"Keringkan tubuhmu, aku akan mengambilkan bajumu," Bian berkata sambil berbalik menuju lemari pakaian, tangannya mengambil gaun tidur dengan asal, sebuah gaun lembut tanpa dalaman. Suaranya terdengar tegas, tapi tidak memaksa, seperti biasa ketika ia ingin mengendalikan situasi.Luna mempererat lilitan handuk di tubuhnya, menatap punggung Bian yang semakin menjauh ke lemari. Jantungnya masih berdebar kencang setelah kejadian tadi. Ketika Bian berbalik dengan pakaian di tangannya, matanya menatap Luna dengan pandangan penuh keyakinan. "Lepaskan handuknya!" perintah Bian dengan nada rendah namun penuh otoritas, sesuatu yang membuat Luna sedikit terperangah."Kenapa?" Luna justru menegang, kedua tangannya dengan refleks memegang eratlilitan handuk di tubuhnya, enggan untuk menuruti perintah Bian. la bisa merasakan kehangatan tubuhnya memancar dari balik kain basah itu, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman saat diminta Bian untuk melepaskannya begitu saja."Agar aku bisa mengenaka
"Mau kutunjukkan perbedaannya?" suara Bian terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh dengan hasrat yang begitu jelas. Tanpa menunggu jawaban, Bian sudah bergerak cepat, tubuhnya berada di atas Luna dalam sekejap, seolah-olah gravitasinya menariknya mendekat. Mata mereka bertemu dalam tatapan intens, yang tak hanya membuat jantung mereka saling bersahutan, tetapi juga mengungkapkan kerinduan yang telah lama terpendam. Kerinduan yang sayangnya, tak satu pun dari mereka berani mengakui.Bian membiarkan matanya menjelajahi setiap inci wajah Luna. Tatapannya meluncur dari kening, turun ke pipi, dan berhenti di bibir merah muda yang terlihat sangat menggiurkan. Glek! Tenggorokannya terasa kering, ia menelan ludah dengan susah payah. Ternyata bukan hanya Bian yang merasa tercekik oleh perasaan yang bergejolak, Luna pun merasakan hal yang sama. Dia meneguk ludahnya, mencoba membasahi tenggorokannya yang mendadak kering hanya karena kehadiran suaminya begitu dekat."A-apa yang ing
Bian kini bisa melihat dengan jelas hasil dari keputusannya tadi. Keputusan untuk tidak memakaikan dalaman pada istrinya. Bukan semata untuk tujuan menggoda, tapi ia hanya ingin membatasi kontak kulit mereka, yang jika terjadi, hanya akan menyiksanya lebih dalam. Satu sentuhan saja pada kulit lembut Luna sudah cukup membuatnya kehilangan kendali. Bayangan bermain dengan busa terasa jauh lebih aman dibandingkan realita panas yang mereka hadapi sekarang.Kedua tangan Luna sudah beralih ke belakang leher Bian, jari-jarinya bermain lembut di antara helaian rambut hitam tebal pria itu. Tak ada hentinya ia tergoda oleh tekstur rambut suaminya. Dengan sentuhan yang masih ragu, Luna mulai membiarkan jari-jarinya menjelajah lebih dalam. Ia menyadari sesuatu yang seharusnya sudah lama diakui.Ini bukan keliaran. Ini hakku. Luna terus meyakinkan dirinya sendiri, mencoba melepaskan rasa ragu yang masih menghantui.Bian hanya bisa tersenyum dalam hati. Sentuhan lembut Luna di rambutnya adalah bukt
Luna terbangun dengan perasaan kosong saat menyadari suaminya, Bian, sudah tidak ada di sampingnya. Senyum yang tadinya sempat menghiasi wajahnya kini perlahan pudar. Bayi mereka, Arga, juga tidak ada di dalam box di sudut ruangan. Dengan malas, Luna melirik jam dinding di seberang tempat tidur—pukul 08.00. Sudah jelas kenapa Bian tidak lagi berada di ranjang. Pagi ini ternyata sudah terlambat dimulai.Menurunkan kakinya dari ranjang dengan berat hati, Luna melangkah lesu menuju kamar mandi. Saat ia menyikat giginya di depan cermin, kilasan malam tadi melintas di pikirannya. "Jangan lupakan ini," kata-kata Bian kembali bergema di telinganya, membuat rona merah menjalar di pipinya. Jadi, ini bukan mimpi, batinnya penuh keyakinan.Usai dari kamar mandi, Luna menuju meja rias dan mulai mengoleskan krim di wajahnya. Gerakan tangannya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sesuatu di atas meja. Sepucuk surat dan setangkai bunga tergeletak manis di sana. Bibirnya tanpa sadar melengkung,
