Jantung Luna berdetak kencang. “Dimana dompetku? Ponselku?” gumamnya, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia memegangnya. Perasaan tidak nyaman mulai merayap. Bagaimana dia akan bertahan hidup. Ia pemberian Bian atas persetujuannya menikah dengan pria itu raib. Uang yang akan dia gunakan untuk membeli kafe. Sekarang, dia tidak punya apa-apa lagi.Dia meremas ujung selimut, tubuhnya terasa lemas lagi—bukan karena sakit fisik, tetapi karena perasaan takut dan bingung yang tiba-tiba melandanya. Luna merasakan kepanikannya semakin meningkat. Dia mengingat-ingat setiap momen sejak dia tiba di rumah sakit, mencoba mengingat kapan terakhir kali dia memegang dompet dan ponselnya. Namun, pikirannya terasa kabur.Dia menatap pintu, berharap Adam segera kembali. Tapi pikiran negatif mulai menguasainya—apakah seseorang telah mencurinya? Dan kalau iya, siapa yang melakukannya?Dia bangkit dari tempat tidur dengan gemetar, berjalan menuju jendela, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenang
Inara berdiri di depan pintu kamar yang dulu seharusnya menjadi miliknya dan Bian. Matanya menyipit, dipenuhi amarah dan dendam. "Jika aku tidak bisa memilikimu, maka aku akan menghancurkan segalanya. Kalian harus membayar atas semua hinaan yang pernah dilontarkan ibumu padaku, pada orang tuaku." sambil meremas gagang pintu dengan penuh tekad.Pelan-pelan, dia menyelinap masuk, napasnya terdengar tenang namun hatinya bergolak. "Aku butuh sesuatu yang lebih besar dari dokumen-dokumen itu,""Skandal itu mungkin akan menjatuhkannya, tapi aku butuh senjata yang akan membuatnya benar-benar tidak bisa bangkit lagi."Inara segera menuju meja di sudut ruangan, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan. Ia tersenyum licik ketika melihat sebuah laci rahasia di bawah meja. "Tentu saja, Bian selalu punya sesuatu yang dia sembunyikan. Sejak dulu, dia selalu berpikir bahwa aku takkan pernah tahu," Inara tertawa kecil sambil mengotak-atik laci itu.Tepat seperti yang dia duga, laci tersebut
Inara berdiri di sudut ruangan, diam-diam memandang Bian yang duduk dengan kepala tertunduk di sofa. Senyum licik menghiasi wajahnya, hatinya dipenuhi kegirangan melihat pria yang dulu ia puja kini tampak begitu lemah. "Akhirnya, Bian. Akhirnya kamu merasakan bagaimana rasanya berada di posisi terendah," pikir Inara sambil meresapi momen itu. "Aku tidak suka melihatmu begini, tapi aku harus melakukannya."Bian, di sisi lain, berada di puncak keputusasaan. Kepalanya berdenyut keras seiring dengan kebingungan dan kemarahan yang bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa perhitungannya meleset—kesalahan fatal yang membuatnya jatuh dalam posisi ini. "Sial," pikirnya. "Aku terlalu besar kepala. Aku mengira semua bisa aku atasi dengan mudah, bahwa mereka hanyalah ancaman kecil."Namun kenyataan berkata lain. Lawannya bergerak jauh lebih cepat dan lebih cerdik dari yang ia bayangkan. Selama ini, ia selalu mengira pamannya yang menjadi ancaman terbesar—musuh dalam selimut yang selalu mengincar
Bian melepas tautan bibirnya dengan Inara, seolah baru tersadar dari ciuman yang terlalu dalam. Napasnya masih memburu, sementara pikiran dan perasaannya berantakan. Ia menatap wajah Inara yang tampak puas, lalu menarik diri dengan sedikit ragu.Namun, saat ia mengalihkan pandangannya, matanya tiba-tiba bertemu dengan Luna, yang berdiri di ambang pintu. Seketika, waktu seolah berhenti. Mata Bian membelalak, melihat bagaimana Luna berdiri terpaku, wajahnya pucat, dan matanya penuh luka yang mendalam. Lutut Luna tampak bergetar, seolah hampir tidak sanggup menopang tubuhnya."Luna..." Bian berbisik, suaranya serak, penuh penyesalan yang terlambat.Luna menelan ludah, mencoba mengendalikan air mata yang sudah menggantung di kelopak matanya. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat suaminya begitu mudah terjerat dalam pelukan wanita lain. Sia-sia ia khawatir, mencemaskan Bian, berusaha mempertahankan rasa cintanya, namun ternyata Bian tidak pernah benar-benar peduli.Bian hanya berdiri di
