"Dia cantik sekali," Bian terus memujinya, tatapannya tak lepas dari bayi mungil yang terbungkus lembut dalam gendongannya. Setiap detik yang berlalu, rasa takjub mengalir dalam jiwanya, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. "Persis seperti kamu, Luna. Cantik dan luar biasa." Dengan penuh syukur, Bian mengangkat wajahnya, seolah meminta berkah dari sang Maha Kuasa yang telah memberinya keajaiban ini. Momen ini menjadi saksi cinta yang tak terhingga, terikat dalam keindahan seorang putri yang baru lahir."Hidungnya mirip seperti kamu, Mas," Luna menambahkan, senyumannya membangkitkan kehangatan dalam hati Bian. Senyumnya adalah pelangi yang menyinari hari-hari suram, membuatnya jatuh hati lagi pada sosok yang telah bersamanya dalam perjalanan ini. Dalam hatinya, ia merasakan kembali perasaan yang seolah terlupakan, mengingatkan betapa berartinya Luna dalam hidupnya."Kamu benar-benar anugerah terindah yang diberikan Tuhan padaku," ungkap Bian, suaranya penuh kelembutan. Setia
"Ibu..."Sarena merentangkan kedua tangannya dengan penuh rasa rindu saat melihat gadis kecilnya, Felicia, berlari menuju dirinya. Di bawah sinar matahari yang hangat, Felicia, dengan rambut keritingnya yang terurai dan gaun berwarna cerah, tampak seperti bintang kecil yang bersinar. Sarena mengangkatnya ke dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuh putrinya dan memutar-mutar tubuhnya dengan penuh kasih sayang. Gelak tawa Felicia mengisi udara di sekitar mereka, menghapus segala lelah yang Sarena rasakan setelah seharian beraktivitas."Aku merindukanmu, Ibu." Ucap gadis kecil itu dengan manik berbinar-binar."Oh Sayang, kamu manis sekali. Baru beberapa jam kita berpisah, kamu sudah merindukan Ibu-mu ini, heh?" Sarena tersenyum, menurunkan Felicia dari gendongannya. Matanya berkilau dengan kebahagiaan saat melihat senyum lebar putrinya."Kamu tahu ini pertama kali kita berpisah lagi, Ibu," Felicia menjawab dengan tulus, menatap Sarena dengan mata yang bersinar penuh rasa cinta."Ibu
Sepuluh menit sepeninggalan Ibunya, Felicia merasakan kebosanan yang menyengat. Suasana di sekitar resepsionis terasa menjemukan, dan desakan rasa ingin tahunya mulai mengalahkan rasa takutnya. Dengan hati-hati, Felicia meninggalkan meja resepsionis itu, tanpa menyadari bahwa wanita cantik itu tenggelam dalam pekerjaannya. Langkahnya yang kecil dan penuh rasa ingin tahu membawanya ke lift yang terbuka di depannya. Tanpa ragu, Felicia masuk dan menekan tombol tanpa tahu ke mana lift itu akan membawanya. Saat pintu lift terbuka, dia melangkah keluar, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu saat menyusuri lorong yang sepi. Ketika menemukan satu-satunya pintu di lantai itu, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membukanya."Sorry, sepertinya aku salah ruangan," ucap Felicia, senyum merekah di wajahnya. Julian, seorang pria yang terkejut melihat kemunculan anak kecil yang tiba-tiba, tidak dapat menahan senyum ketika melihat wajah ceria Felicia. Senyum manisnya seakan membawa cahaya ke da
"Ceritakan pada Uncle, kenapa kamu bisa berada di sini?" tanya Julian dengan nada lembut, matanya yang dalam berkilau penuh rasa ingin tahu saat mereka melangkah keluar dari ruangannya. Suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan aroma kopi yang menghangatkan dan suara langkah kaki karyawan yang bergegas, tetapi semua itu seolah memudar saat fokusnya tertuju pada gadis kecil di sampingnya."Ibu tadi sedang mengantar dagangannya ke ruang meeting," jawab Felicia dengan penuh semangat. Matanya berbinar seakan bintang-bintang berkilau di malam yang gelap saat mengingat misi kecil ibunya. Dalam hati Julian, ia merasakan kehangatan yang menjalar—ada sesuatu yang tulus dan murni dalam semangat Felicia yang mengingatkannya akan kebahagiaan yang sering terlupakan dalam hidupnya."Barang dagangan?" Julian mengulangi sambil mengerutkan dahi, menantikan penjelasan lebih lanjut. Suaranya penuh ketertarikan, seolah setiap kata yang diucapkan Felicia adalah kunci untuk mengungkap dunia baru yang penuh
"Astaga, ke mana dia?" Sarena panik bukan main. Matanya melirik ke segala arah, seolah berharap Felicia muncul dari balik sudut. Suara bising di lobi gedung yang ramai itu semakin memperburuk kekhawatirannya. Sarena bertanya kepada resepsionis dengan nada cemas, tetapi wanita itu hanya menggelengkan kepala, suaranya penuh penyesalan. "Maaf, saya tidak tahu apa-apa." Dalam sekejap, rasa tenang itu sirna, digantikan oleh gelombang cemas yang menggelora di dadanya. Jantungnya berdegup kencang, setiap detak menambah rasa bersalah yang meliputi pikirannya.Ponselnya tiba-tiba berdering, dan nama Luna, saudari iparnya, muncul di layar. Sarena meraihnya dengan harapan bahwa Luna bisa memberinya kabar baik."Hai..." Luna menyapa dengan riang, suaranya ceria seakan tidak menyadari kepanikan yang melanda Sarena. Sarena membalas dengan senyuman terpaksa, berusaha menyembunyikan rasa khawatir yang membakar hatinya."Kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Luna, menyoroti momen ceria yang seolah tida
“Mau sampai kapan kau berlari dan bersembunyi dariku, Sarena Anderson? Apa waktu empat tahun itu belum cukup buatmu?” Suara Julian mengisi udara di sekeliling mereka, meluncur penuh harapan dan keputusasaan. Sarena menghentikan langkahnya, tertegun mendengar ketulusan yang terpancar dari kata-kata pria yang telah lama dirindukannya. Setiap detak jantungnya terasa lebih cepat, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan ini, namun takdir seolah menahan langkahnya.Dengan penuh keberanian, Sarena berbalik, menatap Julian yang berdiri di sana, menanti dengan tatapan penuh kerinduan. Jantungnya kembali menggila, berdebar tak karuan. Pria yang sangat dirindukannya selama empat tahun ini kini berada di hadapannya, dan ia merasa seperti terjebak dalam mimpi indah yang terbangun kembali. Dalam hati, Sarena bergumam, “Lalu kenapa aku harus berlari lagi? Cukup sudah takdir mempermainkan kami.”Julian mulai melangkah mendekat, pelan namun pasti, seolah ingin mengikis semua jarak yang ada di anta
"Permisi, aku harap kalian tidak melupakan keberadaanku," ucap suara kecil itu, tenang dan santai, namun cukup untuk mengalihkan perhatian mereka. Julian dan Sarena terkejut, dan Sarena segera menjauhkan diri dari dekapan Julian. Wajahnya bersemu merah, rona malu jelas terlihat di pipinya. Situasi ini sungguh memalukan—apa lagi yang lebih memalukan daripada hampir tertangkap basah oleh putrinya sendiri dalam momen penuh perasaan seperti ini? Sarena menundukkan wajah, menghindari tatapan Julian yang kini tertawa kecil.Julian terkekeh, menundukkan kepalanya untuk melihat gadis cilik yang sedang memandang mereka berdua dengan ekspresi sok dewasa. Felicia berdiri dengan tangan terlipat di dada, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Dalam tatapan bocah itu, ada sedikit kekesalan bercampur kepolosan yang membuat Julian semakin tak mampu menahan senyumnya."Oh, Sayang, maafkan kami," ucap Julian, suara rendahnya lembut saat ia berbicara
"Wah... kau memiliki mobil yang tak kalah tampan darimu, Uncle," ucap Felicia penuh kekaguman, matanya berbinar saat tangannya menyentuh bagian dalam mobil mewah itu. Julian terkekeh mendengar gadis kecil itu menyamakan ketampanannya dengan mobilnya. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana menyenangkan hati seorang pria," pikirnya sambil menggeleng pelan."Apa kamu ingin mencobanya?" tawarnya dengan nada penuh kebapakan. Mata Felicia langsung berbinar lebih cerah, bibirnya melebar dalam senyum lebar."Benarkah?" tanyanya penuh semangat, seolah tak percaya dengan tawaran itu. Julian mengangguk mantap, melepaskan genggamannya dari tangan Sarena dan melangkah ke sisi pintu penumpang, membukanya dengan gerakan elegan. Felicia tampak hampir tak sabar, sementara Julian kembali mengulurkan tangannya untuk membimbing Sarena masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Tangannya terulur melindungi kepala Sarena, memastikan rambutnya yang lembut tak terbentur saat masuk."Julian, mobilku bagaimana?" pr