Di balik setiap keberhasilan yang Bian raih, ada Luna yang berdiri tegak di sampingnya. Mereka mungkin memiliki tantangan dalam hubungan, tetapi sekarang, segala sesuatu tampak harmonis. Bian telah mengalihkan fokusnya ke proyek besar—mengembangkan hotel dengan memperluas lahan. Dan berita baiknya, pemilik lahan tempat kafe Luna berdiri setuju untuk bekerja sama dengannya. Namun, ada satu hal yang membuat Luna sedikit resah. Bian ingin mengintegrasikan kafe tersebut ke dalam hotelnya, namun Luna tidak bisa menerima ide bahwa kafenya, yang sudah menjadi tempat penuh kenangan dan cinta baginya, akan kehilangan identitasnya.Luna menatap layar monitor di ruang rapat, berusaha keras menjelaskan setiap poin penting tentang kafe yang dia cintai. Suaranya lantang, penuh percaya diri, menyampaikan keunggulan bisnisnya. Kafe itu bukan hanya tentang kopi dan pastry, tetapi tentang suasana, komunitas, dan nilai-nilai yang dia bangun dengan sepenuh hati. Luna tidak peduli siapa yang hadir di ruan
Hidup Bian kini benar-benar penuh warna. Bahkan ketika suara tangisan Arga yang melengking terdengar di rumah mereka, bagi Bian itu bagaikan nyanyian burung camar yang merdu, tanda kehidupan baru yang begitu dia syukuri. Setiap pagi, senyum Luna yang selalu menenangkan membuat hatinya terisi penuh kebahagiaan. Segalanya seperti berjalan sesuai keinginannya. Bisnisnya berkembang pesat, banyak perusahaan besar yang tertarik bekerja sama dengannya, menambah pundi-pundi kekayaan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bian merasa seperti pria paling beruntung di dunia—mempunyai istri yang begitu dicintai, seorang putra yang mengisi hari-harinya, dan kesuksesan yang terus mengalir.Sementara itu, Luna telah berhasil menyesuaikan diri dengan keluarga besar suaminya. Kini, dia bisa bebas bercanda dan berbagi cerita dengan mereka, seolah mereka adalah sahabat-sahabat lamanya. Keluarga Bian menerima Luna dengan sepenuh hati, mencintainya sebesar Bian mencintainya. Luna tak lagi merasa canggu
"Morning, sunshine," sapaan manis Bian menyambut pagi dengan kehangatan yang hanya bisa ia berikan untuk Luna. Suaranya rendah, penuh cinta, membuat hati Luna langsung terasa ringan meskipun tubuhnya masih berat dari tidur panjang. Luna menggeliat, meregangkan otot-otot yang kaku setelah semalaman terlelap. Sinar matahari menerobos jendela kamar mereka, menciptakan kilau yang begitu menyilaukan hingga Luna mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya. Ketika akhirnya fokusnya kembali, dia melihat Bian—sudah berpakaian rapi, berdiri di depan cermin besar yang menghiasi kamar mereka, terlihat begitu tampan dalam balutan setelan jasnya."Morning, handsome," Luna membalas dengan senyum yang lembut namun penuh makna. Senyum yang sudah Bian kenal baik, senyum yang selalu membuat dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Melihat itu, Bian merasa dadanya menghangat, senyum Luna selalu berhasil meredakan segala beban yang dia bawa."Aku sudah menyiapkan sar
Saat Bian tengah diliputi kepanikan melihat kondisi Luna yang tiba-tiba mual dan lemas, pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi lebih kacau. Seolah semua belum cukup, pintu kamar mereka tiba-tiba terbuka lebar, menampakkan sosok Sarena yang muncul dengan penuh energi. Sarena, seperti biasa, tampak ceria dan tak peduli dengan suasana hati orang lain. Ia langsung masuk tanpa permisi, dengan niat yang begitu jelas di wajahnya—ingin membawa Arga jalan-jalan."Kakak ipar, apa yang terjadi di sini?" tanya Sarena, matanya melebar ketika melihat Luna yang pucat di atas ranjang. Tanpa menunggu jawaban, ia mendekat sambil melirik sekilas ke arah Bian yang jelas-jelas sedang cemas.Luna menatap Sarena dengan senyum tipis, mencoba tidak terlihat terlalu lemah. "Aku merasa mual dan pusing," jawabnya singkat, suaranya terdengar pelan dan lelah."Sakit? Astaga! Sudah dipanggilkan dokter?!" Sarena hampir berteriak, membuat Bian menahan diri untuk tidak memutar matanya karena kecerewetan adiknya.
