"Ya Tuhan... Kemana sebenarnya dia pergi?" desis Bian, ekspresinya gabungan antara kebingungan, kekhawatiran, dan amarah. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba menghubungi Sarena, namun panggilan terus berakhir dengan nada sambung kosong. Mereka telah mencari di mana-mana, bahkan kembali ke rumah, berharap dia ada di sana. Namun, tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Luna, yang mengamati situasi dengan perasaan cemas yang kian mendalam, mencoba menenangkan Bian. “Coba kamu hubungi Ibu, Mas,” sarannya lembut, meskipun ketakutan tampak di matanya. Sesekali, ia melirik Julian yang juga tampak dilanda keresahan yang sama. Luna menahan diri untuk tidak menyalahkannya; ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Pikirannya terus berputar, ingin mencari penjelasan atas menghilangnya Sarena.Bian menarik napas dalam, menenangkan dirinya sejenak sebelum mengangguk setuju. “Ah, kamu benar juga, Sayang.” Meski wajahnya terlihat letih, ia tetap mencoba menampilkan senyum untuk menenangkan
Tiga minggu telah berlalu sejak Sarena menghilang tanpa jejak, meninggalkan Bian dan Julian dalam kecemasan yang memuncak. Setiap sudut kota telah mereka telusuri, setiap petunjuk kecil mereka ikuti, namun hasilnya nihil. Wajah Bian memancarkan kelelahan yang mendalam, garis-garis halus mulai muncul di dahi, sementara Julian—teman yang selama ini tampak tenang—berubah menjadi sosok yang hampir tak bisa dikenali. Dalam dua minggu terakhir, Julian telah menjadi bayang-bayang dirinya sendiri, tenggelam dalam rasa bersalah yang seakan menghantamnya dari segala arah. Pekerjaannya terbengkalai, pikirannya kalut, seolah hidupnya berantakan sejak Sarena menghilang.Di tengah kekacauan itu, pikiran Julian semakin dipenuhi bayangan Sarena. Sebuah rasa bersalah yang terpendam, yang semakin hari semakin tak tertahankan. Apakah ini saatnya mengungkapkan kebenaran pada Bian? Apakah ini saatnya Julian menanggung segala risiko dan menerima kemungkinan kehilangan sahabat yang selama ini setia di sisin
Bian melirik arlojinya, memperhatikan tanggal yang kini mendekati akhir bulan. Pikirannya berputar, menyusun berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Ia mengecup punggung tangan Luna, senyumnya penuh makna, “Hm, Sayang…” bisiknya lembut. “Apa tamu bulananmu belum datang juga?”Luna menggeleng, wajahnya sedikit bingung. Bian tertawa kecil, matanya penuh spekulasi yang hangat. Sepertinya ia mulai mengerti alasan di balik perubahan sikap Luna akhir-akhir ini. Jika dugaannya benar, ia harus segera membawa istrinya ke dokter untuk memastikan hal itu.“Kenapa tiba-tiba tanya begitu, Mas?” tanya Luna, matanya sedikit menyipit, seolah mencoba membaca pikiran Bian. Pria itu hanya menggeleng, senyumnya semakin lebar.“Tidak apa-apa,” jawabnya, suaranya tenang, menggoda. “Aku hanya memperhatikanmu, itu saja.”Luna tersenyum, lalu, dengan suara lembut yang penuh keingintahuan, ia berkata, “Boleh aku bertanya sesuatu, Mas?”Bian mengangkat alis, sedikit waspada. “Tentu saja, Luna. Tidak ada lara
Di sepanjang perjalanan pulang, Bian dan Luna tak henti-hentinya tersenyum, seolah dunia hanya milik mereka berdua saat ini. Senyum lebar dan tatapan penuh kebahagiaan itu menjadi bukti nyata rasa syukur mereka atas anugerah yang baru saja mereka terima.“Terima kasih sudah membuktikan bahwa aku seorang pria sejati, Sayang,” ucap Bian dengan nada lembut yang diiringi canda di matanya. Sambil masih menggenggam tangan Luna, ia meletakkannya di dadanya, seolah menyalurkan semua rasa sayangnya melalui sentuhan itu.Luna tertawa kecil, menggoda suaminya. “Kamu memang terlahir sebagai pria sejati. Apa kamu meragukan bibitmu dalam wujud Arga?”Bian tertawa renyah, lalu menggeleng. “Dia jagoanku. Bagaimana mungkin aku meragukan itu?” Dengan penuh kasih, ia mengecup punggung tangan Luna. “Kalau begitu, katakanlah, apa yang kamu inginkan saat ini, Sayang?”Luna memejamkan mata, membiarkan kehangatan ucapan Bian memenuhi hatinya. “Aku hanya menginginkanmu, Mas. Tetap di sini, di sisiku.”Bian te
