"Di mana Arga?" tanya Luna begitu ia masuk ke dalam kamar mereka."Tiga puluh menit, heh? Kau membuatku menunggu tiga puluh menit. Bagaimana, apa kamu sudah melepas rindu dengan kekasihmu itu," mengabaikan pertanyaan Luna, Bian malah menyindirnya serta menekan kalimatnya di akhir.Tiga puluh menit terpanjang dalam hidupnya. Ia sudah seperti cacing kepanasan di dalam kamar, mondar-mandir tak jelas, dan sekuat tenaga menahan kakinya agar tidak menyeret Luna dari bawah sana."Kamu kenapa?" Luna berjalan melewati Bian, ia merasa gerah dan perlu mengganti bajunya. "Di mana Arga?" Luna mengulang pertanyaannya kembali."Akh!" pekiknya, begitu Bian menarik pergelangan tangannya dan mendorong tubuhnya ke dinding."Apa yang kamu lakukan!" Luna berusaha mendorong tubuh Bian, tapi tubuh pria itu tetap bergeming."Menghukummu, dan aku tidak ingin putraku menyaksikan Ayah-nya menghukum Ibu-nya, jadi sebaiknya sekarang kamu jelaskan dengan baik apa tepatnya hubunganmu dengan pria itu.""Apa yang har
"Aakah perasaanku begitu tersamarkan hingga ia tidak bisa melihatnya," Bian keluar di bawah guyuran derasnya air hujan. "Aku marah, tapi aku juga takut. Apa perasaannya sudah berubah, atau aku yang terlalu percaya diri menganggap dulu ia menyukaiku." "Satu tahun ini tidak sedikit pun aku melupakannya. Bayangannya selalu mengusikku. Hatiku selalu bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan? apa ia mengingatku dan bahkan aku menahan geramanku saat membayangkan ia bertemu dengan pria lain. Sisi diriku yang lain membenarkan hal itu, itu lebih baik karena jika aku menemuinya akan berbeda ceritanya. Satu tahun ini aku lebih banyak memikirkannya dibanding hal lainnya. Aku tidak tahu sampai detik ini kapan tepatnya si bodoh itu menguasai hatiku. Julian, katakanlah aku brengsek, tapi aku tidak sanggup melihatnya berpaling pada pria lain, tapi nyatanya pria bernama Digo hadir mengaku jadi kekasihnya.""Kamu masuklah dulu," kata Julian sambil memegang payung untuk dirinya sendiri."Katakan Julian
Persetan dengan semuanya. Bian tidak tahan lagi melihat godaan bibir merah jambu yang mengerucut meniup-niupkan napas hangat nan lembut di tangannya yang luka. Rasa perihnya memang menghilang, tapi sialnya rasa yang lain pun timbul akibat tiupannya. Darah yang berdesir dan hasrat yang tergoda meminta ingin disalurkan.Bian menyesali kenapa ia harus meminta Luna meniup lukanya, kini ia sedang berperang dengan hati dan logikanya, haruskah ia melumat bibir menggoda itu? Mengingat pertengkaran mereka tadi, ciuman bukanlah solusi yang baik, tapi godaannya sungguh tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ia ingin mencicipinya. Sungguh sangat ingin.Di saat hati dan logikanya berperang, ternyata pergerakannya lebih cepat. Tanpa ia sadari kini bibirnya sudah menempel di bibir penuh godaan itu.Jangankan Luna, Bian juga terkejut dengan reaksinya. Mengabaikan kemungkinan Luna akan menamparnya, Bian kalah pada hasratnya. Ia mulai menggerakkan bibirnya, meski Luna tetap mengatupkan bibirnya.Oh Tuhan,
Sepanjang malam Bian terjaga, tidak tertidur sama sekali. Selain khawatir dengan kondisi Luna, tentu saja ia tidak bisa memejamkan matanya karena sesuatu yang tidak bisa tenang di bawah sana.Terima kasih kepada putranya, Arga, yang juga terlihat tenang dalam tidurnya, tidak protes saat Bian meminta pengasuh membuatkan susu formula untuknya. Dengan baik hati, Arga menghabiskan susunya walau beberapa kali menyemburkannya keluar. Seakan tahu ibunya sedang sakit, ia tidak rewel sama sekali. Sepertinya Arga adalah anak yang mudah diajak bekerja sama kelak saat ia dewasa nanti. Begitulah pemikiran Bian.Matahari pun mulai menunjukkan wujudnya, Bian bernapas lega, setidaknya ia tidak akan sungkan lagi untuk menghubungi dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, walau ia yakin Luna hanya mengalami demam biasa. Dan ya, sepertinya Luna juga perlu diberi obat flu sebelum ia dan Bian menularkan penyakit mereka kepada Arga. Sepertinya mereka harus menjauh beberapa hari dari Arga.Luna melengu
