penting di daerah tersebut. Dan lebih menarik lagi, lahan itu ditempati oleh salah satu kafe paling laris di kawasan tersebut, Shore Haven Cafe, sebuah tempat yang sudah terkenal di kalangan wisatawan.Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hijau dan menghadap langsung ke pantai. *Shore Haven Cafe terlihat ramai dengan para pengunjung yang duduk menikmati makanan dan minuman, beberapa di antaranya bahkan membawa anak-anak kecil yang bermain pasir di sekita
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat