Sepuluh menit sepeninggalan Ibunya, Felicia merasakan kebosanan yang menyengat. Suasana di sekitar resepsionis terasa menjemukan, dan desakan rasa ingin tahunya mulai mengalahkan rasa takutnya. Dengan hati-hati, Felicia meninggalkan meja resepsionis itu, tanpa menyadari bahwa wanita cantik itu tenggelam dalam pekerjaannya. Langkahnya yang kecil dan penuh rasa ingin tahu membawanya ke lift yang terbuka di depannya. Tanpa ragu, Felicia masuk dan menekan tombol tanpa tahu ke mana lift itu akan membawanya. Saat pintu lift terbuka, dia melangkah keluar, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu saat menyusuri lorong yang sepi. Ketika menemukan satu-satunya pintu di lantai itu, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membukanya."Sorry, sepertinya aku salah ruangan," ucap Felicia, senyum merekah di wajahnya. Julian, seorang pria yang terkejut melihat kemunculan anak kecil yang tiba-tiba, tidak dapat menahan senyum ketika melihat wajah ceria Felicia. Senyum manisnya seakan membawa cahaya ke da
"Ceritakan pada Uncle, kenapa kamu bisa berada di sini?" tanya Julian dengan nada lembut, matanya yang dalam berkilau penuh rasa ingin tahu saat mereka melangkah keluar dari ruangannya. Suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan aroma kopi yang menghangatkan dan suara langkah kaki karyawan yang bergegas, tetapi semua itu seolah memudar saat fokusnya tertuju pada gadis kecil di sampingnya."Ibu tadi sedang mengantar dagangannya ke ruang meeting," jawab Felicia dengan penuh semangat. Matanya berbinar seakan bintang-bintang berkilau di malam yang gelap saat mengingat misi kecil ibunya. Dalam hati Julian, ia merasakan kehangatan yang menjalar—ada sesuatu yang tulus dan murni dalam semangat Felicia yang mengingatkannya akan kebahagiaan yang sering terlupakan dalam hidupnya."Barang dagangan?" Julian mengulangi sambil mengerutkan dahi, menantikan penjelasan lebih lanjut. Suaranya penuh ketertarikan, seolah setiap kata yang diucapkan Felicia adalah kunci untuk mengungkap dunia baru yang penuh
"Astaga, ke mana dia?" Sarena panik bukan main. Matanya melirik ke segala arah, seolah berharap Felicia muncul dari balik sudut. Suara bising di lobi gedung yang ramai itu semakin memperburuk kekhawatirannya. Sarena bertanya kepada resepsionis dengan nada cemas, tetapi wanita itu hanya menggelengkan kepala, suaranya penuh penyesalan. "Maaf, saya tidak tahu apa-apa." Dalam sekejap, rasa tenang itu sirna, digantikan oleh gelombang cemas yang menggelora di dadanya. Jantungnya berdegup kencang, setiap detak menambah rasa bersalah yang meliputi pikirannya.Ponselnya tiba-tiba berdering, dan nama Luna, saudari iparnya, muncul di layar. Sarena meraihnya dengan harapan bahwa Luna bisa memberinya kabar baik."Hai..." Luna menyapa dengan riang, suaranya ceria seakan tidak menyadari kepanikan yang melanda Sarena. Sarena membalas dengan senyuman terpaksa, berusaha menyembunyikan rasa khawatir yang membakar hatinya."Kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Luna, menyoroti momen ceria yang seolah tida
