Inara melangkah masuk ke dalam ruangan eksklusif di sebuah kafe mewah, tempat pertemuan rahasia ini diadakan. Ia mengenakan mantel tebal yang menutupi sebagian besar tubuhnya, sementara topi dan kacamata hitam menyamarkan wajahnya. Di sudut ruangan, duduk dua pria yang sudah menunggunya—Bryan Sagara dan Lucas, sepupu Bian.Bryan Sagara, pria berwajah dingin dengan sorot mata tajam, merupakan anak lain dari ayah Bian yang keberadaannya selalu disembunyikan. Bryan terlahir dari wanita yang merupakan simpanan ayahnya. Hanya karena ibunya merupakan simpanan, keberadaan ibunya dan Bryan disembunyikan seperti aib. Hal itu memicu kemarahan Bryan. Setiap ayahnya muncul dan Bian di televisi, saling merangkul dengan bangga, di sana Bryan merasakan dendamnya semakin mengkarat.Bryan mengatur strategi sejak sejak dini. Dan selama puluhan tahun dia memendam dendam ini dan sekarang ia merasa saatnya untuk menjatuhkan Bian dan merebut haknya dan adiknya. Ya, Bryan mempunyai seorang adik laki-laki. A
Bian terlihat tenang meski sedang mendengarkan para musuhnya berdiskusi tentang hal yang akan mereka lakukan pada Luna. Dia, Julian, dan Rafael berada di ruanganny, memantau dengan cermat percakapan yang terjadi antara Inara, Bryan, dan Lucas melalui perangkat penyadap yang Bian pasang pada Inara. Suara Bryan yang dingin terdengar jelas di telinga mereka, membuat suasana semakin berat.Julian adalah yang pertama bicara, suaranya datar namun penuh ketidakpastian. “Bryan Sagara? Siapa pria itu, Bian? Kamu pernah dengar namanya?”Bian mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Tidak pernah. Aku tidak tahu siapa dia. Sama sekali." Ada nada frustasi dalam suaranya. "Hanya saja, dia memakai nama belakang yang sama denganku. Ini membuatku menduga-duga. Harusnya, aku kenal setiap orang yang berurusan dengan keluargaku, tapi dia… bukan siapa-siapa.”Rafael, yang duduk dengan tenang, mendengarkan setiap kata, akhirnya angkat bicara. "Dari apa yang dia katakan, jelas dia punya dendam terhadapmu, Bi
Berita tentang dokumen palsu yang disiarkan di televisi menjadi topik panas. Di layar, seorang reporter dengan wajah serius menyampaikan laporan tentang konspirasi yang terungkap di sebuah perusahaan besar, menyebutkan bahwa dokumen-dokumen terkait transaksi penting ternyata telah dipalsukan. Bian tampak jelas dalam laporan itu, meskipun tidak disebutkan langsung sebagai korban, tetapi sebagai seseorang yang telah mengetahui hal tersebut lebih awal dan memanipulasi situasi demi keuntungan perusahaan.Di sebuah ruangan gelap dengan hanya cahaya dari televisi, Bryan Sagara menatap layar dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal di sandaran kursi, jemarinya bergetar menahan amarah yang memuncak. Matanya memancarkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, sementara berita itu terus bergulir, menguak setiap bagian dari strategi yang ternyata telah dipersiapkan Bian dengan rapi.“Bodoh! Kita sudah dijebak…” Bryan menggeram, suaranya serak menahan luapan emosinya. Dia berdiri, lalu menghan
Bian duduk di ruang tamu rumah Adam dengan pandangan tegas namun tenang. Adam, yang menduga akan kedatangan tamu tidak diundang, juga berusaha bersikap santai walau sebenarnya dia dongkol pada pria itu. Ia berusaha menahan kejengkelannya itu karena ia tahu bahwa Bian bukan tipe orang yang datang tanpa tujuan jelas. "Jadi, Luna pernah mengalami kecelakaan?" Bian membuka percakapan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Adam mengangguk pelan, masih menimbang bagaimana menjelaskan semuanya. "Ya, benar. Sebenarnya, kecelakaan itu tidak terlalu parah, tapi cukup untuk membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Aku sempat menemani Luna saat itu," Adam menghela napas panjang, merasa berat untuk melanjutkan. "Tapi ada hal lain yang terjadi..." Bian mengangkat alis, pandangannya semakin tajam. "Hal lain? Apa maksudmu?" "Dia berlari padamu saat melihat beritamu di televisi." Bian tersenyum samar, Luna peduli padanya dan dia justru membiarkan Luna salah faham padanya.
