Sudah hampir setahun sejak kecelakaan yang merenggut hampir semua yang Bian miliki—kesehatannya, pernikahannya, dan mungkin, hidupnya yang dulu penuh ambisi. Kini, setelah berbulan-bulan terbaring di rumah untuk memulihkan diri, dia telah kembali. Bukan hanya kembali sebagai pria yang lebih kuat secara fisik, tetapi juga dengan tekad yang semakin bulat untuk mengambil alih kendali penuh atas hidupnya.Selama tiga bulan terakhir, Bian bekerja keras untuk memulihkan reputasinya di perusahaan. Dia kembali ke kantor dengan satu tujuan—meyakinkan para direksi bahwa ia adalah orang yang tepat untuk memimpin. Dia menghadapi banyak skeptisisme dari mereka yang meragukan kapasitasnya setelah kecelakaan, tetapi Bian tidak gentar. Dengan kerja keras dan kejelian dalam membaca situasi, dia menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menghambat kemajuan perusahaan. Salah satu kemenangan besarnya adalah ketika ia berhasil menjebloskan Lucas, tangan kanan pamannya yang selama ini menjadi duri dala
Bian menatap jalanan yang dilaluinya dengan fokus penuh. Di kursi belakang mobilnya, Rafael dan Julian saling berbicara pelan mengenai pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan para pemilik lahan. Selama beberapa hari terakhir, mereka telah mengunjungi sejumlah pemilik tanah di pesisir pantai untuk membicarakan proyek besar yang Bian rencanakan. Sebagian besar sudah setuju dengan penawaran yang Bian berikan, namun kali ini, mereka akan bertemu dengan pemilik terakhir—seseorang yang memegang lahan penting di daerah tersebut. Dan lebih menarik lagi, lahan itu ditempati oleh salah satu kafe paling laris di kawasan tersebut, Shore Haven Cafe, sebuah tempat yang sudah terkenal di kalangan wisatawan.Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hijau dan menghadap langsung ke pantai. *Shore Haven Cafe terlihat ramai dengan para pengunjung yang duduk menikmati makanan dan minuman, beberapa di antaranya bahkan membawa anak-anak kecil yang bermain pasir di sekita
Di dapur kafe Shore Haven Cafe, Luna dengan lincah menyiapkan pesanan ikan kakap yang sudah menjadi salah satu menu andalan di tempatnya. Aroma harum ikan panggang bercampur dengan bumbu khas memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya bekerja cepat, memotong sayuran dan mengatur piring dengan sangat rapi, seperti biasa. Dia fokus pada pekerjaannya, menikmati setiap momen kecil yang menenangkan dalam rutinitasnya.Namun, suara tawa akrab dari pintu belakang membuat Luna menoleh. Miya dan Adam muncul, keduanya terlihat santai dan tersenyum lebar. Miya, sahabat terbaiknya sejak lama, melambaikan tangan dengan riang. Luna tersenyum hangat melihat kedatangan mereka.“Miya!” Luna berseru, mengusap tangannya dengan lap sambil berlari kecil mendekati sahabatnya itu. “Kukira kamu bilang baru datang besok?”Miya tertawa kecil. “Kejutan! Lagipula, aku tidak tahan buat menunggu hari esok. Aku kangen sama kamu, dan Adam juga ingin melihat tempat baru ini.”Adam mengangguk sambil memandangi kafe yang ra
Bian menatap kafe Shore Haven Cafe sekali lagi sebelum membuka pintu mobil. Tatapannya tertuju pada papan nama kafe yang sederhana namun elegan, dengan latar belakang biru laut yang mencerminkan pesisir pantai di belakangnya. “Kenapa kita tidak mampir saja dulu?” Julian, yang berdiri di sebelahnya, menatap Bian dengan tatapan penuh makna. “Keliatannya tempatnya menarik. Dan aku lihat kamu penasaran sekali sama penyewa kafenya.” Bian berdehem, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang mendadak muncul. “Tempat ini sepertinya bagus untuk proyek kita, bukan?” kilahnya, mencoba meredakan kecurigaan Julian. Tapi dia tahu Julian lebih pintar dari itu. Temannya pasti sudah merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap Bian. Mereka juga pasti mendengar pemilik lahan menyebut nama Luna. “Kita di sini bukan cuma soal bisnis, Bian,” Julian melanjutkan sambil tersenyum tipis. “Pemiliknya menyebut nama Luna. Daripada kita menebak-nebak, bagaimana jika masuk." Bian tidak bisa menyangkal kebenara
Luna masih berdiri di tempatnya, memegang nampan dengan tangan gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Bian yang duduk hanya beberapa meter darinya. Hatinya bergemuruh. Bagaimana mungkin dia berada di sini? Bagaimana bisa Bian menemukan tempat ini? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, mengacaukan segala pikiran yang sudah ia bangun selama setahun terakhir.Di belakangnya, Miya berjalan mendekat dengan raut khawatir. “Luna, kamu baik-baik saja?” bisiknya pelan, menatap sahabatnya yang jelas-jelas terguncang.Luna mengangguk kaku, tetapi pandangannya tetap tertuju pada Bian. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati, ia tahu itu tidak benar. Kemunculan Bian begitu tiba-tiba, dan ia takut bahwa kedatangannya ke sini bukan hanya kebetulan. Mungkinkah Bian sudah tahu tentang Arga? Bayi mereka yang selama ini Luna sembunyikan?Miya melirik ke arah Bian dan para pria di mejanya, kemudian berbisik lagi, “Kalau kamu tidak sanggup, aku bisa menggantikanmu.”Luna menggigit
Luna berdiri di balik meja kafe, mencoba sibuk dengan pekerjaannya, tetapi pikirannya tidak pernah jauh dari Arga atau Bian. Sudah beberapa kali Bian datang ke kafe dalam beberapa minggu terakhir, selalu dengan alasan untuk melihat-lihat lokasi yang cocok untuk proyek bisnisnya. Namun, Luna tahu lebih dari itu. Setiap kali mereka berpapasan, tatapan Bian terlalu intens. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuat Luna gelisah.“Luna, kamu baik-baik saja?” tanya Miya sambil membawa nampan kosong ke meja kasir. “Kamu kelihatan seperti tidak fokus.”Luna tersentak, menghela napas pelan sebelum memaksa senyum. “Aku baik-baik saja, Miya. Cuma sedikit lelah. Banyak pelanggan hari ini.” Miya mendekat, matanya tajam memperhatikan wajah Luna. “Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ini tentang Bian, bukan?” Miya memilih tinggal karena cemas dengan Luna.Luna menunduk, jemarinya mengacak-acak gelas di depannya tanpa alasan. “Aku… aku takut dia sudah tahu, Miya."Miya mend
Luna akhirnya menyerah. Menghindari Bian, dia memutuskan untuk meliburkan diri. Arga juga kebetulan sedang rewel. Jadi, dia memilih untuk berdiam diri di rumah bersama Arga. Pengasuh Arga ia liburkan selama dia libur. Ia sudah meminta kepada karyawannya untuk tidak memberitahu alamat rumahnya jika Bian bertanya kepada salah satu dari mereka. Luna sedang menyusui Arga sambil menatap penuh puja wajah sang anak. Arga baru saja mandi dan saatnya dia tidur lagi. Luna memindahkannya ke box. Dia akan merapikan rumah selama jagoannya tidur. Siang nanti Miya akan mampir untuk berpamitan pulang. "Tidur nyenyak, Jagoan Ibu." Ia mencium putranya sebelum beranjak.Luna membuka pintu kamarnya lalu menutupnya perlahan. Ia bersenandung riang, menatap pantulan dirinya di cermin, merapikan beberapa helai rambut yang terlepas dari kuncir ekor kudanya. Ketika bel pintu berbunyi, ia segera berlari kecil menuju pintu. "Mungkin Miya datang lebih awal."Senyum lebar menghiasi wajahnya saat membuka pintu, n
Luna berdiri di belakang Bian, menautkan jemarinya, mencoba menekan kecemasan, kegugupan, dan ketakutannya. Ia tidak menyangka Bian akan muncul setelah satu tahun berlalu.Luna berjalan mendekat ketika melihat jemari Bian menyentuh bayi mungil itu, membuka diapers-nya untuk memastikan jenis kelaminnya, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan Luna.Dari tempatnya berdiri, Luna bisa melihat bibir Bian bergerak, emosi yang jelas terpancar di wajahnya. Hal itu membuat Luna semakin takut.Haruskah ia mengatakan bahwa ia bekerja sebagai pengasuh bayi dan yang ia rawat adalah anak majikannya yang masih berusia tiga bulan? Tapi Luna segera mengenyahkan pikiran itu. Bayi ini jelas-jelas mirip dengannya. Sementara Alis, mata, dagu, merupakan replika miniatur Bian. "Ternyata benar, laki-laki," gumam Bian, tangannya kini menyentuh pipi si bayi. Sorot matanya memancarkan rasa takjub."Ya, tentu saja. Apa kamu kira aku menipu?"Bian mengulurkan tangannya, menggendong bayi itu ke dadanya. A