Julian memeriksa Luna dengan teliti, tetap fokus meskipun Sarena terus berbicara tanpa henti di dekatnya. Sarena, seperti biasa, tak bisa menahan diri untuk berkomentar tentang apa pun yang terlintas di pikirannya."Kakak ipar dan Bian akan punya bayi lagi," seru Sarena, matanya berbinar. "Kamu tidak cemburu, Julian?"Julian mendesah pelan, mencoba untuk tidak tersenyum mendengar pertanyaan yang terasa tidak relevan. "Kenapa aku harus cemburu, Sarena?" jawabnya sambil tetap memeriksa denyut nadi Luna. Suaranya tenang dan terkendali, khas Julian yang selalu tenang dalam segala situasi.Sarena mendekat, tak puas dengan jawaban datar Julian. "Yah, karena mereka akan punya dua bayi. Bayangkan! Aku sudah bisa melihat betapa lucunya mereka berdua nanti, berlarian di sekitar rumah. Dua keponakan untukku! Kamu sungguh tidak iri, kan?"Julian hanya mengangkat alis tanpa menanggapi lebih jauh, matanya masih fokus memeriksa Luna. "Kalau Luna benar-benar hamil, itu kabar baik," jawabnya datar. Na
Bian membawa Luna dan keluarganya ke Maldives, mengatur liburan khusus yang bertepatan dengan ulang tahun Sarena. Malam itu, di bawah langit penuh bintang dan dengan suara ombak yang tenang, mereka semua berkumpul untuk merayakan ulang tahun Sarena dengan suka cita. Bian, Julian, dan Arga terlihat akrab duduk bersama, sementara Luna mendekati Sarena dengan senyum hangat."Selamat ulang tahun, Sarena," ucap Luna sambil memeluk adik iparnya erat. Kehangatan persaudaraan mereka begitu terasa, dan Luna sangat bersyukur memiliki Sarena dalam hidupnya.Sarena membalas pelukan itu, lalu berbisik di telinga Luna, "Terima kasih. Doakan saja agar aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan." Ada keraguan di matanya, namun lebih dari itu, tekad yang kuat.Mata Luna melebar penuh penasaran, lalu ikut membisikkan pertanyaan, "Kamu sudah memutuskannya?" Ia melirik Bian yang masih sibuk berbincang serius dengan Julian sambil sesekali membetulkan posisi Arga di pangkuannya.Sarena menarik napas panjan
Malam itu terasa begitu tenang dan indah, diterangi oleh bintang-bintang yang tersebar di langit luas. Suasana damai itu kontras dengan tatapan tajam Sarena yang memandangi Julian dengan penuh harap, sementara ia mengharapkan hadiah istimewa dari pria di hadapannya."Mana hadiahku?" tuntut Sarena, tangannya terlipat sambil memandang Julian dengan penuh keseriusan.Julian meliriknya dengan nada malas namun tak bisa menyembunyikan senyum kecil di bibirnya. "Kamu bukan anak kecil lagi, Sarena," sahutnya, mencoba menahan tawa."Tetap saja, aku menginginkan kado darimu," lanjut Sarena, sedikit merajuk dengan mata berbinar. Sikapnya yang manja membuat Julian teringat masa kecil mereka, namun dia tahu Sarena sudah bukan anak kecil lagi.Mengalah, Julian menghela napas panjang. "Baiklah, kamu mau hadiah apa?" tanyanya dengan nada pasrah, mengetahui betul bahwa menolak permintaan Sarena hanya akan membuatnya semakin menuntut.Tatapan mata Sarena tiba-tiba berubah, ada kilatan misterius yang me
Sarena dengan cepat bergabung di lantai dansa, mengikuti irama musik yang memekakkan telinga dan membuat suasana malam semakin riuh. Banyak pria mulai mendekatinya, mencoba mengajaknya berbincang, bahkan beberapa terlihat berusaha mencuri perhatiannya lebih dari sekadar teman dansa. Julian, yang sejak tadi hanya mengawasi dari meja, mencoba untuk tetap tenang.Namun, setiap tawa Sarena yang terdengar saat berbicara dengan pria lain mulai menusuk rasa nyaman di dadanya, membuatnya semakin gelisah. Hatinya tiba-tiba berdenyut tak karuan. Dia mencoba mengalihkan perhatian, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ketidaksukaan biasa. Tetapi semakin lama dia melihatnya, semakin sulit untuk berpura-pura. Dia tidak suka melihat Sarena tertawa begitu lepas dengan pria-pria asing itu. Ada apa sebenarnya dengannya? Bukankah dia sudah menolak Sarena berulang kali? Tapi kenapa sekarang malah merasa marah?Dengan kesal, Julian mendekat ke bar dan memesan minuman, berharap bisa mengalihkan perha