Di dapur kafe Shore Haven Cafe, Luna dengan lincah menyiapkan pesanan ikan kakap yang sudah menjadi salah satu menu andalan di tempatnya. Aroma harum ikan panggang bercampur dengan bumbu khas memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya bekerja cepat, memotong sayuran dan mengatur piring dengan sangat rapi, seperti biasa. Dia fokus pada pekerjaannya, menikmati setiap momen kecil yang menenangkan dalam rutinitasnya.Namun, suara tawa akrab dari pintu belakang membuat Luna menoleh. Miya dan Adam muncul, keduanya terlihat santai dan tersenyum lebar. Miya, sahabat terbaiknya sejak lama, melambaikan tangan dengan riang. Luna tersenyum hangat melihat kedatangan mereka.“Miya!” Luna berseru, mengusap tangannya dengan lap sambil berlari kecil mendekati sahabatnya itu. “Kukira kamu bilang baru datang besok?”Miya tertawa kecil. “Kejutan! Lagipula, aku tidak tahan buat menunggu hari esok. Aku kangen sama kamu, dan Adam juga ingin melihat tempat baru ini.”Adam mengangguk sambil memandangi kafe yang ra
Bian menatap kafe Shore Haven Cafe sekali lagi sebelum membuka pintu mobil. Tatapannya tertuju pada papan nama kafe yang sederhana namun elegan, dengan latar belakang biru laut yang mencerminkan pesisir pantai di belakangnya. “Kenapa kita tidak mampir saja dulu?” Julian, yang berdiri di sebelahnya, menatap Bian dengan tatapan penuh makna. “Keliatannya tempatnya menarik. Dan aku lihat kamu penasaran sekali sama penyewa kafenya.” Bian berdehem, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang mendadak muncul. “Tempat ini sepertinya bagus untuk proyek kita, bukan?” kilahnya, mencoba meredakan kecurigaan Julian. Tapi dia tahu Julian lebih pintar dari itu. Temannya pasti sudah merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap Bian. Mereka juga pasti mendengar pemilik lahan menyebut nama Luna. “Kita di sini bukan cuma soal bisnis, Bian,” Julian melanjutkan sambil tersenyum tipis. “Pemiliknya menyebut nama Luna. Daripada kita menebak-nebak, bagaimana jika masuk." Bian tidak bisa menyangkal kebenara
Luna masih berdiri di tempatnya, memegang nampan dengan tangan gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Bian yang duduk hanya beberapa meter darinya. Hatinya bergemuruh. Bagaimana mungkin dia berada di sini? Bagaimana bisa Bian menemukan tempat ini? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, mengacaukan segala pikiran yang sudah ia bangun selama setahun terakhir.Di belakangnya, Miya berjalan mendekat dengan raut khawatir. “Luna, kamu baik-baik saja?” bisiknya pelan, menatap sahabatnya yang jelas-jelas terguncang.Luna mengangguk kaku, tetapi pandangannya tetap tertuju pada Bian. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati, ia tahu itu tidak benar. Kemunculan Bian begitu tiba-tiba, dan ia takut bahwa kedatangannya ke sini bukan hanya kebetulan. Mungkinkah Bian sudah tahu tentang Arga? Bayi mereka yang selama ini Luna sembunyikan?Miya melirik ke arah Bian dan para pria di mejanya, kemudian berbisik lagi, “Kalau kamu tidak sanggup, aku bisa menggantikanmu.”Luna menggigit
Luna berdiri di balik meja kafe, mencoba sibuk dengan pekerjaannya, tetapi pikirannya tidak pernah jauh dari Arga atau Bian. Sudah beberapa kali Bian datang ke kafe dalam beberapa minggu terakhir, selalu dengan alasan untuk melihat-lihat lokasi yang cocok untuk proyek bisnisnya. Namun, Luna tahu lebih dari itu. Setiap kali mereka berpapasan, tatapan Bian terlalu intens. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuat Luna gelisah.“Luna, kamu baik-baik saja?” tanya Miya sambil membawa nampan kosong ke meja kasir. “Kamu kelihatan seperti tidak fokus.”Luna tersentak, menghela napas pelan sebelum memaksa senyum. “Aku baik-baik saja, Miya. Cuma sedikit lelah. Banyak pelanggan hari ini.” Miya mendekat, matanya tajam memperhatikan wajah Luna. “Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ini tentang Bian, bukan?” Miya memilih tinggal karena cemas dengan Luna.Luna menunduk, jemarinya mengacak-acak gelas di depannya tanpa alasan. “Aku… aku takut dia sudah tahu, Miya."Miya mend
