Malam itu terasa begitu tenang dan indah, diterangi oleh bintang-bintang yang tersebar di langit luas. Suasana damai itu kontras dengan tatapan tajam Sarena yang memandangi Julian dengan penuh harap, sementara ia mengharapkan hadiah istimewa dari pria di hadapannya."Mana hadiahku?" tuntut Sarena, tangannya terlipat sambil memandang Julian dengan penuh keseriusan.Julian meliriknya dengan nada malas namun tak bisa menyembunyikan senyum kecil di bibirnya. "Kamu bukan anak kecil lagi, Sarena," sahutnya, mencoba menahan tawa."Tetap saja, aku menginginkan kado darimu," lanjut Sarena, sedikit merajuk dengan mata berbinar. Sikapnya yang manja membuat Julian teringat masa kecil mereka, namun dia tahu Sarena sudah bukan anak kecil lagi.Mengalah, Julian menghela napas panjang. "Baiklah, kamu mau hadiah apa?" tanyanya dengan nada pasrah, mengetahui betul bahwa menolak permintaan Sarena hanya akan membuatnya semakin menuntut.Tatapan mata Sarena tiba-tiba berubah, ada kilatan misterius yang me
Sarena dengan cepat bergabung di lantai dansa, mengikuti irama musik yang memekakkan telinga dan membuat suasana malam semakin riuh. Banyak pria mulai mendekatinya, mencoba mengajaknya berbincang, bahkan beberapa terlihat berusaha mencuri perhatiannya lebih dari sekadar teman dansa. Julian, yang sejak tadi hanya mengawasi dari meja, mencoba untuk tetap tenang.Namun, setiap tawa Sarena yang terdengar saat berbicara dengan pria lain mulai menusuk rasa nyaman di dadanya, membuatnya semakin gelisah. Hatinya tiba-tiba berdenyut tak karuan. Dia mencoba mengalihkan perhatian, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ketidaksukaan biasa. Tetapi semakin lama dia melihatnya, semakin sulit untuk berpura-pura. Dia tidak suka melihat Sarena tertawa begitu lepas dengan pria-pria asing itu. Ada apa sebenarnya dengannya? Bukankah dia sudah menolak Sarena berulang kali? Tapi kenapa sekarang malah merasa marah?Dengan kesal, Julian mendekat ke bar dan memesan minuman, berharap bisa mengalihkan perha
Julian terbangun dengan kepala terasa berat, penglihatan buram, dan detak jantung yang berpacu. Saat matanya terbuka sepenuhnya, seketika jantungnya seperti berhenti. Sarena, dengan bahu terekspos di sebelahnya, tidur damai. Rambutnya kusut namun masih terlihat memikat, dan senyuman kecil menghiasi wajahnya seolah sedang bermimpi indah. Namun, bagi Julian, ini bukan mimpi indah, melainkan mimpi buruk.Panik menyeruak di benaknya saat matanya menangkap pakaian mereka berserakan di lantai. "Astaga…" bisiknya pelan, meraba wajahnya yang kini terasa panas. Pikirannya kalut, tak ada satu pun kepingan ingatan yang dapat membantu. Kepalanya masih terasa berdenyut, dan semua ini terasa seperti teka-teki yang tak ingin ia selesaikan.Sarena mulai bergerak pelan, lenguhannya membuat tubuh Julian menegang. Saat mata gadis itu terbuka, Sarena menatap Julian dengan senyum lembut yang menghantui pikirannya. Namun, bukannya membalas senyuman itu, Julian hanya menatapnya dengan wajah penuh ketegangan
Luna terdiam, mencoba mencerna segala sesuatu yang baru saja diceritakan Sarena. Tatapannya penuh rasa kasihan, namun juga terdapat amarah yang tertahan. Semua cerita keluar dari mulut adik iparnya dengan perasaan yang begitu hancur—dari awal Sarena menyatakan perasaannya pada Julian, hingga momen ulang tahunnya yang berakhir dengan mereka berdua di sebuah bar, yang kemudian, tanpa pernah diharapkan, membawa mereka ke ranjang Julian. Sarena pun mulai terisak, suaranya hampir berbisik ketika ia mengakhiri ceritanya.Luna tidak memaksa Sarena untuk menceritakan lebih banyak. Sebagai gantinya, ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan penuh kasih. “Sshh… Tidak apa-apa, Sarena. Kamu aman di sini,” bisik Luna dengan lembut. Luna tahu tindakan Sarena salah, tetapi saat ini bukan waktunya untuk menyalahkan atau menghakimi. “Ini memang bodoh,” pikir Luna dalam hatinya, “tetapi yang lebih penting adalah bagaimana aku membantunya bangkit, agar tidak semakin tersesat.
