Julian terbangun dengan kepala terasa berat, penglihatan buram, dan detak jantung yang berpacu. Saat matanya terbuka sepenuhnya, seketika jantungnya seperti berhenti. Sarena, dengan bahu terekspos di sebelahnya, tidur damai. Rambutnya kusut namun masih terlihat memikat, dan senyuman kecil menghiasi wajahnya seolah sedang bermimpi indah. Namun, bagi Julian, ini bukan mimpi indah, melainkan mimpi buruk.Panik menyeruak di benaknya saat matanya menangkap pakaian mereka berserakan di lantai. "Astaga…" bisiknya pelan, meraba wajahnya yang kini terasa panas. Pikirannya kalut, tak ada satu pun kepingan ingatan yang dapat membantu. Kepalanya masih terasa berdenyut, dan semua ini terasa seperti teka-teki yang tak ingin ia selesaikan.Sarena mulai bergerak pelan, lenguhannya membuat tubuh Julian menegang. Saat mata gadis itu terbuka, Sarena menatap Julian dengan senyum lembut yang menghantui pikirannya. Namun, bukannya membalas senyuman itu, Julian hanya menatapnya dengan wajah penuh ketegangan
Luna terdiam, mencoba mencerna segala sesuatu yang baru saja diceritakan Sarena. Tatapannya penuh rasa kasihan, namun juga terdapat amarah yang tertahan. Semua cerita keluar dari mulut adik iparnya dengan perasaan yang begitu hancur—dari awal Sarena menyatakan perasaannya pada Julian, hingga momen ulang tahunnya yang berakhir dengan mereka berdua di sebuah bar, yang kemudian, tanpa pernah diharapkan, membawa mereka ke ranjang Julian. Sarena pun mulai terisak, suaranya hampir berbisik ketika ia mengakhiri ceritanya.Luna tidak memaksa Sarena untuk menceritakan lebih banyak. Sebagai gantinya, ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan penuh kasih. “Sshh… Tidak apa-apa, Sarena. Kamu aman di sini,” bisik Luna dengan lembut. Luna tahu tindakan Sarena salah, tetapi saat ini bukan waktunya untuk menyalahkan atau menghakimi. “Ini memang bodoh,” pikir Luna dalam hatinya, “tetapi yang lebih penting adalah bagaimana aku membantunya bangkit, agar tidak semakin tersesat.
Bian dan Luna duduk di meja, suasana terasa sedikit tegang meski keduanya berusaha tampak biasa. Luna menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan di piring sambil sesekali menatap Arga yang mulai bermain-main dengan mainannya di pangkuannya. Bian, meskipun sudah mengalihkan perhatiannya ke makanan, sesekali melirik ke arah Luna dengan tatapan penuh pertanyaan yang tertahan.“Mas, cobain supnya,” ujar Luna, mencoba mencairkan suasana. “sepertinya sangat enak.Bian tersenyum tipis, menatapnya lembut sebelum menyeruput sup yang disodorkan. “Ini enak sekali,” komentarnya dengan nada lembut, meskipun masih terlihat sedikit cemas.Luna menarik napas lega, sedikit berterima kasih pada makanan yang bisa mengalihkan perhatian Bian. Namun, di dalam hatinya, dia masih merasa bersalah, terutama setelah mendengar curahan hati Sarena tadi. Dia tahu bahwa Sarena membutuhkan dukungan, tetapi juga paham betapa Bian bisa menjadi sangat protektif terhadap adiknya itu.Mereka makan dalam diam beberapa saa
Julian kembali ke kamar. Dia tidak sarapan sama sekali. Dan beberapa saat lalu, dia berdiri di depan pintu kamar Sarena. Namun, dia tidak berani untuk masuk. Bian juga mengatakan jika Sarena sedang butuh istirahat. Jadi, dia akan menunggu beberapa saat.Julian terduduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Rasanya seakan seluruh dunianya runtuh. Dia memijat pelipisnya dengan gemetar, mencoba mengusir bayangan peristiwa tadi malam yang perlahan terlintas kembali. Potongan-potongan ingatan mulai menggenang dalam benaknya: tawa Sarena, sorot matanya yang penuh harapan, dan akhirnya… tatapan luka dan kesedihan yang tak sanggup ia lupakan. Dia ingat, Sarena bukanlah gadis yang pantas diperlakukan seperti itu. Namun, kenyataan sudah terlanjur tercipta. Dan kini, dia berada di dalam pusaran penyesalan yang kian mencekik.Perlahan, Julian bangkit dan berjalan menuju jendela, merapatkan jemarinya di kusen sambil menatap keluar. Hatinya penuh dengan konflik, seakan dua sisi dalam d
