Luna akhirnya menyerah. Menghindari Bian, dia memutuskan untuk meliburkan diri. Arga juga kebetulan sedang rewel. Jadi, dia memilih untuk berdiam diri di rumah bersama Arga. Pengasuh Arga ia liburkan selama dia libur. Ia sudah meminta kepada karyawannya untuk tidak memberitahu alamat rumahnya jika Bian bertanya kepada salah satu dari mereka. Luna sedang menyusui Arga sambil menatap penuh puja wajah sang anak. Arga baru saja mandi dan saatnya dia tidur lagi. Luna memindahkannya ke box. Dia akan merapikan rumah selama jagoannya tidur. Siang nanti Miya akan mampir untuk berpamitan pulang. "Tidur nyenyak, Jagoan Ibu." Ia mencium putranya sebelum beranjak.Luna membuka pintu kamarnya lalu menutupnya perlahan. Ia bersenandung riang, menatap pantulan dirinya di cermin, merapikan beberapa helai rambut yang terlepas dari kuncir ekor kudanya. Ketika bel pintu berbunyi, ia segera berlari kecil menuju pintu. "Mungkin Miya datang lebih awal."Senyum lebar menghiasi wajahnya saat membuka pintu, n
Luna berdiri di belakang Bian, menautkan jemarinya, mencoba menekan kecemasan, kegugupan, dan ketakutannya. Ia tidak menyangka Bian akan muncul setelah satu tahun berlalu.Luna berjalan mendekat ketika melihat jemari Bian menyentuh bayi mungil itu, membuka diapers-nya untuk memastikan jenis kelaminnya, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan Luna.Dari tempatnya berdiri, Luna bisa melihat bibir Bian bergerak, emosi yang jelas terpancar di wajahnya. Hal itu membuat Luna semakin takut.Haruskah ia mengatakan bahwa ia bekerja sebagai pengasuh bayi dan yang ia rawat adalah anak majikannya yang masih berusia tiga bulan? Tapi Luna segera mengenyahkan pikiran itu. Bayi ini jelas-jelas mirip dengannya. Sementara Alis, mata, dagu, merupakan replika miniatur Bian. "Ternyata benar, laki-laki," gumam Bian, tangannya kini menyentuh pipi si bayi. Sorot matanya memancarkan rasa takjub."Ya, tentu saja. Apa kamu kira aku menipu?"Bian mengulurkan tangannya, menggendong bayi itu ke dadanya. A
Bian menatap dari ujung kaki ke ujung kepala pria yang berdiri di hadapannya. Sebenarnya ia ingin tertawa melihat tampilan pria yang bergaya unik tersebut. Ia juga penasaran dari mana Luna menemukan manusia seperti pria itu.Rambut belah tengah, yang dikasih gel sebanyak mungkin. Ia yakin jika lalat hinggap, lalat tersebut akan terpeleset di atas sana. Tapi hal yang paling mengganggu pemandangan Bian adalah fashion yang dikenakan. Celana cutbray yang pernah tenar pada zamannya dipadukan dengan kemeja cerah bermotif bunga."Di mana Luna?" tanya pria bernama Jemi, salah satu karyawan Luna di kafe yang bertugas mengisi stok gudang. Pria itu datang untuk bertanya apa ada tambahan lain yang akan dibeli. Tentu saja itu hanya alasan, karena fakta sebenarnya adalah ia ingin menemui wanita itu. Hanya itu.Bian mengangkat tatapannya, menukik alisnya sebelah sembari duduk dengan santainya. "Duduklah. Ibu muda itu sedang menyusui putraku." Bian langsung mengklaim Arga sebagai putranya. Tidak ada
Luna tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sekarang karena kini ia berada di dalam mobil pria itu.Bian melirik sekilas, sedikit mengernyit melihat ekspresi Luna yang meringis, seperti menahan sakit."Kamu duduk di mobilku, aku akan anggap kamu menerima tawaranku," ucap Bian sambil menurunkan tatapannya, memeriksa apa yang membuat Luna meringis. Ia menajamkan penglihatannya dan melihat pergelangan tangan Luna yang memerah."Aku tidak punya pilihan," jawab Luna dingin, tanpa ekspresi.Hening. Selama perjalanan, mereka hanya terdiam, dan Arga pun tenang dalam box-nya."Beritahu aku jika kau ingin berhenti. Kapan Arga akan disusui lagi? Aku akan menghentikan mobilnya.""Aku bisa menyusuinya sambil kamu terus mengemudi," kata Luna tanpa banyak berpikir.Bian mendengus pelan. "Ya, kamu bisa menyusuinya, tapi aku tak bisa menjamin keselamatan kita jika fokusku terbelah," gumamnya, mencuri pandang untuk melihat reaksi Luna. Tapi, wanita itu justru terlihat melamun, tidak bereaksi sama sekali