Bian membawa sang Dokter ke kamar. Luna sudah duduk di depan meja rias, tampak sedang menyisir rambut. Bian melangkah lebih dulu dari Dokter, mengambil alih sisir dari tangan Luna dan mulai menyisir rambutnya. Tanpa sadar, ia menggenggam beberapa helai dan mendekatkannya ke hidungnya, menghirup aroma yang begitu memikat. Luna hanya menatap datar melalui pantulan cermin. Tatapan mereka bertemu, Bian tersenyum manis, tapi dibalas dengan senyum kecut dari Luna, membuat Bian mengernyitkan dahi."Kenapa kamu sudah bangun dari tempat tidur? Kondisimu belum sepenuhnya pulih. Ayo kembali berbaring, Dokter datang untuk memeriksamu," ujar Bian. "Aku mendengar ada tamu.""Itu Sarena dan Julian. Tidak penting. Ayo kubantu kembali ke ranjang," katanya sambil menyentuh bahu Luna, berniat membantunya berdiri.Luna menepis tangan Bian dengan gerakan bahunya. "Aku bisa berjalan sendiri. Ini cuma demam biasa, tertular virus darimu. Jangan perlakukan aku seperti orang yang penyakitan," jawab Luna sengi
"Kamu salah, Dokter," Luna segera membantah. Meski kesal, ia menahan diri demi kesopanan. Gairah? Yang benar saja. Bian orang yang tidak akan bergairah padanya, sekalipun ia telanjang mungkin. Baginya, Bian menyentuhnya dulu hanya karena tuntutan pewaris. Mengingat hal itu, hatinya masih merasa sakit. Entah apa yang ia pikirkan saat ia memutuskan untuk tetap ikut dengan Bian."Ya, aku benar wanita muda. Jangan ragukan pandangan pria tua ini. Dan ya, melihat amarahmu yang berkobar seperti yang kamu katakan, kamu hanya butuh antibiotik dan penurun panas. Istirahatlah yang cukup agar segera pulih," dokter Dirga memberikan resepnya."Apa ini aman untuk ibu menyusui?" Tanya Luna."Kamu sedang menyusui?""Ya, putraku, Arga, baru berusia tiga bulan," jawab Luna sambil tersenyum kecil.Dokter Arga mengganti resepnya dan pamit undur diri.Luna menghela napas panjang lagi. Ia harus bersiap untuk bertemu dengan Sarena. "Hai, Luna..." Sarena langsung berdiri menyambut Luna. Memeluk wanita itu. "
Satu bulan pernikahan, hubungan keduanya tidak ada kemajuan sama sekali. Bian sudah kembali disibukkan oleh pekerjaannya, sehingga tidak ada komunikasi intens yang harus melibatkan keduanya.Pagi hari, Bian hanya sempat meminum kopinya, sarapan seadanya, dan bercanda sesaat dengan putranya, Arga. Sedangkan saat ia pulang bekerja, hari sudah larut karena pekerjaan yang menumpuk, sehingga ketika ia pulang, Luna dan Arga sudah tertidur.Akhir pekan juga tidak memungkinkan mereka berkumpul bersama, Bian sibuk menghadiri rapat, pertemuan bisnis, atau keluar kota. Sesekali, Luna mengunjungi sahabatnya, Miya, untuk mengurangi kepenatannya. Masalah cafenya tetap dipantau melalui laporan yang diberikan Jemi dan Digo.Dari kabar yang mereka berikan, pendapatan bulan ini bertambah, banyak yang pelanggan yang datang. Luna rindu bekerja, tetapi Arga masih terlalu kecil untuk ia tinggalkan.Selain statusnya yang berubah menjadi seorang istri dan ibu, kehidupannya masih sama saja. Tidak ada warna sa
"Keringkan tubuhmu, aku akan mengambilkan bajumu," Bian berkata sambil berbalik menuju lemari pakaian, tangannya mengambil gaun tidur dengan asal, sebuah gaun lembut tanpa dalaman. Suaranya terdengar tegas, tapi tidak memaksa, seperti biasa ketika ia ingin mengendalikan situasi.Luna mempererat lilitan handuk di tubuhnya, menatap punggung Bian yang semakin menjauh ke lemari. Jantungnya masih berdebar kencang setelah kejadian tadi. Ketika Bian berbalik dengan pakaian di tangannya, matanya menatap Luna dengan pandangan penuh keyakinan. "Lepaskan handuknya!" perintah Bian dengan nada rendah namun penuh otoritas, sesuatu yang membuat Luna sedikit terperangah."Kenapa?" Luna justru menegang, kedua tangannya dengan refleks memegang eratlilitan handuk di tubuhnya, enggan untuk menuruti perintah Bian. la bisa merasakan kehangatan tubuhnya memancar dari balik kain basah itu, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman saat diminta Bian untuk melepaskannya begitu saja."Agar aku bisa mengenaka