Bian menatap Luna dengan cemas, menggenggam tangannya seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyatukan mereka saat ini. Dia telah menyaksikan betapa hancurnya Luna, dan rasa bersalahnya semakin dalam setiap detiknya. Namun, saat dia mencoba berbicara lagi, Luna tiba-tiba menarik tangannya dengan gerakan cepat.“Bian,” ucap Luna, suaranya datar namun tegas. “Aku ingin kita berpisah.”Kata-kata itu menghantam Bian seperti pukulan keras di dada. Dia terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Apa... apa maksudmu, Luna?”Luna menatapnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga dipenuhi dengan ketegasan. “Pernikahan ini tidak ada gunanya lagi. Aku tidak bisa melanjutkannya. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”Bian mencoba menahan napas, merasakan kepanikan mulai menguasainya. “Luna, jangan bicara seperti itu. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan, tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa memperbaikinya. Tolong, beri aku kesempatan.”Luna tertawa kecil, tawa
Setahun telah berlalu sejak Luna meninggalkan kehidupan yang penuh dengan luka dan penderitaan. Hari ini, Luna memasuki kafenya dengan senyum lebar di wajahnya, ditemani oleh putranya yang baru berusia tiga bulan. Bayi itu tertidur dalam gendongannya, wajah mungilnya tenang, sementara suara deburan ombak terdengar lembut dari pantai di dekat kafe.Kafe Luna telah menjadi sangat populer. Terletak di tepi pantai dengan pemandangan laut yang menakjubkan, kafe ini menjadi tempat favorit para pengunjung untuk bersantai. Tak hanya suasananya yang nyaman, tetapi juga kue-kue dan dessert buatan tangan Luna yang membuat kafe ini ramai dikunjungi.Luna melangkah masuk ke dapur kafe, di mana para karyawan sudah sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Dia melihat salah satu karyawannya, Rina, tengah memanggang roti. Rina tersenyum hangat begitu melihat Luna masuk."Selamat pagi, Bu Luna!" sapanya ceria. “Seperti biasa, kafe penuh hari ini. Pelanggan tidak pernah bosan dengan kue buatan Ibu.”Luna ter
Sudah hampir setahun sejak kecelakaan yang merenggut hampir semua yang Bian miliki—kesehatannya, pernikahannya, dan mungkin, hidupnya yang dulu penuh ambisi. Kini, setelah berbulan-bulan terbaring di rumah untuk memulihkan diri, dia telah kembali. Bukan hanya kembali sebagai pria yang lebih kuat secara fisik, tetapi juga dengan tekad yang semakin bulat untuk mengambil alih kendali penuh atas hidupnya.Selama tiga bulan terakhir, Bian bekerja keras untuk memulihkan reputasinya di perusahaan. Dia kembali ke kantor dengan satu tujuan—meyakinkan para direksi bahwa ia adalah orang yang tepat untuk memimpin. Dia menghadapi banyak skeptisisme dari mereka yang meragukan kapasitasnya setelah kecelakaan, tetapi Bian tidak gentar. Dengan kerja keras dan kejelian dalam membaca situasi, dia menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menghambat kemajuan perusahaan. Salah satu kemenangan besarnya adalah ketika ia berhasil menjebloskan Lucas, tangan kanan pamannya yang selama ini menjadi duri dala
Bian menatap jalanan yang dilaluinya dengan fokus penuh. Di kursi belakang mobilnya, Rafael dan Julian saling berbicara pelan mengenai pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan para pemilik lahan. Selama beberapa hari terakhir, mereka telah mengunjungi sejumlah pemilik tanah di pesisir pantai untuk membicarakan proyek besar yang Bian rencanakan. Sebagian besar sudah setuju dengan penawaran yang Bian berikan, namun kali ini, mereka akan bertemu dengan pemilik terakhir—seseorang yang memegang lahan penting di daerah tersebut. Dan lebih menarik lagi, lahan itu ditempati oleh salah satu kafe paling laris di kawasan tersebut, Shore Haven Cafe, sebuah tempat yang sudah terkenal di kalangan wisatawan.Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi oleh tanaman hijau dan menghadap langsung ke pantai. *Shore Haven Cafe terlihat ramai dengan para pengunjung yang duduk menikmati makanan dan minuman, beberapa di antaranya bahkan membawa anak-anak kecil yang bermain pasir di sekita
Di dapur kafe Shore Haven Cafe, Luna dengan lincah menyiapkan pesanan ikan kakap yang sudah menjadi salah satu menu andalan di tempatnya. Aroma harum ikan panggang bercampur dengan bumbu khas memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya bekerja cepat, memotong sayuran dan mengatur piring dengan sangat rapi, seperti biasa. Dia fokus pada pekerjaannya, menikmati setiap momen kecil yang menenangkan dalam rutinitasnya.Namun, suara tawa akrab dari pintu belakang membuat Luna menoleh. Miya dan Adam muncul, keduanya terlihat santai dan tersenyum lebar. Miya, sahabat terbaiknya sejak lama, melambaikan tangan dengan riang. Luna tersenyum hangat melihat kedatangan mereka.“Miya!” Luna berseru, mengusap tangannya dengan lap sambil berlari kecil mendekati sahabatnya itu. “Kukira kamu bilang baru datang besok?”Miya tertawa kecil. “Kejutan! Lagipula, aku tidak tahan buat menunggu hari esok. Aku kangen sama kamu, dan Adam juga ingin melihat tempat baru ini.”Adam mengangguk sambil memandangi kafe yang ra
Bian menatap kafe Shore Haven Cafe sekali lagi sebelum membuka pintu mobil. Tatapannya tertuju pada papan nama kafe yang sederhana namun elegan, dengan latar belakang biru laut yang mencerminkan pesisir pantai di belakangnya. “Kenapa kita tidak mampir saja dulu?” Julian, yang berdiri di sebelahnya, menatap Bian dengan tatapan penuh makna. “Keliatannya tempatnya menarik. Dan aku lihat kamu penasaran sekali sama penyewa kafenya.” Bian berdehem, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang mendadak muncul. “Tempat ini sepertinya bagus untuk proyek kita, bukan?” kilahnya, mencoba meredakan kecurigaan Julian. Tapi dia tahu Julian lebih pintar dari itu. Temannya pasti sudah merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap Bian. Mereka juga pasti mendengar pemilik lahan menyebut nama Luna. “Kita di sini bukan cuma soal bisnis, Bian,” Julian melanjutkan sambil tersenyum tipis. “Pemiliknya menyebut nama Luna. Daripada kita menebak-nebak, bagaimana jika masuk." Bian tidak bisa menyangkal kebenara
Luna masih berdiri di tempatnya, memegang nampan dengan tangan gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Bian yang duduk hanya beberapa meter darinya. Hatinya bergemuruh. Bagaimana mungkin dia berada di sini? Bagaimana bisa Bian menemukan tempat ini? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, mengacaukan segala pikiran yang sudah ia bangun selama setahun terakhir.Di belakangnya, Miya berjalan mendekat dengan raut khawatir. “Luna, kamu baik-baik saja?” bisiknya pelan, menatap sahabatnya yang jelas-jelas terguncang.Luna mengangguk kaku, tetapi pandangannya tetap tertuju pada Bian. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati, ia tahu itu tidak benar. Kemunculan Bian begitu tiba-tiba, dan ia takut bahwa kedatangannya ke sini bukan hanya kebetulan. Mungkinkah Bian sudah tahu tentang Arga? Bayi mereka yang selama ini Luna sembunyikan?Miya melirik ke arah Bian dan para pria di mejanya, kemudian berbisik lagi, “Kalau kamu tidak sanggup, aku bisa menggantikanmu.”Luna menggigit
Luna berdiri di balik meja kafe, mencoba sibuk dengan pekerjaannya, tetapi pikirannya tidak pernah jauh dari Arga atau Bian. Sudah beberapa kali Bian datang ke kafe dalam beberapa minggu terakhir, selalu dengan alasan untuk melihat-lihat lokasi yang cocok untuk proyek bisnisnya. Namun, Luna tahu lebih dari itu. Setiap kali mereka berpapasan, tatapan Bian terlalu intens. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuat Luna gelisah.“Luna, kamu baik-baik saja?” tanya Miya sambil membawa nampan kosong ke meja kasir. “Kamu kelihatan seperti tidak fokus.”Luna tersentak, menghela napas pelan sebelum memaksa senyum. “Aku baik-baik saja, Miya. Cuma sedikit lelah. Banyak pelanggan hari ini.” Miya mendekat, matanya tajam memperhatikan wajah Luna. “Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ini tentang Bian, bukan?” Miya memilih tinggal karena cemas dengan Luna.Luna menunduk, jemarinya mengacak-acak gelas di depannya tanpa alasan. “Aku… aku takut dia sudah tahu, Miya."Miya mend