Bian melirik arlojinya, memperhatikan tanggal yang kini mendekati akhir bulan. Pikirannya berputar, menyusun berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Ia mengecup punggung tangan Luna, senyumnya penuh makna, “Hm, Sayang…” bisiknya lembut. “Apa tamu bulananmu belum datang juga?”Luna menggeleng, wajahnya sedikit bingung. Bian tertawa kecil, matanya penuh spekulasi yang hangat. Sepertinya ia mulai mengerti alasan di balik perubahan sikap Luna akhir-akhir ini. Jika dugaannya benar, ia harus segera membawa istrinya ke dokter untuk memastikan hal itu.“Kenapa tiba-tiba tanya begitu, Mas?” tanya Luna, matanya sedikit menyipit, seolah mencoba membaca pikiran Bian. Pria itu hanya menggeleng, senyumnya semakin lebar.“Tidak apa-apa,” jawabnya, suaranya tenang, menggoda. “Aku hanya memperhatikanmu, itu saja.”Luna tersenyum, lalu, dengan suara lembut yang penuh keingintahuan, ia berkata, “Boleh aku bertanya sesuatu, Mas?”Bian mengangkat alis, sedikit waspada. “Tentu saja, Luna. Tidak ada lara
Di sepanjang perjalanan pulang, Bian dan Luna tak henti-hentinya tersenyum, seolah dunia hanya milik mereka berdua saat ini. Senyum lebar dan tatapan penuh kebahagiaan itu menjadi bukti nyata rasa syukur mereka atas anugerah yang baru saja mereka terima.“Terima kasih sudah membuktikan bahwa aku seorang pria sejati, Sayang,” ucap Bian dengan nada lembut yang diiringi canda di matanya. Sambil masih menggenggam tangan Luna, ia meletakkannya di dadanya, seolah menyalurkan semua rasa sayangnya melalui sentuhan itu.Luna tertawa kecil, menggoda suaminya. “Kamu memang terlahir sebagai pria sejati. Apa kamu meragukan bibitmu dalam wujud Arga?”Bian tertawa renyah, lalu menggeleng. “Dia jagoanku. Bagaimana mungkin aku meragukan itu?” Dengan penuh kasih, ia mengecup punggung tangan Luna. “Kalau begitu, katakanlah, apa yang kamu inginkan saat ini, Sayang?”Luna memejamkan mata, membiarkan kehangatan ucapan Bian memenuhi hatinya. “Aku hanya menginginkanmu, Mas. Tetap di sini, di sisiku.”Bian te
Bian dengan antusias mengangkat telepon dan langsung menghubungi ibunya untuk memberitahu kabar gembira ini. Suaranya penuh kehangatan, dan matanya bersinar cerah saat menceritakan bahwa ia dan Luna akan menjadi orangtua lagi. Sementara itu, Luna dan Julian duduk di sofa, saling bertukar pandang dalam keheningan. Luna, yang sudah berbicara dengan mertuanya dan menerima ucapan selamat, memandangi Julian dengan tatapan yang mulai berubah—menjadi tajam dan penuh perhitungan. Dia bisa melihat betapa hancurnya Julian, namun kali ini, simpati tampak sulit datang.“Sudah ada kabar dari Sarena?” Julian memulai, nadanya terdengar ringan namun penuh arti. Mendengar pertanyaan itu, Luna menatap Julian dengan pandangan yang lebih tajam dari biasanya, tatapan menuduh yang membuat pria di hadapannya menelan ludah. Julian, yang sudah terlalu larut dalam kepanikannya akan hilangnya Sarena, baru sadar bahwa sejak tadi, Luna memperhatikannya dengan seksama.Julian menghela napas, merasa terpojok di ba
Bian menatap Julian dengan pandangan tajam, berusaha menahan diri meskipun jantungnya berdegup kencang dan amarah membakar setiap syaraf dalam tubuhnya. "Maaf, kamu mengatakan apa?" Bian mengulang pertanyaan itu, berharap seandainya saja dia salah dengar. Namun, tatapan penuh penyesalan dari Julian hanya menegaskan segalanya.Julian menarik napas dalam, menatap sahabatnya tanpa berkedip. "Aku meniduri Sarena," ulangnya tegas, seolah menambahkan beban pada tiap kata. "Dan... sepertinya aku mencintainya." Di matanya, ada kegetiran yang tak mungkin disembunyikan. Julian tahu, dia telah melangkah terlalu jauh, dan kini dia berada di ambang kehilangan segalanya.Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka seperti kabut yang pekat. Bian menatap Julian tanpa ekspresi, bibirnya menipis menahan perasaan yang bergolak. "Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi salah satu yang paling bahagia dalam hidupku," katanya datar, seperti sedang menimbang perasaan yang baru saja dihancurkan. "Ha