Bian dengan antusias mengangkat telepon dan langsung menghubungi ibunya untuk memberitahu kabar gembira ini. Suaranya penuh kehangatan, dan matanya bersinar cerah saat menceritakan bahwa ia dan Luna akan menjadi orangtua lagi. Sementara itu, Luna dan Julian duduk di sofa, saling bertukar pandang dalam keheningan. Luna, yang sudah berbicara dengan mertuanya dan menerima ucapan selamat, memandangi Julian dengan tatapan yang mulai berubah—menjadi tajam dan penuh perhitungan. Dia bisa melihat betapa hancurnya Julian, namun kali ini, simpati tampak sulit datang.“Sudah ada kabar dari Sarena?” Julian memulai, nadanya terdengar ringan namun penuh arti. Mendengar pertanyaan itu, Luna menatap Julian dengan pandangan yang lebih tajam dari biasanya, tatapan menuduh yang membuat pria di hadapannya menelan ludah. Julian, yang sudah terlalu larut dalam kepanikannya akan hilangnya Sarena, baru sadar bahwa sejak tadi, Luna memperhatikannya dengan seksama.Julian menghela napas, merasa terpojok di ba
Bian menatap Julian dengan pandangan tajam, berusaha menahan diri meskipun jantungnya berdegup kencang dan amarah membakar setiap syaraf dalam tubuhnya. "Maaf, kamu mengatakan apa?" Bian mengulang pertanyaan itu, berharap seandainya saja dia salah dengar. Namun, tatapan penuh penyesalan dari Julian hanya menegaskan segalanya.Julian menarik napas dalam, menatap sahabatnya tanpa berkedip. "Aku meniduri Sarena," ulangnya tegas, seolah menambahkan beban pada tiap kata. "Dan... sepertinya aku mencintainya." Di matanya, ada kegetiran yang tak mungkin disembunyikan. Julian tahu, dia telah melangkah terlalu jauh, dan kini dia berada di ambang kehilangan segalanya.Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka seperti kabut yang pekat. Bian menatap Julian tanpa ekspresi, bibirnya menipis menahan perasaan yang bergolak. "Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi salah satu yang paling bahagia dalam hidupku," katanya datar, seperti sedang menimbang perasaan yang baru saja dihancurkan. "Ha
Luna berhenti sejenak di depan pintu kamar mereka, membiarkan tangan gemetarnya menyentuh gagang pintu. Di balik pintu itu, ada suaminya—pria yang hatinya ia cintai sepenuh jiwa, namun juga pria yang kini mungkin terluka karenanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Sekuat tenaga, ia mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk menghadapi kecewaan di mata Bian. Jika ia tak melakukannya sekarang, rasa bersalah ini akan terus menghantuinya.Perlahan, ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar yang remang, menemukan sosok Bian berdiri dengan tenang di depan jendela. Siluetnya tampak tegas dalam keremangan, menatap kosong ke luar sana, seolah mencari jawaban yang tak bisa ia temukan di dalam dirinya sendiri. Luna merasakan hatinya tersayat melihat punggung suaminya yang biasanya kokoh dan penuh kehangatan, kini tampak dingin dan jauh. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat, merangkul Bian dari belakang. Ia tahu, Bian mungkin t
Saat menit berganti menjadi jam, dan jam berubah menjadi hari, waktu seolah bersekongkol melarutkan keduanya dalam rutinitas yang penuh ketulusan. Memasuki bulan kedua kehamilan Luna, meski tubuhnya belum menunjukkan perubahan signifikan, ada kegembiraan tak terlihat yang merekah di antara mereka. Namun, Bian tidak pernah lengah. Setiap pagi, dia bangun dengan perasaan hangat yang membuncah, dan setiap malam dia memastikan Luna tidur dalam pelukan hangatnya. Seolah dunia hanya mereka berdua yang memilikinya, waktu pun berputar lebih lambat, memberi mereka kesempatan menikmati setiap momen yang terasa begitu berharga.Pagi itu, saat Luna membuka mata, ia disambut dengan senyuman lembut Bian yang seakan menuturkan berjuta perasaan. “Pagi, Sayang,” ucap Bian, suaranya dalam dan penuh cinta, seolah-olah itu adalah ungkapan terindah yang pernah ia miliki.Luna tersenyum mengantuk, mengusap pipi Bian dengan jemarinya yang lembut. “Selamat pagi, Mas,” balasnya, nada suaranya begitu lembut hi