"Ya Tuhan... Kemana sebenarnya dia pergi?" desis Bian, ekspresinya gabungan antara kebingungan, kekhawatiran, dan amarah. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba menghubungi Sarena, namun panggilan terus berakhir dengan nada sambung kosong. Mereka telah mencari di mana-mana, bahkan kembali ke rumah, berharap dia ada di sana. Namun, tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Luna, yang mengamati situasi dengan perasaan cemas yang kian mendalam, mencoba menenangkan Bian. “Coba kamu hubungi Ibu, Mas,” sarannya lembut, meskipun ketakutan tampak di matanya. Sesekali, ia melirik Julian yang juga tampak dilanda keresahan yang sama. Luna menahan diri untuk tidak menyalahkannya; ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Pikirannya terus berputar, ingin mencari penjelasan atas menghilangnya Sarena.Bian menarik napas dalam, menenangkan dirinya sejenak sebelum mengangguk setuju. “Ah, kamu benar juga, Sayang.” Meski wajahnya terlihat letih, ia tetap mencoba menampilkan senyum untuk menenangkan
Tiga minggu telah berlalu sejak Sarena menghilang tanpa jejak, meninggalkan Bian dan Julian dalam kecemasan yang memuncak. Setiap sudut kota telah mereka telusuri, setiap petunjuk kecil mereka ikuti, namun hasilnya nihil. Wajah Bian memancarkan kelelahan yang mendalam, garis-garis halus mulai muncul di dahi, sementara Julian—teman yang selama ini tampak tenang—berubah menjadi sosok yang hampir tak bisa dikenali. Dalam dua minggu terakhir, Julian telah menjadi bayang-bayang dirinya sendiri, tenggelam dalam rasa bersalah yang seakan menghantamnya dari segala arah. Pekerjaannya terbengkalai, pikirannya kalut, seolah hidupnya berantakan sejak Sarena menghilang.Di tengah kekacauan itu, pikiran Julian semakin dipenuhi bayangan Sarena. Sebuah rasa bersalah yang terpendam, yang semakin hari semakin tak tertahankan. Apakah ini saatnya mengungkapkan kebenaran pada Bian? Apakah ini saatnya Julian menanggung segala risiko dan menerima kemungkinan kehilangan sahabat yang selama ini setia di sisin
Bian melirik arlojinya, memperhatikan tanggal yang kini mendekati akhir bulan. Pikirannya berputar, menyusun berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Ia mengecup punggung tangan Luna, senyumnya penuh makna, “Hm, Sayang…” bisiknya lembut. “Apa tamu bulananmu belum datang juga?”Luna menggeleng, wajahnya sedikit bingung. Bian tertawa kecil, matanya penuh spekulasi yang hangat. Sepertinya ia mulai mengerti alasan di balik perubahan sikap Luna akhir-akhir ini. Jika dugaannya benar, ia harus segera membawa istrinya ke dokter untuk memastikan hal itu.“Kenapa tiba-tiba tanya begitu, Mas?” tanya Luna, matanya sedikit menyipit, seolah mencoba membaca pikiran Bian. Pria itu hanya menggeleng, senyumnya semakin lebar.“Tidak apa-apa,” jawabnya, suaranya tenang, menggoda. “Aku hanya memperhatikanmu, itu saja.”Luna tersenyum, lalu, dengan suara lembut yang penuh keingintahuan, ia berkata, “Boleh aku bertanya sesuatu, Mas?”Bian mengangkat alis, sedikit waspada. “Tentu saja, Luna. Tidak ada lara
Di sepanjang perjalanan pulang, Bian dan Luna tak henti-hentinya tersenyum, seolah dunia hanya milik mereka berdua saat ini. Senyum lebar dan tatapan penuh kebahagiaan itu menjadi bukti nyata rasa syukur mereka atas anugerah yang baru saja mereka terima.“Terima kasih sudah membuktikan bahwa aku seorang pria sejati, Sayang,” ucap Bian dengan nada lembut yang diiringi canda di matanya. Sambil masih menggenggam tangan Luna, ia meletakkannya di dadanya, seolah menyalurkan semua rasa sayangnya melalui sentuhan itu.Luna tertawa kecil, menggoda suaminya. “Kamu memang terlahir sebagai pria sejati. Apa kamu meragukan bibitmu dalam wujud Arga?”Bian tertawa renyah, lalu menggeleng. “Dia jagoanku. Bagaimana mungkin aku meragukan itu?” Dengan penuh kasih, ia mengecup punggung tangan Luna. “Kalau begitu, katakanlah, apa yang kamu inginkan saat ini, Sayang?”Luna memejamkan mata, membiarkan kehangatan ucapan Bian memenuhi hatinya. “Aku hanya menginginkanmu, Mas. Tetap di sini, di sisiku.”Bian te