“Mau sampai kapan kau berlari dan bersembunyi dariku, Sarena Anderson? Apa waktu empat tahun itu belum cukup buatmu?” Suara Julian mengisi udara di sekeliling mereka, meluncur penuh harapan dan keputusasaan. Sarena menghentikan langkahnya, tertegun mendengar ketulusan yang terpancar dari kata-kata pria yang telah lama dirindukannya. Setiap detak jantungnya terasa lebih cepat, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan ini, namun takdir seolah menahan langkahnya.Dengan penuh keberanian, Sarena berbalik, menatap Julian yang berdiri di sana, menanti dengan tatapan penuh kerinduan. Jantungnya kembali menggila, berdebar tak karuan. Pria yang sangat dirindukannya selama empat tahun ini kini berada di hadapannya, dan ia merasa seperti terjebak dalam mimpi indah yang terbangun kembali. Dalam hati, Sarena bergumam, “Lalu kenapa aku harus berlari lagi? Cukup sudah takdir mempermainkan kami.”Julian mulai melangkah mendekat, pelan namun pasti, seolah ingin mengikis semua jarak yang ada di anta
"Permisi, aku harap kalian tidak melupakan keberadaanku," ucap suara kecil itu, tenang dan santai, namun cukup untuk mengalihkan perhatian mereka. Julian dan Sarena terkejut, dan Sarena segera menjauhkan diri dari dekapan Julian. Wajahnya bersemu merah, rona malu jelas terlihat di pipinya. Situasi ini sungguh memalukan—apa lagi yang lebih memalukan daripada hampir tertangkap basah oleh putrinya sendiri dalam momen penuh perasaan seperti ini? Sarena menundukkan wajah, menghindari tatapan Julian yang kini tertawa kecil.Julian terkekeh, menundukkan kepalanya untuk melihat gadis cilik yang sedang memandang mereka berdua dengan ekspresi sok dewasa. Felicia berdiri dengan tangan terlipat di dada, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Dalam tatapan bocah itu, ada sedikit kekesalan bercampur kepolosan yang membuat Julian semakin tak mampu menahan senyumnya."Oh, Sayang, maafkan kami," ucap Julian, suara rendahnya lembut saat ia berbicara
"Wah... kau memiliki mobil yang tak kalah tampan darimu, Uncle," ucap Felicia penuh kekaguman, matanya berbinar saat tangannya menyentuh bagian dalam mobil mewah itu. Julian terkekeh mendengar gadis kecil itu menyamakan ketampanannya dengan mobilnya. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana menyenangkan hati seorang pria," pikirnya sambil menggeleng pelan."Apa kamu ingin mencobanya?" tawarnya dengan nada penuh kebapakan. Mata Felicia langsung berbinar lebih cerah, bibirnya melebar dalam senyum lebar."Benarkah?" tanyanya penuh semangat, seolah tak percaya dengan tawaran itu. Julian mengangguk mantap, melepaskan genggamannya dari tangan Sarena dan melangkah ke sisi pintu penumpang, membukanya dengan gerakan elegan. Felicia tampak hampir tak sabar, sementara Julian kembali mengulurkan tangannya untuk membimbing Sarena masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Tangannya terulur melindungi kepala Sarena, memastikan rambutnya yang lembut tak terbentur saat masuk."Julian, mobilku bagaimana?" pr
"Huh, yang benar saja... tanyakan saja pada dirimu sendiri kenapa aku pergi," tukas Sarena, nadanya penuh ironi, namun di dalam tatapan matanya yang menahan luka itu, ada bekas-bekas kerinduan yang tak ia mampu hapus.Julian menahan napas, serasa ditampar oleh realita yang ia abaikan terlalu lama. Matanya menatap lekat ke arah wanita yang mengisi seluruh ruang di hatinya, mencoba mencari jawaban atas kemarahan dan pengabaian yang dulu ia tunjukkan tanpa pikir panjang.“Oh Tuhan! Bisakah kalian berhenti?” suara Felicia mendadak memecah ketegangan di antara mereka. Suara itu penuh keluh-kesah, seperti seseorang yang merasa diabaikan, dan seketika mengalihkan perhatian Julian dan Sarena yang kini menatap gadis kecil itu dengan terkejut."Baiklah, Ibu. Sekarang katakan, apakah Uncle Julian adalah calon ayahku?" Felicia menatap ibunya dengan tatapan penuh tanya, sorot matanya tidak bisa disangkal memancarkan harapan yang tulus.Sarena tercekat, memandang putrinya yang masih menunggu jawab
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat