“Apa yang ia dapatkan jika membunuhku?” Bian bertanya dengan suara tenang, tenang yang justru membuat darah Luna mendidih. Ia ingin sekali mencakar wajah pria itu, tapi sesuatu menghentikannya—entah itu rasa takut atau cinta yang terlalu dalam.“Diriku,” jawab Luna pelan, namun kalimat itu membawa petir ke dalam ruangan.Bian terdiam. Tubuhnya yang semula santai, kini berubah tegang. Pelukan yang sebelumnya menenangkan, kini terasa seperti rantai yang menjerat erat hingga membuat Luna meringis kesakitan. Tanpa sepatah kata, Bian berdiri dan menurunkannya dari pangkuan, menempatkan Luna di tepi ranjang. Tangannya cekatan membantu istrinya melepaskan jas yang tadi ia kenakan untuk menutupi tubuhnya.“Jadi kamu kehilangan akal sehat karena apa? Karena takut pada si brengsek itu atau...” kata-katanya menggantung di udara, menggantungkan semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.“Tentu saja aku takut kamu benar-benar terbunuh!” seru Luna, tidak lagi mampu menahan diri. Ia segera duduk
Bian mengusap punggung Luna dengan lembut, sesekali memberikan kecupan di bahunya. Tubuhnya dipenuhi jejak perbuatannya, tanda-tanda keintiman yang mereka bagi. Bian tersenyum kecil, tak menyangka bahwa sekarang ia begitu menikmati momen-momen ini, sesuatu yang dulu mungkin tak pernah ia bayangkan. "Ini adalah hari terbaik dalam hidupku," bisiknya pelan di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh makna. "Hmm, benarkah? Itu artinya aku partner yang hebat," Luna mengangkat wajahnya, memamerkan seringai nakal yang membuat Bian tergelitik. "Kamu luar biasa," jawab Bian, wajahnya penuh kesungguhan saat menatap Luna. Mereka berdua saling menatap dalam keheningan yang nyaman. Bian menunduk dan memberikan kecupan singkat di bibir Luna. Namun, Luna yang penuh kejutan malah menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Bian, mengundang tawa kecil dari keduanya. Bian melepaskan ciuman itu perlahan, khawatir Luna kelelahan setelah semua yang mereka lalui. "Aku bisa gila karenamu, Luna," katanya,
Saling menggenggam erat, Luna tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Meski malam telah berakhir, rasanya semua yang baru saja terjadi masih seperti mimpi indah yang tak ingin ia lepaskan. Namun, genggaman tangan Bian yang kuat dan hangat membuatnya sadar bahwa ini adalah kenyataan. Semua keintiman, semua canda tawa, bukanlah bayangan semu—itu nyata, sepenuhnya nyata."Ini seperti mimpi," Luna berbisik pelan, suaranya dipenuhi kebahagiaan yang nyaris tidak bisa ia bendung.Bian menatapnya dengan mata penuh godaan, sebuah senyuman nakal terukir di wajahnya. "Ini nyata, Sayang. Atau mungkin kamu belum benar-benar merasakan semuanya sehingga masih mengira ini mimpi? Kalau begitu, bagaimana kalau kita ulangi lagi sampai kamu yakin dan tak bisa jalan besok pagi?" candanya, suaranya rendah dan menggoda.Luna memukul dada suaminya dengan lembut, pipinya bersemu merah. "Kamu selalu bercanda seperti itu!" gumamnya, antara malu dan manja.Tawa kecil keluar dari bibir Bian saat ia merangkul
Di balik setiap keberhasilan yang Bian raih, ada Luna yang berdiri tegak di sampingnya. Mereka mungkin memiliki tantangan dalam hubungan, tetapi sekarang, segala sesuatu tampak harmonis. Bian telah mengalihkan fokusnya ke proyek besar—mengembangkan hotel dengan memperluas lahan. Dan berita baiknya, pemilik lahan tempat kafe Luna berdiri setuju untuk bekerja sama dengannya. Namun, ada satu hal yang membuat Luna sedikit resah. Bian ingin mengintegrasikan kafe tersebut ke dalam hotelnya, namun Luna tidak bisa menerima ide bahwa kafenya, yang sudah menjadi tempat penuh kenangan dan cinta baginya, akan kehilangan identitasnya.Luna menatap layar monitor di ruang rapat, berusaha keras menjelaskan setiap poin penting tentang kafe yang dia cintai. Suaranya lantang, penuh percaya diri, menyampaikan keunggulan bisnisnya. Kafe itu bukan hanya tentang kopi dan pastry, tetapi tentang suasana, komunitas, dan nilai-nilai yang dia bangun dengan sepenuh hati. Luna tidak peduli siapa yang hadir di ruan