Bian dan Luna duduk di meja, suasana terasa sedikit tegang meski keduanya berusaha tampak biasa. Luna menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan di piring sambil sesekali menatap Arga yang mulai bermain-main dengan mainannya di pangkuannya. Bian, meskipun sudah mengalihkan perhatiannya ke makanan, sesekali melirik ke arah Luna dengan tatapan penuh pertanyaan yang tertahan.“Mas, cobain supnya,” ujar Luna, mencoba mencairkan suasana. “sepertinya sangat enak.Bian tersenyum tipis, menatapnya lembut sebelum menyeruput sup yang disodorkan. “Ini enak sekali,” komentarnya dengan nada lembut, meskipun masih terlihat sedikit cemas.Luna menarik napas lega, sedikit berterima kasih pada makanan yang bisa mengalihkan perhatian Bian. Namun, di dalam hatinya, dia masih merasa bersalah, terutama setelah mendengar curahan hati Sarena tadi. Dia tahu bahwa Sarena membutuhkan dukungan, tetapi juga paham betapa Bian bisa menjadi sangat protektif terhadap adiknya itu.Mereka makan dalam diam beberapa saa
Julian kembali ke kamar. Dia tidak sarapan sama sekali. Dan beberapa saat lalu, dia berdiri di depan pintu kamar Sarena. Namun, dia tidak berani untuk masuk. Bian juga mengatakan jika Sarena sedang butuh istirahat. Jadi, dia akan menunggu beberapa saat.Julian terduduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Rasanya seakan seluruh dunianya runtuh. Dia memijat pelipisnya dengan gemetar, mencoba mengusir bayangan peristiwa tadi malam yang perlahan terlintas kembali. Potongan-potongan ingatan mulai menggenang dalam benaknya: tawa Sarena, sorot matanya yang penuh harapan, dan akhirnya… tatapan luka dan kesedihan yang tak sanggup ia lupakan. Dia ingat, Sarena bukanlah gadis yang pantas diperlakukan seperti itu. Namun, kenyataan sudah terlanjur tercipta. Dan kini, dia berada di dalam pusaran penyesalan yang kian mencekik.Perlahan, Julian bangkit dan berjalan menuju jendela, merapatkan jemarinya di kusen sambil menatap keluar. Hatinya penuh dengan konflik, seakan dua sisi dalam d
"Ya Tuhan... Kemana sebenarnya dia pergi?" desis Bian, ekspresinya gabungan antara kebingungan, kekhawatiran, dan amarah. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba menghubungi Sarena, namun panggilan terus berakhir dengan nada sambung kosong. Mereka telah mencari di mana-mana, bahkan kembali ke rumah, berharap dia ada di sana. Namun, tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Luna, yang mengamati situasi dengan perasaan cemas yang kian mendalam, mencoba menenangkan Bian. “Coba kamu hubungi Ibu, Mas,” sarannya lembut, meskipun ketakutan tampak di matanya. Sesekali, ia melirik Julian yang juga tampak dilanda keresahan yang sama. Luna menahan diri untuk tidak menyalahkannya; ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Pikirannya terus berputar, ingin mencari penjelasan atas menghilangnya Sarena.Bian menarik napas dalam, menenangkan dirinya sejenak sebelum mengangguk setuju. “Ah, kamu benar juga, Sayang.” Meski wajahnya terlihat letih, ia tetap mencoba menampilkan senyum untuk menenangkan
Tiga minggu telah berlalu sejak Sarena menghilang tanpa jejak, meninggalkan Bian dan Julian dalam kecemasan yang memuncak. Setiap sudut kota telah mereka telusuri, setiap petunjuk kecil mereka ikuti, namun hasilnya nihil. Wajah Bian memancarkan kelelahan yang mendalam, garis-garis halus mulai muncul di dahi, sementara Julian—teman yang selama ini tampak tenang—berubah menjadi sosok yang hampir tak bisa dikenali. Dalam dua minggu terakhir, Julian telah menjadi bayang-bayang dirinya sendiri, tenggelam dalam rasa bersalah yang seakan menghantamnya dari segala arah. Pekerjaannya terbengkalai, pikirannya kalut, seolah hidupnya berantakan sejak Sarena menghilang.Di tengah kekacauan itu, pikiran Julian semakin dipenuhi bayangan Sarena. Sebuah rasa bersalah yang terpendam, yang semakin hari semakin tak tertahankan. Apakah ini saatnya mengungkapkan kebenaran pada Bian? Apakah ini saatnya Julian menanggung segala risiko dan menerima kemungkinan kehilangan sahabat yang selama ini setia di sisin
Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub
Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci
“Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-
“Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D
“Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i
Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku
Luna tersenyum lembut sambil mendekat ke Felicia, gadis kecil yang tampak sibuk dengan pensil warna di tangan. "Hai, Felicia..." sapanya, duduk di sebelah gadis kecil itu. "Apa yang sedang kamu buat, Sayang?" tanyanya dengan hangat, matanya tertuju pada kertas penuh warna di hadapan Felicia.Felicia menoleh dengan senyum lebar. "Ini Ibu, sedang memakai baju pengantin! Dan ini Ayah Julian," jawabnya penuh antusias, telunjuk mungilnya menunjuk tiap karakter yang ia gambar. Matanya berbinar dengan bangga, seolah-olah memperkenalkan dunia imajinasinya kepada Luna.Luna tertawa kecil, matanya menelusuri gambar yang terlihat penuh cinta. "Dan ini kamu, ya?" ujarnya, menunjuk pada sosok kecil di antara gambar Sarena dan Julian. Felicia mengangguk dengan bersemangat, matanya menyorot kebahagiaan murni anak-anak."Hm, kalau ini?" Luna menunjukkan objek kecil di samping mereka yang mirip dengan keranjang bayi. Alisnya terangkat penasaran.Felicia tersenyum ceria, tatapannya polos namun mengandu
Setelah masalah Julian dan Sarena selesai, sesuai janjinya pada sahabatnya, Bian, dia membawa adik sahabatnya itu pulang. Dia akan melamar Sarena di hadapan sahabatnya, meminta restu Bian dan Luna.Julian dan Sarena kembali memasuki rumah, membawa serta Felicia yang menggenggam tangan mereka dengan erat. Begitu tiba di ruang tamu, Luna menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilau penuh kegembiraan saat melihat adiknya akhirnya kembali. “Ah... akhirnya kamu pulang,” ucap Luna, memeluk Sarena erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."Sarena balas memeluk, bibirnya melengkung lembut. “Aku juga merindukanmu, Luna. Sangat rindu. Ah... comelnya.” Sarena menoel pipi bayi tembem yang ada di gendongan Luna. Dia mengambil alih Mikayla dan menciumnya. "Adik bayinya lucu 'kan," ia menunjukkannya pada Felicia. Felicia mengangguk dan dengan malu-malu menyentuh pipi Mikayla."Hai, Felicia, selamat datang," Luna merentangkan tangannya, memeluk gadis kecil itu. Sarena sudah pernah membahas tentang Feli
Sarena menarik napas dalam, suaranya berubah lembut dan penuh kenangan ketika ia mulai bercerita. "Felicia… dia kebahagiaanku, Julian. Dia seperti sinar matahari yang muncul setelah badai, yang menghangatkan dan memberi arti baru dalam hidupku." Kata-katanya mengalir dengan tulus, mengisyaratkan seberapa besar perasaan dan perjuangannya selama ini. Di dalam setiap kata, Sarena menanamkan makna dari cinta seorang ibu yang tanpa syarat, sebuah cinta yang ia pilih dengan seluruh hatinya, walau penuh pengorbanan. Sorot matanya berkabut saat ia memandang Julian, mengungkapkan cinta dan kerinduan yang begitu dalam.Julian menggenggam tangan Sarena dengan lembut, merasakan beban yang selama ini ia bawa sebagai pria yang tiba-tiba diberi kesempatan kedua untuk mengenal putrinya. "Sekarang, dia juga bagian dari kehidupanku," ucapnya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kehadiran Felicia nyata, bahwa ini bukan mimpi belaka. "Kita akan merawat