Luna berhenti sejenak di depan pintu kamar mereka, membiarkan tangan gemetarnya menyentuh gagang pintu. Di balik pintu itu, ada suaminya—pria yang hatinya ia cintai sepenuh jiwa, namun juga pria yang kini mungkin terluka karenanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Sekuat tenaga, ia mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk menghadapi kecewaan di mata Bian. Jika ia tak melakukannya sekarang, rasa bersalah ini akan terus menghantuinya.Perlahan, ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar yang remang, menemukan sosok Bian berdiri dengan tenang di depan jendela. Siluetnya tampak tegas dalam keremangan, menatap kosong ke luar sana, seolah mencari jawaban yang tak bisa ia temukan di dalam dirinya sendiri. Luna merasakan hatinya tersayat melihat punggung suaminya yang biasanya kokoh dan penuh kehangatan, kini tampak dingin dan jauh. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat, merangkul Bian dari belakang. Ia tahu, Bian mungkin t
Saat menit berganti menjadi jam, dan jam berubah menjadi hari, waktu seolah bersekongkol melarutkan keduanya dalam rutinitas yang penuh ketulusan. Memasuki bulan kedua kehamilan Luna, meski tubuhnya belum menunjukkan perubahan signifikan, ada kegembiraan tak terlihat yang merekah di antara mereka. Namun, Bian tidak pernah lengah. Setiap pagi, dia bangun dengan perasaan hangat yang membuncah, dan setiap malam dia memastikan Luna tidur dalam pelukan hangatnya. Seolah dunia hanya mereka berdua yang memilikinya, waktu pun berputar lebih lambat, memberi mereka kesempatan menikmati setiap momen yang terasa begitu berharga.Pagi itu, saat Luna membuka mata, ia disambut dengan senyuman lembut Bian yang seakan menuturkan berjuta perasaan. “Pagi, Sayang,” ucap Bian, suaranya dalam dan penuh cinta, seolah-olah itu adalah ungkapan terindah yang pernah ia miliki.Luna tersenyum mengantuk, mengusap pipi Bian dengan jemarinya yang lembut. “Selamat pagi, Mas,” balasnya, nada suaranya begitu lembut hi
Setibanya di kantor, Bian masih saja terperangkap dalam gelombang mual yang datang silih berganti, memaksanya bolak-balik menuju kamar mandi. Setiap langkahnya terasa berat, dan ia menggerutu dalam hati atas ketidaknyamanan yang tak kunjung mereda. Rafael, sahabat dan rekan setianya, menatap Bian dengan cemas, keningnya berkerut dalam kekhawatiran.“Kamu perlu istirahat. Biar kupanggilkan Julian untuk memeriksamu,” Rafael menyarankan dengan nada serius, berusaha menenangkan suasana.Bian menghela napas, nada keberatan langsung muncul di wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak ia terakhir kali berkomunikasi dengan Julian, dan ia tidak ingin hal itu berubah. Tidak ada kata-kata atau permintaan maaf yang cukup untuk menghapus luka yang ditinggalkan Julian. Bahkan jika dari pengamatannya Julian tidak menyadari keberadaannya, dan hanya Sarena yang diam-diam menginformasikan Luna mengenai situasinya, itu tidak membuat Bian merasa lebih baik.“Aku tidak ingin bertemu dengan pria bajingan itu
Bian duduk tegak, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bosan meski telah hampir dua jam berlalu. Tatapan matanya tertuju pada pria di depannya, Julian, yang kesempurnaan wajahnya seperti memancarkan magnet yang kuat, menarik perhatian Bian dengan intensitas yang tak terelakkan. Setiap garis wajah Julian, setiap senyuman samar, bahkan gerakan kecil yang hampir tak terlihat, berhasil memikat setiap pemikiran di kepala Bian, seakan ada rahasia besar yang tersembunyi di balik mata pria itu—rahasia yang hanya bisa ia ungkap dengan menatap lebih dalam. Julian adalah teka-teki, dan Bian adalah pria yang bertekad menyelesaikan setiap kepingan yang tersebar di depannya.Dalam keheningan itu, Bian tetap memandang Julian dengan intensitas yang hanya bisa disamakan dengan obsesi. Ia merasa, di balik sikap sahabatnya yang terlihat tenang dan kuat, ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang ingin ia temukan. Namun, Julian, yang duduk dengan ketenangan semu, mulai merasa terjepit. Setiap d