Hidup Bian kini benar-benar penuh warna. Bahkan ketika suara tangisan Arga yang melengking terdengar di rumah mereka, bagi Bian itu bagaikan nyanyian burung camar yang merdu, tanda kehidupan baru yang begitu dia syukuri. Setiap pagi, senyum Luna yang selalu menenangkan membuat hatinya terisi penuh kebahagiaan. Segalanya seperti berjalan sesuai keinginannya. Bisnisnya berkembang pesat, banyak perusahaan besar yang tertarik bekerja sama dengannya, menambah pundi-pundi kekayaan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bian merasa seperti pria paling beruntung di dunia—mempunyai istri yang begitu dicintai, seorang putra yang mengisi hari-harinya, dan kesuksesan yang terus mengalir.Sementara itu, Luna telah berhasil menyesuaikan diri dengan keluarga besar suaminya. Kini, dia bisa bebas bercanda dan berbagi cerita dengan mereka, seolah mereka adalah sahabat-sahabat lamanya. Keluarga Bian menerima Luna dengan sepenuh hati, mencintainya sebesar Bian mencintainya. Luna tak lagi merasa canggu
"Morning, sunshine," sapaan manis Bian menyambut pagi dengan kehangatan yang hanya bisa ia berikan untuk Luna. Suaranya rendah, penuh cinta, membuat hati Luna langsung terasa ringan meskipun tubuhnya masih berat dari tidur panjang. Luna menggeliat, meregangkan otot-otot yang kaku setelah semalaman terlelap. Sinar matahari menerobos jendela kamar mereka, menciptakan kilau yang begitu menyilaukan hingga Luna mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya. Ketika akhirnya fokusnya kembali, dia melihat Bian—sudah berpakaian rapi, berdiri di depan cermin besar yang menghiasi kamar mereka, terlihat begitu tampan dalam balutan setelan jasnya."Morning, handsome," Luna membalas dengan senyum yang lembut namun penuh makna. Senyum yang sudah Bian kenal baik, senyum yang selalu membuat dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Melihat itu, Bian merasa dadanya menghangat, senyum Luna selalu berhasil meredakan segala beban yang dia bawa."Aku sudah menyiapkan sar
Saat Bian tengah diliputi kepanikan melihat kondisi Luna yang tiba-tiba mual dan lemas, pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi lebih kacau. Seolah semua belum cukup, pintu kamar mereka tiba-tiba terbuka lebar, menampakkan sosok Sarena yang muncul dengan penuh energi. Sarena, seperti biasa, tampak ceria dan tak peduli dengan suasana hati orang lain. Ia langsung masuk tanpa permisi, dengan niat yang begitu jelas di wajahnya—ingin membawa Arga jalan-jalan."Kakak ipar, apa yang terjadi di sini?" tanya Sarena, matanya melebar ketika melihat Luna yang pucat di atas ranjang. Tanpa menunggu jawaban, ia mendekat sambil melirik sekilas ke arah Bian yang jelas-jelas sedang cemas.Luna menatap Sarena dengan senyum tipis, mencoba tidak terlihat terlalu lemah. "Aku merasa mual dan pusing," jawabnya singkat, suaranya terdengar pelan dan lelah."Sakit? Astaga! Sudah dipanggilkan dokter?!" Sarena hampir berteriak, membuat Bian menahan diri untuk tidak memutar matanya karena kecerewetan adiknya.
Julian memeriksa Luna dengan teliti, tetap fokus meskipun Sarena terus berbicara tanpa henti di dekatnya. Sarena, seperti biasa, tak bisa menahan diri untuk berkomentar tentang apa pun yang terlintas di pikirannya."Kakak ipar dan Bian akan punya bayi lagi," seru Sarena, matanya berbinar. "Kamu tidak cemburu, Julian?"Julian mendesah pelan, mencoba untuk tidak tersenyum mendengar pertanyaan yang terasa tidak relevan. "Kenapa aku harus cemburu, Sarena?" jawabnya sambil tetap memeriksa denyut nadi Luna. Suaranya tenang dan terkendali, khas Julian yang selalu tenang dalam segala situasi.Sarena mendekat, tak puas dengan jawaban datar Julian. "Yah, karena mereka akan punya dua bayi. Bayangkan! Aku sudah bisa melihat betapa lucunya mereka berdua nanti, berlarian di sekitar rumah. Dua keponakan untukku! Kamu sungguh tidak iri, kan?"Julian hanya mengangkat alis tanpa menanggapi lebih jauh, matanya masih fokus memeriksa Luna. "Kalau Luna benar-benar hamil, itu kabar baik," jawabnya datar. Na