Luna berhenti sejenak di depan pintu kamar mereka, membiarkan tangan gemetarnya menyentuh gagang pintu. Di balik pintu itu, ada suaminya—pria yang hatinya ia cintai sepenuh jiwa, namun juga pria yang kini mungkin terluka karenanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Sekuat tenaga, ia mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk menghadapi kecewaan di mata Bian. Jika ia tak melakukannya sekarang, rasa bersalah ini akan terus menghantuinya.Perlahan, ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar yang remang, menemukan sosok Bian berdiri dengan tenang di depan jendela. Siluetnya tampak tegas dalam keremangan, menatap kosong ke luar sana, seolah mencari jawaban yang tak bisa ia temukan di dalam dirinya sendiri. Luna merasakan hatinya tersayat melihat punggung suaminya yang biasanya kokoh dan penuh kehangatan, kini tampak dingin dan jauh. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat, merangkul Bian dari belakang. Ia tahu, Bian mungkin t
Saat menit berganti menjadi jam, dan jam berubah menjadi hari, waktu seolah bersekongkol melarutkan keduanya dalam rutinitas yang penuh ketulusan. Memasuki bulan kedua kehamilan Luna, meski tubuhnya belum menunjukkan perubahan signifikan, ada kegembiraan tak terlihat yang merekah di antara mereka. Namun, Bian tidak pernah lengah. Setiap pagi, dia bangun dengan perasaan hangat yang membuncah, dan setiap malam dia memastikan Luna tidur dalam pelukan hangatnya. Seolah dunia hanya mereka berdua yang memilikinya, waktu pun berputar lebih lambat, memberi mereka kesempatan menikmati setiap momen yang terasa begitu berharga.Pagi itu, saat Luna membuka mata, ia disambut dengan senyuman lembut Bian yang seakan menuturkan berjuta perasaan. “Pagi, Sayang,” ucap Bian, suaranya dalam dan penuh cinta, seolah-olah itu adalah ungkapan terindah yang pernah ia miliki.Luna tersenyum mengantuk, mengusap pipi Bian dengan jemarinya yang lembut. “Selamat pagi, Mas,” balasnya, nada suaranya begitu lembut hi
Setibanya di kantor, Bian masih saja terperangkap dalam gelombang mual yang datang silih berganti, memaksanya bolak-balik menuju kamar mandi. Setiap langkahnya terasa berat, dan ia menggerutu dalam hati atas ketidaknyamanan yang tak kunjung mereda. Rafael, sahabat dan rekan setianya, menatap Bian dengan cemas, keningnya berkerut dalam kekhawatiran.“Kamu perlu istirahat. Biar kupanggilkan Julian untuk memeriksamu,” Rafael menyarankan dengan nada serius, berusaha menenangkan suasana.Bian menghela napas, nada keberatan langsung muncul di wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak ia terakhir kali berkomunikasi dengan Julian, dan ia tidak ingin hal itu berubah. Tidak ada kata-kata atau permintaan maaf yang cukup untuk menghapus luka yang ditinggalkan Julian. Bahkan jika dari pengamatannya Julian tidak menyadari keberadaannya, dan hanya Sarena yang diam-diam menginformasikan Luna mengenai situasinya, itu tidak membuat Bian merasa lebih baik.“Aku tidak ingin bertemu dengan pria bajingan itu
Bian duduk tegak, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bosan meski telah hampir dua jam berlalu. Tatapan matanya tertuju pada pria di depannya, Julian, yang kesempurnaan wajahnya seperti memancarkan magnet yang kuat, menarik perhatian Bian dengan intensitas yang tak terelakkan. Setiap garis wajah Julian, setiap senyuman samar, bahkan gerakan kecil yang hampir tak terlihat, berhasil memikat setiap pemikiran di kepala Bian, seakan ada rahasia besar yang tersembunyi di balik mata pria itu—rahasia yang hanya bisa ia ungkap dengan menatap lebih dalam. Julian adalah teka-teki, dan Bian adalah pria yang bertekad menyelesaikan setiap kepingan yang tersebar di depannya.Dalam keheningan itu, Bian tetap memandang Julian dengan intensitas yang hanya bisa disamakan dengan obsesi. Ia merasa, di balik sikap sahabatnya yang terlihat tenang dan kuat, ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang ingin ia temukan. Namun, Julian, yang duduk dengan ketenangan semu, mulai merasa terjepit. Setiap d