Luna menarik napas dalam begitu mobil Bian sudah berhenti. Mereka sudah sampai di tujuan.Bian segera keluar, mengambil Arga bersamanya. Luna yang masih berada di dalam mobil hanya bisa mencibir.Tok. Tok.Kaca mobil diketuk, membuat Luna menoleh ke arah jendela."Kamu tidak berharap aku membukakan pintu untukmu, bukan?" "Bermimpi pun aku tak sudi." Luna dengan raut kesal segera membuka pintu mobil dan membantingnya hingga membuat Bian menaikkan sebelah alisnya. Hanya itu, lalu pria itu melangkah pergi. Tidak ada komentar apa pun membuat jiwa psikopat Luna berkobar. Ingin rasanya ia mencekik leher pria itu."Di mana kamar kami? Aku lelah."Mengabaikan perkataan Luna, Bian dengan tenang membawa Arga ke lantai dua. Luna memutar bola mata, jengah. Lantai dua, lantai yang dulu dilarang untuknya."Yang waras harus mengalah, Luna!" Luna menyemangati dirinya sendiri sembari mengelus dadanya. Sepertinya slogan itu akan menjadi pertahanan kewarasan baginya."Aku bisa mendengarmu.""Jadi, di m
Sepanjang malam Arga sangat rewel, sehingga Bian dan Luna dibuat begadang. Mungkin karena perubahan tempat membuat Arga tidak nyenyak dalam tidurnya, atau ia merindukan ranjangnya, hanya Tuhan dan bayi itu yang tahu."Apa ia sering seperti ini?" tanya Bian sembari duduk di samping Luna yang sedang menenangkan Arga sambil menyusui. Kondisi Arga yang menjerit melengking membuat mereka untuk tidak memperdebatkan siapa yang keluar dari kamar, saat sedang menyusu.Luna hanya menutupi kepala Arga juga payudaranya dengan kain tipis."Ini pertama kali," napas Luna terlihat tidak teratur, selain panik, wanita itu juga kewalahan. Tanpa bisa Bian hentikan, tangannya kini sudah mendarat di kening Luna, mengusap keringatnya. Setelahnya, ia pun berdiri mengambil air di nakas lalu membantu Luna meminumnya. Keduanya seakan tidak sadar dengan perhatian intim yang mereka tunjukkan. Bian melakukannya secara naluri, begitu Luna menerimanya karena ia butuh itu."Apakah rumah ini membuat kalian tidak nyama
"Kamu tidak berangkat bekerja?"Luna bertanya sambil merapikan tempat tidur mereka, sedangkan Bian baru keluar dari toilet dengan pakaian santainya, tidak dengan pakaian formal yang biasa ia kenakan saat bekerja."Tidak. Aku memutuskan untuk memperpanjang cutiku selama satu minggu. Kita perlu membeli perlengkapan Arga dan juga pakaian untukmu, dan kita juga perlu mencari rumah.""Harusnya tidak perlu seperti itu, aku bisa mengambil barang-barangku dan juga Arga di rumah,""Aku sudah meminta orang untuk mengurusnya."Harusnya aku tidak terkejut dengan ini. Pergerakannya lebih cepat dari ucapannya, Luna membatin."Jika tidak bekerja, apa kamu tidak khawatir perusahaanmu bangkrut?" Luna menoleh ke arah Bian yang sudah duduk dengan tenang di sofa panjang yang berada di sana sambil memainkan ponselnya, membaca laporan yang dikirimkan kepadanya."Tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Aku sudah menyerahkannya pada tangan yang ahli.""Siapa?" Apakah asistennya masih Nathan. Tidak mungkin. Luna
Bian menatap dua makhluk yang terlihat sangat berbeda satu sama lain. Jemi dan Digo. Tapi yang menjadi pertanyaannya kenapa kedua pria itu datang ke rumahnya. Oke, mereka mungkin punya kepentingan tentang kafe milik Luna, hanya saja keberadaan Digo sedikit mengganggunya. Pria itu terlihat normal, sedap dipandang, dan Bian tidak suka itu. Ia lebih suka pria seperti Jemi yang berada di sekitar Luna. Arga sedang tertidur, dan baby sitter yang diminta juga sudah datang, jadi Bian memutuskan untuk menemani Luna. Ia juga penasaran apa tujuan kedatangan dua pria itu.Melihat Luna yang ingin duduk di kursi yang berbeda dengannya, dengan sigap Bian menarik tangannya hingga terduduk di sampingnya. Luna hendak protes, tapi tatapan penuh peringatan yang dilayangkan Bian membuatnya menelan kembali ucapan yang ingin ia layangkan."Apa kalian sudah makan?"Bian berdehem, sengaja untuk mencari perhatian Luna. Luna menoleh, dengan wajah merengut kesal. "Bisakah kamu pergi, temani Arga di atas, aku pe