Satu bulan pernikahan, hubungan keduanya tidak ada kemajuan sama sekali. Bian sudah kembali disibukkan oleh pekerjaannya, sehingga tidak ada komunikasi intens yang harus melibatkan keduanya.Pagi hari, Bian hanya sempat meminum kopinya, sarapan seadanya, dan bercanda sesaat dengan putranya, Arga. Sedangkan saat ia pulang bekerja, hari sudah larut karena pekerjaan yang menumpuk, sehingga ketika ia pulang, Luna dan Arga sudah tertidur.Akhir pekan juga tidak memungkinkan mereka berkumpul bersama, Bian sibuk menghadiri rapat, pertemuan bisnis, atau keluar kota. Sesekali, Luna mengunjungi sahabatnya, Miya, untuk mengurangi kepenatannya. Masalah cafenya tetap dipantau melalui laporan yang diberikan Jemi dan Digo.Dari kabar yang mereka berikan, pendapatan bulan ini bertambah, banyak yang pelanggan yang datang. Luna rindu bekerja, tetapi Arga masih terlalu kecil untuk ia tinggalkan.Selain statusnya yang berubah menjadi seorang istri dan ibu, kehidupannya masih sama saja. Tidak ada warna sa
"Keringkan tubuhmu, aku akan mengambilkan bajumu," Bian berkata sambil berbalik menuju lemari pakaian, tangannya mengambil gaun tidur dengan asal, sebuah gaun lembut tanpa dalaman. Suaranya terdengar tegas, tapi tidak memaksa, seperti biasa ketika ia ingin mengendalikan situasi.Luna mempererat lilitan handuk di tubuhnya, menatap punggung Bian yang semakin menjauh ke lemari. Jantungnya masih berdebar kencang setelah kejadian tadi. Ketika Bian berbalik dengan pakaian di tangannya, matanya menatap Luna dengan pandangan penuh keyakinan. "Lepaskan handuknya!" perintah Bian dengan nada rendah namun penuh otoritas, sesuatu yang membuat Luna sedikit terperangah."Kenapa?" Luna justru menegang, kedua tangannya dengan refleks memegang eratlilitan handuk di tubuhnya, enggan untuk menuruti perintah Bian. la bisa merasakan kehangatan tubuhnya memancar dari balik kain basah itu, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman saat diminta Bian untuk melepaskannya begitu saja."Agar aku bisa mengenaka
"Mau kutunjukkan perbedaannya?" suara Bian terdengar rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh dengan hasrat yang begitu jelas. Tanpa menunggu jawaban, Bian sudah bergerak cepat, tubuhnya berada di atas Luna dalam sekejap, seolah-olah gravitasinya menariknya mendekat. Mata mereka bertemu dalam tatapan intens, yang tak hanya membuat jantung mereka saling bersahutan, tetapi juga mengungkapkan kerinduan yang telah lama terpendam. Kerinduan yang sayangnya, tak satu pun dari mereka berani mengakui.Bian membiarkan matanya menjelajahi setiap inci wajah Luna. Tatapannya meluncur dari kening, turun ke pipi, dan berhenti di bibir merah muda yang terlihat sangat menggiurkan. Glek! Tenggorokannya terasa kering, ia menelan ludah dengan susah payah. Ternyata bukan hanya Bian yang merasa tercekik oleh perasaan yang bergejolak, Luna pun merasakan hal yang sama. Dia meneguk ludahnya, mencoba membasahi tenggorokannya yang mendadak kering hanya karena kehadiran suaminya begitu dekat."A-apa yang ing
Bian kini bisa melihat dengan jelas hasil dari keputusannya tadi. Keputusan untuk tidak memakaikan dalaman pada istrinya. Bukan semata untuk tujuan menggoda, tapi ia hanya ingin membatasi kontak kulit mereka, yang jika terjadi, hanya akan menyiksanya lebih dalam. Satu sentuhan saja pada kulit lembut Luna sudah cukup membuatnya kehilangan kendali. Bayangan bermain dengan busa terasa jauh lebih aman dibandingkan realita panas yang mereka hadapi sekarang.Kedua tangan Luna sudah beralih ke belakang leher Bian, jari-jarinya bermain lembut di antara helaian rambut hitam tebal pria itu. Tak ada hentinya ia tergoda oleh tekstur rambut suaminya. Dengan sentuhan yang masih ragu, Luna mulai membiarkan jari-jarinya menjelajah lebih dalam. Ia menyadari sesuatu yang seharusnya sudah lama diakui.Ini bukan keliaran. Ini hakku. Luna terus meyakinkan dirinya sendiri, mencoba melepaskan rasa ragu yang masih menghantui.Bian hanya bisa tersenyum dalam hati. Sentuhan lembut Luna di rambutnya adalah bukt