Luna akhirnya menyerah. Menghindari Bian, dia memutuskan untuk meliburkan diri. Arga juga kebetulan sedang rewel. Jadi, dia memilih untuk berdiam diri di rumah bersama Arga. Pengasuh Arga ia liburkan selama dia libur. Ia sudah meminta kepada karyawannya untuk tidak memberitahu alamat rumahnya jika Bian bertanya kepada salah satu dari mereka. Luna sedang menyusui Arga sambil menatap penuh puja wajah sang anak. Arga baru saja mandi dan saatnya dia tidur lagi. Luna memindahkannya ke box. Dia akan merapikan rumah selama jagoannya tidur. Siang nanti Miya akan mampir untuk berpamitan pulang. "Tidur nyenyak, Jagoan Ibu." Ia mencium putranya sebelum beranjak.Luna membuka pintu kamarnya lalu menutupnya perlahan. Ia bersenandung riang, menatap pantulan dirinya di cermin, merapikan beberapa helai rambut yang terlepas dari kuncir ekor kudanya. Ketika bel pintu berbunyi, ia segera berlari kecil menuju pintu. "Mungkin Miya datang lebih awal."Senyum lebar menghiasi wajahnya saat membuka pintu, n
Luna berdiri di belakang Bian, menautkan jemarinya, mencoba menekan kecemasan, kegugupan, dan ketakutannya. Ia tidak menyangka Bian akan muncul setelah satu tahun berlalu.Luna berjalan mendekat ketika melihat jemari Bian menyentuh bayi mungil itu, membuka diapers-nya untuk memastikan jenis kelaminnya, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan Luna.Dari tempatnya berdiri, Luna bisa melihat bibir Bian bergerak, emosi yang jelas terpancar di wajahnya. Hal itu membuat Luna semakin takut.Haruskah ia mengatakan bahwa ia bekerja sebagai pengasuh bayi dan yang ia rawat adalah anak majikannya yang masih berusia tiga bulan? Tapi Luna segera mengenyahkan pikiran itu. Bayi ini jelas-jelas mirip dengannya. Sementara Alis, mata, dagu, merupakan replika miniatur Bian. "Ternyata benar, laki-laki," gumam Bian, tangannya kini menyentuh pipi si bayi. Sorot matanya memancarkan rasa takjub."Ya, tentu saja. Apa kamu kira aku menipu?"Bian mengulurkan tangannya, menggendong bayi itu ke dadanya. A
Bian menatap dari ujung kaki ke ujung kepala pria yang berdiri di hadapannya. Sebenarnya ia ingin tertawa melihat tampilan pria yang bergaya unik tersebut. Ia juga penasaran dari mana Luna menemukan manusia seperti pria itu.Rambut belah tengah, yang dikasih gel sebanyak mungkin. Ia yakin jika lalat hinggap, lalat tersebut akan terpeleset di atas sana. Tapi hal yang paling mengganggu pemandangan Bian adalah fashion yang dikenakan. Celana cutbray yang pernah tenar pada zamannya dipadukan dengan kemeja cerah bermotif bunga."Di mana Luna?" tanya pria bernama Jemi, salah satu karyawan Luna di kafe yang bertugas mengisi stok gudang. Pria itu datang untuk bertanya apa ada tambahan lain yang akan dibeli. Tentu saja itu hanya alasan, karena fakta sebenarnya adalah ia ingin menemui wanita itu. Hanya itu.Bian mengangkat tatapannya, menukik alisnya sebelah sembari duduk dengan santainya. "Duduklah. Ibu muda itu sedang menyusui putraku." Bian langsung mengklaim Arga sebagai putranya. Tidak ada
Luna tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sekarang karena kini ia berada di dalam mobil pria itu.Bian melirik sekilas, sedikit mengernyit melihat ekspresi Luna yang meringis, seperti menahan sakit."Kamu duduk di mobilku, aku akan anggap kamu menerima tawaranku," ucap Bian sambil menurunkan tatapannya, memeriksa apa yang membuat Luna meringis. Ia menajamkan penglihatannya dan melihat pergelangan tangan Luna yang memerah."Aku tidak punya pilihan," jawab Luna dingin, tanpa ekspresi.Hening. Selama perjalanan, mereka hanya terdiam, dan Arga pun tenang dalam box-nya."Beritahu aku jika kau ingin berhenti. Kapan Arga akan disusui lagi? Aku akan menghentikan mobilnya.""Aku bisa menyusuinya sambil kamu terus mengemudi," kata Luna tanpa banyak berpikir.Bian mendengus pelan. "Ya, kamu bisa menyusuinya, tapi aku tak bisa menjamin keselamatan kita jika fokusku terbelah," gumamnya, mencuri pandang untuk melihat reaksi Luna. Tapi, wanita itu justru terlihat melamun, tidak bereaksi sama sekali