Luna terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya berdenyut kencang. Pandangannya masih kabur, dan tubuhnya terasa lemah, seluruh energinya terserap habis. Dia mengerang pelan, mencoba memfokuskan diri. Begitu matanya mulai jelas, dia menyadari bahwa dia berada di sebuah ruangan yang asing—sebuah kamar kecil dengan tirai tebal dan cahaya redup yang membuat suasana semakin suram."Di mana aku?" Luna berbisik lemah, matanya berkeliling, mencari petunjuk. Dia tidak mengenali tempat ini. Dengan hati-hati, dia berusaha bangkit, rasa sakit dan kelelahan masih mendera tubuhnya. Namun, ia harus mengetahui di mana dia berada dan bagaimana dia bisa sampai di sini.Saat Luna mencoba meraih kursi di samping ranjang untuk menopang tubuhnya yang lemah, samar-samar dia mendengar suara dari luar kamar. Suara itu terdengar serius, berbicara pelan namun jelas. Luna menajamkan telinganya, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan.Lalu, satu suara terdengar lebih jelas—suara yang t
"Kamu bisa menurunkan beberapa meter lagi," pinta Luna pada pria itu."Bisa saja mereka masih mengejar kita. Aku akan menurunkanmu di tempat aman."Luna ingin melayangkan protes, tapi ia tetap memilih diam karena kemungkinan besar mereka memang dikejar. Akhirnya dia hanya diam. Mobil melaju semakin jauh, meninggalkan jejak ketegangan di belakang. Luna duduk diam di kursi penumpang, berusaha menenangkan dirinya. Sesekali, dia melihat ke arah pria di sebelahnya yang menyetir dengan tenang, namun ekspresi wajahnya tetap serius. Pria itu tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan para pengejar, tapi Luna bisa merasakan perhatian darinya ketika dia melihat kaki Luna yang terluka.“Kamu bisa menurunkanku di sini,” kata Luna dengan suara lemah, ketika mobil mulai melintasi area yang lebih tenang, jauh dari jalan utama. Dia merasa cukup aman sekarang, dan lebih baik pergi sendiri daripada menambah masalah bagi orang asing ini.Pria itu menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus ke jalan. “
Bian tiba di depan rumah Juan, matanya menyala dengan campuran amarah dan kekhawatiran. Beberapa menit lalu, anak buahnya melapor bahwa Luna ada di sini, namun saat dia masuk, rumah itu sepi. Luna sudah tidak ada. Jantung Bian berdebar semakin kencang, pikirannya penuh dengan ketakutan akan apa yang bisa saja terjadi pada istrinya yang sedang mengandung anak mereka. Dia masuk lebih dalam, melihat sekeliling dengan panik, hingga akhirnya bertemu dengan Juan yang berdiri santai di ujung ruangan. Juan tersenyum tipis, jelas menikmati kekacauan yang terjadi. "Ada apa? Apa yang kamu lakukan di sini?" Berlakon seolah dia tidak tahu apa-apa. Bian menatap Juan dengan tatapan penuh kebencian, menghampirinya dengan langkah cepat. “Di mana Luna?!” Juan hanya mengangkat bahu, tetap bersikap tenang seolah-olah tidak ada yang salah. "Kenapa kamu bertanya padaku?" Kata-kata Juan membuat Bian kehilangan kendali. Tanpa peringatan, Bian langsung menerjang ke arah Juan, mendorong pria itu keras k
Bryan berdiri di tepi ranjang, memandangi wajah Luna yang terlelap. Dia terlihat begitu damai, nyaris tak tersentuh oleh kegaduhan yang sedang berputar di sekitar kehidupannya. Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menerpa wajah Luna, menonjolkan keindahan alami yang seakan membuat Bryan terpesona sejenak. Wajahnya tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur—sama sekali tak menunjukkan bahwa ia berada di tengah bahaya.Luna sedang dalam pengaruh obat bius. Bryan tidak ingin ada drama histeris untuk beberapa saat lamanya. Luna adalah tawanannya.Tawanannya yang cantik. Bryan menatapnya dengan kekaguman yang dingin. Dia memang cantik, lebih cantik daripada yang pernah diceritakan oleh siapa pun. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Tapi kecantikan itu tak akan menghentikannya dari menggunakan Luna sebagai alat untuk menghancurkan Bian. Seorang pria yang berdiri di dekat pintu memecah keheningan dengan nada ragu. "Apa tidak masalah memancing Bian dengan cara seperti ini?"Bry