Luna terbangun dengan perasaan kosong saat menyadari suaminya, Bian, sudah tidak ada di sampingnya. Senyum yang tadinya sempat menghiasi wajahnya kini perlahan pudar. Bayi mereka, Arga, juga tidak ada di dalam box di sudut ruangan. Dengan malas, Luna melirik jam dinding di seberang tempat tidur—pukul 08.00. Sudah jelas kenapa Bian tidak lagi berada di ranjang. Pagi ini ternyata sudah terlambat dimulai.Menurunkan kakinya dari ranjang dengan berat hati, Luna melangkah lesu menuju kamar mandi. Saat ia menyikat giginya di depan cermin, kilasan malam tadi melintas di pikirannya. "Jangan lupakan ini," kata-kata Bian kembali bergema di telinganya, membuat rona merah menjalar di pipinya. Jadi, ini bukan mimpi, batinnya penuh keyakinan.Usai dari kamar mandi, Luna menuju meja rias dan mulai mengoleskan krim di wajahnya. Gerakan tangannya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sesuatu di atas meja. Sepucuk surat dan setangkai bunga tergeletak manis di sana. Bibirnya tanpa sadar melengkung,
"Jadi, sayang, katakan di mana aku harus membidiknya?"Luna merasakan darahnya berhenti mengalir. Dunia di sekitarnya seakan berputar perlahan, hanya tersisa suara napasnya yang tercekat. Tanpa berpikir panjang, ia segera memutuskan panggilan telepon itu. Jantungnya berpacu seiring kepanikan yang menguasainya. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya dan segera menekan nomor Bian. Suaminya harus tahu tentang ancaman ini, tapi panggilannya hanya tersambung tanpa jawaban. Desahan frustrasi keluar dari bibirnya yang mulai bergetar.Tanpa menunggu lebih lama, Luna langsung berlari ke luar rumah, langkahnya tergesa-gesa seperti sedang dikejar waktu. Dua pengasuh yang sedang bermain dengan Arga memandangnya dengan kebingungan."Nyonya...?" salah satu dari mereka memanggil dengan cemas, sementara Arga terus tertawa tanpa sadar akan ketegangan yang melingkupi ibunya."Jaga Arga untukku, aku harus menemui suamiku," jawab Luna terburu-buru, nyaris tak menghiraukan nada khawatir mereka."Tapi
"TUTUP MATA KALIAN SEMUA!" Bian menggelegar, suaranya menggelegar seperti badai yang tak terduga, membuat semua orang terlonjak kaget. Luna yang berdiri di ambang pintu pun tersentak, tak menyangka suaminya akan bereaksi sedemikian rupa. Dengan langkah cepat, Bian langsung menuju ke arahnya, tatapannya tajam dan penuh perintah."Bisakah kamu meminta karyawanmu untuk berpakaian lebih sopan?" Luna menyuarakan kemarahannya, pandangannya tajam tertuju pada wanita yang berpakaian terlalu minim di tengah ruangan."Katakan itu pada dirimu, gadis nakal!" geram Bian dengan suara yang lebih rendah, seraya meraih jasnya dengan gerakan tegas dan memasangkannya di atas tubuh Luna, menutupi penampilan yang membuatnya merasa terhina di depan banyak mata.Luna mengernyitkan dahinya, bingung dengan sikap suaminya yang mendadak protektif, namun saat ia melirik ke bawah, jantungnya terasa berhenti berdetak. Matanya melebar saat menyadari betapa minimnya pakaiannya. Seketika rasa malu menyerangnya, begit
“Apa yang ia dapatkan jika membunuhku?” Bian bertanya dengan suara tenang, tenang yang justru membuat darah Luna mendidih. Ia ingin sekali mencakar wajah pria itu, tapi sesuatu menghentikannya—entah itu rasa takut atau cinta yang terlalu dalam.“Diriku,” jawab Luna pelan, namun kalimat itu membawa petir ke dalam ruangan.Bian terdiam. Tubuhnya yang semula santai, kini berubah tegang. Pelukan yang sebelumnya menenangkan, kini terasa seperti rantai yang menjerat erat hingga membuat Luna meringis kesakitan. Tanpa sepatah kata, Bian berdiri dan menurunkannya dari pangkuan, menempatkan Luna di tepi ranjang. Tangannya cekatan membantu istrinya melepaskan jas yang tadi ia kenakan untuk menutupi tubuhnya.“Jadi kamu kehilangan akal sehat karena apa? Karena takut pada si brengsek itu atau...” kata-katanya menggantung di udara, menggantungkan semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.“Tentu saja aku takut kamu benar-benar terbunuh!” seru Luna, tidak lagi mampu menahan diri. Ia segera duduk