"Jadi, sayang, katakan di mana aku harus membidiknya?"Luna merasakan darahnya berhenti mengalir. Dunia di sekitarnya seakan berputar perlahan, hanya tersisa suara napasnya yang tercekat. Tanpa berpikir panjang, ia segera memutuskan panggilan telepon itu. Jantungnya berpacu seiring kepanikan yang menguasainya. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya dan segera menekan nomor Bian. Suaminya harus tahu tentang ancaman ini, tapi panggilannya hanya tersambung tanpa jawaban. Desahan frustrasi keluar dari bibirnya yang mulai bergetar.Tanpa menunggu lebih lama, Luna langsung berlari ke luar rumah, langkahnya tergesa-gesa seperti sedang dikejar waktu. Dua pengasuh yang sedang bermain dengan Arga memandangnya dengan kebingungan."Nyonya...?" salah satu dari mereka memanggil dengan cemas, sementara Arga terus tertawa tanpa sadar akan ketegangan yang melingkupi ibunya."Jaga Arga untukku, aku harus menemui suamiku," jawab Luna terburu-buru, nyaris tak menghiraukan nada khawatir mereka."Tapi
"TUTUP MATA KALIAN SEMUA!" Bian menggelegar, suaranya menggelegar seperti badai yang tak terduga, membuat semua orang terlonjak kaget. Luna yang berdiri di ambang pintu pun tersentak, tak menyangka suaminya akan bereaksi sedemikian rupa. Dengan langkah cepat, Bian langsung menuju ke arahnya, tatapannya tajam dan penuh perintah."Bisakah kamu meminta karyawanmu untuk berpakaian lebih sopan?" Luna menyuarakan kemarahannya, pandangannya tajam tertuju pada wanita yang berpakaian terlalu minim di tengah ruangan."Katakan itu pada dirimu, gadis nakal!" geram Bian dengan suara yang lebih rendah, seraya meraih jasnya dengan gerakan tegas dan memasangkannya di atas tubuh Luna, menutupi penampilan yang membuatnya merasa terhina di depan banyak mata.Luna mengernyitkan dahinya, bingung dengan sikap suaminya yang mendadak protektif, namun saat ia melirik ke bawah, jantungnya terasa berhenti berdetak. Matanya melebar saat menyadari betapa minimnya pakaiannya. Seketika rasa malu menyerangnya, begit
“Apa yang ia dapatkan jika membunuhku?” Bian bertanya dengan suara tenang, tenang yang justru membuat darah Luna mendidih. Ia ingin sekali mencakar wajah pria itu, tapi sesuatu menghentikannya—entah itu rasa takut atau cinta yang terlalu dalam.“Diriku,” jawab Luna pelan, namun kalimat itu membawa petir ke dalam ruangan.Bian terdiam. Tubuhnya yang semula santai, kini berubah tegang. Pelukan yang sebelumnya menenangkan, kini terasa seperti rantai yang menjerat erat hingga membuat Luna meringis kesakitan. Tanpa sepatah kata, Bian berdiri dan menurunkannya dari pangkuan, menempatkan Luna di tepi ranjang. Tangannya cekatan membantu istrinya melepaskan jas yang tadi ia kenakan untuk menutupi tubuhnya.“Jadi kamu kehilangan akal sehat karena apa? Karena takut pada si brengsek itu atau...” kata-katanya menggantung di udara, menggantungkan semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.“Tentu saja aku takut kamu benar-benar terbunuh!” seru Luna, tidak lagi mampu menahan diri. Ia segera duduk
Bian mengusap punggung Luna dengan lembut, sesekali memberikan kecupan di bahunya. Tubuhnya dipenuhi jejak perbuatannya, tanda-tanda keintiman yang mereka bagi. Bian tersenyum kecil, tak menyangka bahwa sekarang ia begitu menikmati momen-momen ini, sesuatu yang dulu mungkin tak pernah ia bayangkan. "Ini adalah hari terbaik dalam hidupku," bisiknya pelan di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh makna. "Hmm, benarkah? Itu artinya aku partner yang hebat," Luna mengangkat wajahnya, memamerkan seringai nakal yang membuat Bian tergelitik. "Kamu luar biasa," jawab Bian, wajahnya penuh kesungguhan saat menatap Luna. Mereka berdua saling menatap dalam keheningan yang nyaman. Bian menunduk dan memberikan kecupan singkat di bibir Luna. Namun, Luna yang penuh kejutan malah menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Bian, mengundang tawa kecil dari keduanya. Bian melepaskan ciuman itu perlahan, khawatir Luna kelelahan setelah semua yang mereka lalui. "Aku bisa gila karenamu, Luna," katanya,
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat