Setibanya di kantor, Bian masih saja terperangkap dalam gelombang mual yang datang silih berganti, memaksanya bolak-balik menuju kamar mandi. Setiap langkahnya terasa berat, dan ia menggerutu dalam hati atas ketidaknyamanan yang tak kunjung mereda. Rafael, sahabat dan rekan setianya, menatap Bian dengan cemas, keningnya berkerut dalam kekhawatiran.“Kamu perlu istirahat. Biar kupanggilkan Julian untuk memeriksamu,” Rafael menyarankan dengan nada serius, berusaha menenangkan suasana.Bian menghela napas, nada keberatan langsung muncul di wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak ia terakhir kali berkomunikasi dengan Julian, dan ia tidak ingin hal itu berubah. Tidak ada kata-kata atau permintaan maaf yang cukup untuk menghapus luka yang ditinggalkan Julian. Bahkan jika dari pengamatannya Julian tidak menyadari keberadaannya, dan hanya Sarena yang diam-diam menginformasikan Luna mengenai situasinya, itu tidak membuat Bian merasa lebih baik.“Aku tidak ingin bertemu dengan pria bajingan itu
Bian duduk tegak, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bosan meski telah hampir dua jam berlalu. Tatapan matanya tertuju pada pria di depannya, Julian, yang kesempurnaan wajahnya seperti memancarkan magnet yang kuat, menarik perhatian Bian dengan intensitas yang tak terelakkan. Setiap garis wajah Julian, setiap senyuman samar, bahkan gerakan kecil yang hampir tak terlihat, berhasil memikat setiap pemikiran di kepala Bian, seakan ada rahasia besar yang tersembunyi di balik mata pria itu—rahasia yang hanya bisa ia ungkap dengan menatap lebih dalam. Julian adalah teka-teki, dan Bian adalah pria yang bertekad menyelesaikan setiap kepingan yang tersebar di depannya.Dalam keheningan itu, Bian tetap memandang Julian dengan intensitas yang hanya bisa disamakan dengan obsesi. Ia merasa, di balik sikap sahabatnya yang terlihat tenang dan kuat, ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang ingin ia temukan. Namun, Julian, yang duduk dengan ketenangan semu, mulai merasa terjepit. Setiap d
Luna menatap wajah Bian dengan penuh harap, senyumnya setengah menggoda, setengah memohon. "Sayang, sebaiknya kita pulang," ucapnya lembut, jari-jemarinya menggenggam tangan suaminya dengan hangat. Ia tahu betul betapa kesal Julian saat ini. Drama Sarena yang barusan menyita perhatian sudah cukup berat, dan kini Julian harus menghadapi tingkah laku Bian yang sulit dipahami. Seolah bisa membaca pikiran sahabatnya, Bian hanya tersenyum tenang, seakan tidak menyadari bahwa dirinya adalah sumber frustrasi tambahan bagi Julian.Namun, Bian tampak tak terpengaruh. "Aku belum bosan melihat wajahnya, sayang," ujarnya dengan santai, suaranya lembut bak bisikan angin malam. Tatapan matanya terpaku pada Julian, menambah rasa tertekan pada pria itu. Julian hanya bisa menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, tetapi wajahnya jelas menunjukkan keputusasaan yang dalam.“Aku bosan, sialan!” keluh Julian, suaranya tak lagi menutupi rasa frustrasi yang
Hari demi hari berlalu, hingga minggu berganti bulan. Kehamilan Luna kini memasuki bulan kesembilan, dan perutnya yang membesar membuat tidur semakin sulit. Setiap posisi yang dicoba selalu berakhir salah—namun, semua ketidaknyamanan itu ia lalui dengan penuh ketabahan. Ada perasaan hangat di hatinya; Luna jatuh cinta pada si kecil sejak detik pertama ia tahu bahwa kehidupan baru tumbuh dalam rahimnya. Ini bukan pengalaman pertama, tetapi kehamilan kedua ini terasa lebih istimewa, seolah tiap detik mendekatkan ia dan Bian pada kebahagiaan baru.Bian, suami penuh perhatian, adalah pria yang selalu terjaga saat Luna terbangun di tengah malam. Seolah nalurinya sebagai seorang ayah ikut tersentuh, kehamilan ini membuat Bian turut merasakan setiap gejalanya. Mulai dari mual, sakit punggung, hingga ngidam makanan yang tiba-tiba, yang sering kali membuatnya terjaga hingga pagi. Meski beban kehamilan fisik lebih berat di Luna, secara emosional, Bian-lah yang sering terlihat letih, namun ia