Luna menatap wajah Bian dengan penuh harap, senyumnya setengah menggoda, setengah memohon. "Sayang, sebaiknya kita pulang," ucapnya lembut, jari-jemarinya menggenggam tangan suaminya dengan hangat. Ia tahu betul betapa kesal Julian saat ini. Drama Sarena yang barusan menyita perhatian sudah cukup berat, dan kini Julian harus menghadapi tingkah laku Bian yang sulit dipahami. Seolah bisa membaca pikiran sahabatnya, Bian hanya tersenyum tenang, seakan tidak menyadari bahwa dirinya adalah sumber frustrasi tambahan bagi Julian.Namun, Bian tampak tak terpengaruh. "Aku belum bosan melihat wajahnya, sayang," ujarnya dengan santai, suaranya lembut bak bisikan angin malam. Tatapan matanya terpaku pada Julian, menambah rasa tertekan pada pria itu. Julian hanya bisa menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, tetapi wajahnya jelas menunjukkan keputusasaan yang dalam.“Aku bosan, sialan!” keluh Julian, suaranya tak lagi menutupi rasa frustrasi yang
Hari demi hari berlalu, hingga minggu berganti bulan. Kehamilan Luna kini memasuki bulan kesembilan, dan perutnya yang membesar membuat tidur semakin sulit. Setiap posisi yang dicoba selalu berakhir salah—namun, semua ketidaknyamanan itu ia lalui dengan penuh ketabahan. Ada perasaan hangat di hatinya; Luna jatuh cinta pada si kecil sejak detik pertama ia tahu bahwa kehidupan baru tumbuh dalam rahimnya. Ini bukan pengalaman pertama, tetapi kehamilan kedua ini terasa lebih istimewa, seolah tiap detik mendekatkan ia dan Bian pada kebahagiaan baru.Bian, suami penuh perhatian, adalah pria yang selalu terjaga saat Luna terbangun di tengah malam. Seolah nalurinya sebagai seorang ayah ikut tersentuh, kehamilan ini membuat Bian turut merasakan setiap gejalanya. Mulai dari mual, sakit punggung, hingga ngidam makanan yang tiba-tiba, yang sering kali membuatnya terjaga hingga pagi. Meski beban kehamilan fisik lebih berat di Luna, secara emosional, Bian-lah yang sering terlihat letih, namun ia
Bian merasakan ketidaknyamanan yang mengganggu tidurnya, seperti sebuah alarm tak terduga yang membangunkan jiwanya. Matanya terbelalak saat ia menyadari ada sesuatu yang basah di bawahnya. Dengan cepat, ia bangun dan memeriksa sumber rasa tidak nyaman itu, kebingungan melingkupi pikirannya. Rasanya seperti seluruh dunia berhenti sejenak, sementara pikirannya berputar, mencerna apa yang terjadi."Kenapa tempat tidurnya basah?" gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar, mencari-cari tahu dari mana asal air tersebut. Kecemasan mulai merayap di benaknya, menjalar seperti bayangan yang tidak diinginkan."Apa Luna mengompol?" lanjutnya, matanya terpaku pada posisi Luna yang terbaring di sampingnya, wajahnya tenang meski keringat kecil menghiasinya. Saat itu, ia merasakan ketegangan yang tak terhindarkan."Sayang," Bian berusaha membangunkan Luna dengan lembut, suaranya seperti bisikan pagi yang hangat yang penuh harapan. Namun, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa diabaikan
"Dia cantik sekali," Bian terus memujinya, tatapannya tak lepas dari bayi mungil yang terbungkus lembut dalam gendongannya. Setiap detik yang berlalu, rasa takjub mengalir dalam jiwanya, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. "Persis seperti kamu, Luna. Cantik dan luar biasa." Dengan penuh syukur, Bian mengangkat wajahnya, seolah meminta berkah dari sang Maha Kuasa yang telah memberinya keajaiban ini. Momen ini menjadi saksi cinta yang tak terhingga, terikat dalam keindahan seorang putri yang baru lahir."Hidungnya mirip seperti kamu, Mas," Luna menambahkan, senyumannya membangkitkan kehangatan dalam hati Bian. Senyumnya adalah pelangi yang menyinari hari-hari suram, membuatnya jatuh hati lagi pada sosok yang telah bersamanya dalam perjalanan ini. Dalam hatinya, ia merasakan kembali perasaan yang seolah terlupakan, mengingatkan betapa berartinya Luna dalam hidupnya."Kamu benar-benar anugerah terindah yang diberikan Tuhan padaku," ungkap Bian, suaranya penuh kelembutan. Setia
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat