Luna terbangun dengan kepala yang masih sedikit berdenyut. Matanya berkedip-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan asing yang dia lihat. Ketika pandangannya akhirnya fokus, dia melihat seorang pria duduk di dekatnya dengan senyum misterius di wajahnya. "Hai," suara Bryan terdengar tenang, hampir seperti menyapa teman lama. "Tidurmu nyenyak?" Luna tidak menanggapi sapaan itu. Matanya segera beralih ke sudut ruangan, tempat dua pria berdiri tegak dengan ekspresi dingin, lengkap dengan senjata di tangan mereka. Jantung Luna berdegup lebih cepat. Naluri bertahannya langsung aktif. "Siapa kamu sebenarnya?" Luna akhirnya bersuara, suaranya terdengar tenang, meskipun ada ketakutan yang jelas di matanya. "Dan kenapa ada pria bersenjata di sini?" Bryan tertawa kecil, seolah pertanyaan itu menghiburnya. “Bryan Sagara,” jawabnya santai. Luna terdiam sejenak, mengulang nama itu di dalam benaknya. Sagara. Nama itu terdengar sangat familiar. "Apa hubunganmu dengan Bian Sagara?" Mel
Begitu Bryan melangkah keluar dari kamar, pintu berderit pelan dan seorang pria lain masuk. Luna menoleh dan matanya langsung membelalak, penuh keterkejutan. Nathan—pria yang selama ini menjadi asisten setia Bian, yang selama ini dia percayai—berdiri di depan pintu dengan ekspresi tenang, seolah-olah tidak ada yang salah."Nathan?" Luna berbisik, suaranya hampir tidak keluar karena tenggorokannya tercekat. Tidak ada yang lebih mengejutkan daripada melihat seseorang yang seharusnya berada di pihak Bian, sekarang berdiri di depan musuh.Nathan menatapnya tanpa ekspresi, tetapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Luna mulai takut. Dia berjalan perlahan mendekati Luna, seolah-olah pertemuan ini hanyalah rutinitas biasa. "Kamu... kamu bersama mereka?" Luna bertanya, dia penasaran mendengar jawaban Nathan meski dia sudah bisa menebak. Dia masih berusaha mencerna kenyataan yang tiba-tiba terbuka di hadapannya.Nathan berhenti beberapa langkah dari tempat Luna duduk, matanya mena
Bian melaju dengan kecepatan tinggi, napasnya berat, pikirannya terfokus hanya pada satu hal-Luna. Vila Bryan adalah tempat terakhir yang diketahui dari informasi yang dia terima. Adrenalinnya memuncak ketika mobilnya berhenti di depan vila besar tiga lantai yang dikelilingi pagar tinggi. Namun, sebelum dia bisa mendekat lebih jauh, beberapa pria muncul dari bayangan, menutup jalan masuk. Anak buah Bryan, berpakaian hitam dan membawa senjata. Bian tidak memperlambat langkahnya. Tatapan matanya dingin, penuh determinasi. Dia tahu dia harus bertindak cepat. "Kamu tidak diizinkan masuk," ujar salah satu pria besar itu, berdiri tegap di hadapan Bian, menahan langkahnya. Pria itu berusaha terlihat intimidatif, Bian hanya menatapnya tanpa gentar. "Aku tidak di sini untuk bernegosiasi," jawab Bian tenang, seakan tidak terpengaruh dengan ancaman yang dilayangkan padanya. Tanpa basa-basi, dia melancarkan serangan. Satu tinju kuat menghantam wajah pria itu, membuatnya tersentak mundur. Pr
Bryan memberikan isyarat pada anak buahnya untuk menggeledah Bian dengan teliti. Tidak ada ponsel, tidak ada senjata—Bian benar-benar bersih. Ya, Bian meninggalkan ponselnya sebelum dia masuk. Mereka menggiringnya ke sebuah ruangan khusus yang masih berada di dalam bangunan yang sama, tetapi tersembunyi di balik pintu rahasia. Pintu itu tidak bisa dimasuki sembarangan; hanya dengan memasukkan kode tertentu barulah terbuka. Bian memperhatikan setiap detail—ini bukan tempat biasa. Bryan jelas sudah menyiapkan segalanya dengan cermat, mengatur anak buahnya di setiap sudut seperti jebakan yang dirancang untuk mengurungnya. Bian mengandalkan ketenangannya, meskipun amarah di dalam hatinya sudah mendidih. Ia berharap Julian, Rafael, dan Adam, yang berada di luar, mampu mengikuti rencana dan menyerbu tempat ini. Namun, dalam situasi saat ini, dia hanya bisa mengamati dan bersabar.Setibanya mereka di ruangan itu, Bian dibuat terkejut. Ruangannya dipenuhi dengan kaca dari lantai hingga langi
Luna merasakan dingin menjalari kulitnya saat tubuhnya terikat pada kursi di sebuah ruangan kecil tanpa jendela. Dinding-dinding kusam dan lampu redup di atasnya membuat suasana semakin mencekam. Ya, Luna sudah dipindahkan dari kamar sebelumnya. Jantungnya berdetak kencang, tapi bukan karena ketakutan, melainkan karena sesuatu yang asing merayapi tubuhnya. Pada awalnya, Luna hanya merasa pusing—seolah gravitasi menariknya lebih kuat dari biasanya. Namun, saat menit-menit berlalu, perasaan aneh mulai menguasainya. Salah satu anak buah Bryan, pria dengan wajah dingin dan senyum kejam, mendekatinya sambil membawa jarum suntik. "Kamu akan merasa lebih tenang sebentar lagi," ucapnya dengan nada mengejek. Luna tidak sempat mengelak ketika pria itu menyuntikkan cairan ke lengannya. Awalnya, ia tidak paham apa yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya, namun tidak lama setelah itu, tubuhnya mulai merespons dengan cara yang tidak biasa. Kepalanya semakin berat, dan pandangannya kabur. Panas m
Di ruangan yang sunyi itu, suara langkah Bryan terdengar jelas. Ia mendekati Luna dengan tatapan yang penuh niat buruk. Matanya yang gelap berkilat dengan kepuasan, ia benar-benar menikmati permainan yang ia ciptakan. Bian, yang masih berdiri di balik kaca, menatap dengan napas berat, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Amarah yang meledak-ledak mengalir dalam nadinya, namun ia sadar bahwa emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa malapetaka.Bryan berhenti tepat di depan Luna, mengamati tubuhnya yang mulai gemetar akibat efek obat yang bekerja di dalam tubuhnya. Keringat membasahi dahi Luna, wajahnya yang pucat semakin terlihat lemah dan tak berdaya. Suara napasnya terdengar berat dan terputus-putus, tubuhnya berusaha melawan obat yang menguasai pikirannya.“Kamu tahu, Bian,” suara Bryan menggema di ruangan itu, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman. “Aku selalu suka melihat orang berjuang melawan takdir. Seperti Inara. Dia juga mencoba melawanku, tetapi lihat bag
Bryan mendekat dengan senyum licik mendekat, menyentuhnya seolah Luna adalah mainan yang bisa diperlakukan sesuka hati. Bian tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Rasa tak berdaya menghantamnya keras.“Bryan, hentikan,” Bian berusaha menenangkan suaranya, meskipun jelas ada getaran di sana. Bryan tidak berhenti, bahkan senyumnya semakin melebar, dia menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Bian.“Apa, Bian? Kamu ingin aku berhenti?” Bryan berkata dengan nada mengejek, matanya masih terpaku pada Luna yang sudah nyaris pingsan. “Kenapa aku harus mendengarkanmu?”Bian menatap Luna dengan rasa sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa permohonan sederhana tidak akan pernah cukup untuk menghentikan pria seperti Bryan. Dia harus merendahkan dirinya. Dengan langkah berat, Bian perlahan jatuh ke lututnya. Pandangannya terarah lurus ke lantai, rasa malu dan hina membakar hatinya, tapi dia tidak punya pilihan lain.“Bryan,” kata Bian dengan suara bergetar. “Aku mohon... aku moh
Di luar vila yang gelap, Julian, Rafael, dan Adam bersembunyi di balik pohon-pohon besar, mengamati setiap gerakan penjaga Bryan. Mereka sudah berjam-jam memantau, menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Sekilas, vila itu tampak tenang, namun mereka tahu di dalam, Bian dan Luna terperangkap dalam bahaya yang lebih dari sekadar fisik.“Kita tak punya banyak waktu,” bisik Julian, mengintip melalui teropong yang digenggamnya erat. “Aku melihat beberapa penjaga berpindah posisi. Mereka mungkin segera menyadari kehadiran kita.”Rafael mengangguk, menyandarkan tubuhnya di balik pohon. “Kita harus bertindak cepat. Kita tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam, tapi Bian pasti membutuhkan kita sekarang.”Adam, yang berdiri paling dekat dengan pagar vila, mengecek senjata di tangannya. Matanya tajam, penuh konsentrasi. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko Bryan melakukan sesuatu yang tidak terduga.”Julian menurunkan teropongnya dan mem