Bian merasakan ketidaknyamanan yang mengganggu tidurnya, seperti sebuah alarm tak terduga yang membangunkan jiwanya. Matanya terbelalak saat ia menyadari ada sesuatu yang basah di bawahnya. Dengan cepat, ia bangun dan memeriksa sumber rasa tidak nyaman itu, kebingungan melingkupi pikirannya. Rasanya seperti seluruh dunia berhenti sejenak, sementara pikirannya berputar, mencerna apa yang terjadi."Kenapa tempat tidurnya basah?" gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar, mencari-cari tahu dari mana asal air tersebut. Kecemasan mulai merayap di benaknya, menjalar seperti bayangan yang tidak diinginkan."Apa Luna mengompol?" lanjutnya, matanya terpaku pada posisi Luna yang terbaring di sampingnya, wajahnya tenang meski keringat kecil menghiasinya. Saat itu, ia merasakan ketegangan yang tak terhindarkan."Sayang," Bian berusaha membangunkan Luna dengan lembut, suaranya seperti bisikan pagi yang hangat yang penuh harapan. Namun, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa diabaikan
"Dia cantik sekali," Bian terus memujinya, tatapannya tak lepas dari bayi mungil yang terbungkus lembut dalam gendongannya. Setiap detik yang berlalu, rasa takjub mengalir dalam jiwanya, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. "Persis seperti kamu, Luna. Cantik dan luar biasa." Dengan penuh syukur, Bian mengangkat wajahnya, seolah meminta berkah dari sang Maha Kuasa yang telah memberinya keajaiban ini. Momen ini menjadi saksi cinta yang tak terhingga, terikat dalam keindahan seorang putri yang baru lahir."Hidungnya mirip seperti kamu, Mas," Luna menambahkan, senyumannya membangkitkan kehangatan dalam hati Bian. Senyumnya adalah pelangi yang menyinari hari-hari suram, membuatnya jatuh hati lagi pada sosok yang telah bersamanya dalam perjalanan ini. Dalam hatinya, ia merasakan kembali perasaan yang seolah terlupakan, mengingatkan betapa berartinya Luna dalam hidupnya."Kamu benar-benar anugerah terindah yang diberikan Tuhan padaku," ungkap Bian, suaranya penuh kelembutan. Setia
"Ibu..."Sarena merentangkan kedua tangannya dengan penuh rasa rindu saat melihat gadis kecilnya, Felicia, berlari menuju dirinya. Di bawah sinar matahari yang hangat, Felicia, dengan rambut keritingnya yang terurai dan gaun berwarna cerah, tampak seperti bintang kecil yang bersinar. Sarena mengangkatnya ke dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuh putrinya dan memutar-mutar tubuhnya dengan penuh kasih sayang. Gelak tawa Felicia mengisi udara di sekitar mereka, menghapus segala lelah yang Sarena rasakan setelah seharian beraktivitas."Aku merindukanmu, Ibu." Ucap gadis kecil itu dengan manik berbinar-binar."Oh Sayang, kamu manis sekali. Baru beberapa jam kita berpisah, kamu sudah merindukan Ibu-mu ini, heh?" Sarena tersenyum, menurunkan Felicia dari gendongannya. Matanya berkilau dengan kebahagiaan saat melihat senyum lebar putrinya."Kamu tahu ini pertama kali kita berpisah lagi, Ibu," Felicia menjawab dengan tulus, menatap Sarena dengan mata yang bersinar penuh rasa cinta."Ibu
Sepuluh menit sepeninggalan Ibunya, Felicia merasakan kebosanan yang menyengat. Suasana di sekitar resepsionis terasa menjemukan, dan desakan rasa ingin tahunya mulai mengalahkan rasa takutnya. Dengan hati-hati, Felicia meninggalkan meja resepsionis itu, tanpa menyadari bahwa wanita cantik itu tenggelam dalam pekerjaannya. Langkahnya yang kecil dan penuh rasa ingin tahu membawanya ke lift yang terbuka di depannya. Tanpa ragu, Felicia masuk dan menekan tombol tanpa tahu ke mana lift itu akan membawanya. Saat pintu lift terbuka, dia melangkah keluar, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu saat menyusuri lorong yang sepi. Ketika menemukan satu-satunya pintu di lantai itu, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membukanya."Sorry, sepertinya aku salah ruangan," ucap Felicia, senyum merekah di wajahnya. Julian, seorang pria yang terkejut melihat kemunculan anak kecil yang tiba-tiba, tidak dapat menahan senyum ketika melihat wajah ceria Felicia. Senyum manisnya seakan membawa cahaya ke da