"Bersiaplah, hari ini kamu harus menikah dengan Bian Sagara." Luna membelalakan matanya, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut setelah mendengar ucapan sang Ayah dengan nada tenang dan santai. Seakan-akan hal yang pria ucapkan itu bukanlah masalah besar. Luna merasa ulang tahunnya yang ke 23, hari ini begitu menyedihkan. Bukan mendapat surprise spesial, dirinya justru malah mendapatkan kejutan berupa kekecewaan dan penghianatan. Luna memergoki kekasihnya, Juan, sedang bercumbu mesra dengan Ana, saudari tirinya sendiri. Dan kini Luna diminta menikah dengan pria yang tidak pernah ia kenal. “Kenapa aku harus menikah dengannya?” ujar Luna merasa heran. "Aku menggelapkan uang perusahaan sebesar lima Millyar." Satu kalimat yang meluncur dari mulut ayahnya sudah cukup menjelaskan situasi mendadak ini. Dan Luna bukan wanita bodoh. Dia tahu artinya dirinya dijual. Hubungannya dengan sang ayah memang tidak baik, terutama sejak perselingkuhan ayahnya dengan ibu tiri yang mengakiba
Bian memutar kursi rodanya dan menatap Luna dengan ekspresi datar. Dalam keadaan diam seperti itu, Bian tetap nampak mengintimidasi dan tentu saja angkuh. Sialnya, keangkuhan yang dia tunjukkan justru membuatnya semakin menawan. "Kamu hanya alat penebusan hutang! Berani sekali kamu meminta keuntungan," Suara berat Bian membuat Luna kembali tersadar dari lamunannya. Ekpresi pria itu masih sama, datar, tapi dengan sorot mata yang tajam menusuk. "Tuan, Anda pastinya sudah terbiasa berbisnis. Mengenai hutang ayahku, itu akan dianggap lunas begitu aku menjadi pengantinmu. Namun, bagaimana setelah pernikahan? Bukankah aku seumur hidup akan menjadi istri Anda yang harus membantu mengurus setiap keperluan? Rasanya baru adil jika aku juga mendapat keuntungan untuk itu,” Bian tidak bersuara, ia hanya menaikan sebelah alis sebagai reaksi atas ucapan Luna. Bian tidak menyangka bahwa wanita yang akan dijual kepadanya ternyata cukup cerdik. Wanita itu tahu cara bernegosiasi dan memantik ego
"Selamat atas pernikahanmu," Juan mengulurkan tangan yang diabaikan Luna begitu saja. Mendadak Luna merasa muak melihat Juan. Apa yang dulu membuatnya jatuh cinta kepada Juan? Ah! Tentu saja mulut manisnya yang membuatnya akhirnya terperdaya. "Ck! Kamu pengantin terburuk yang pernah kulihat. Wajahmu terlihat seperti badut," Ana tersenyum meremehkan. Luna tidak menyangka bahwa pasangan penghianat itu masih berani menghampiri dirinya ketika sedang menunggu mobil milik Bian yang akan menjemputnya. Ana menarik tangan Luna dan meletakkannya di perutnya. "Kamu merasakannya? Ya, ada benih Juan di sini. Kami akan memiliki anak." Luna menarik tangannya dari perut Ana, “Kamu hanya mendapatkan pria bekas, jadi aku tidak perduli” Ana tersenyum kecut mendengar jawaban Luna, " Setidaknya aku menikah dengan pria yang aku cintai. Bukan dengan seorang pria kejam!" Luna tidak berkomentar, tidak ingin membuang waktu melakukan pembelaan. Disaat Ana baru saja hendak menghina Luna lagi. Suara
Luna semakin gugup. Detik itu ia menyadari bahwa hidupnya terjerumus di dalam sangkar pria kejam. "Aku akan mandi. Segera." Luna beranjak, melangkah cepat. Saat melewati Bian, Luna justru malah terkilir dan terjatuh di atas pangkuan Bian dalam posisi duduk menyamping dan tanpa sengaja mencium leher Bian. "Ma-maaf, aku.." "Leher bukan titik pusat yang bisa merangsangku, Luna." Bisik pria itu dengan nada sensual di telinga Luna yang membuatnya bergidik ngeri. "Berhenti mengembuskan napasmu di sana." Dengan langkah cepat, Luna bangkit dan melangkahkan kakinya menjauhi Bian. "Kamu mempunyai waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri." Luna masih gemetar meski ia sudah berada di kamar mandi, menutup rapat pintu toilet tersebut lalu berjongkok, memainkan kukunya yang dipotong rapi. Tabiat yang biasa ia lakukan saat ia merasa gugup. "Jangan menangis... Jangan menangis, Luna. Ini bukan apa-apa. Kamu sudah terbiasa melewati kehidupan yang tidak beruntung seperti ini." "Dua me