Setelah memastikan Luna tertidur, Bian perlahan meninggalkan kamar dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkannya. Dia menatap wajah Luna yang tenang dalam tidurnya, meski hatinya tahu ada badai emosi yang sedang bergejolak di balik kesunyian itu. Tanpa bisa menahan beban yang menghimpit pikirannya, Bian pergi ke ruang kerjanya, berharap suasana di sana bisa memberinya sedikit ketenangan. Begitu pintu ruang kerja tertutup, dia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya. Nomor ibunya terpampang di layar, dan meskipun berat, ia menekan tombol panggil. Tidak butuh waktu lama bagi ibunya untuk menjawab. "Bian? Kenapa menelepon malam-malam begini?" suara sang ibu terdengar di seberang sana. "Aku butuh bicara," jawab Bian datar, tanpa basa-basi. "Tentang Inara." Sejenak, ada jeda hening di seberang sana, sebelum ibunya akhirnya menjawab. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan Inara?" Bian menghela napas panjang, mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan
Luna berdiri di ambang pintu ruang kerja, tangannya gemetar tak terkendali. Setiap kata yang baru saja diucapkan Bian berdengung di kepalanya. Dia tidak pernah membayangkan akan mendengar kalimat seperti itu dari suaminya—dari orang yang dia cintai. Ia benci mengakui hal ini, ya dia jatuh hati pada suaminya yang dingin dan cuek. “Masa depan yang mana, Ibu? Kita hanya membutuhkannya untuk melahirkan seorang anak untukku.” Kata-kata itu menyayat lebih tajam daripada apa pun yang pernah dia dengar. Seolah-olah dirinya, keberadaannya, semua yang dia perjuangkan selama ini, tidak lebih dari alat untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dia bayangkan. Luna merasa seakan-akan udara di ruangan itu hilang. Dadanya sesak, matanya berair. Tangis yang dia coba tahan kini meluap tanpa bisa dia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya mulai bergetar hebat, seolah seluruh dunianya runtuh. "Aku... hanya alat," bisiknya, suaranya begitu lirih, nyaris tak terdengar. Kakinya melemah, d
Bian keluar dari kamar mandi dengan handuk di tangan, mengusap rambutnya yang basah. Ketika ia mendongak dan menoleh ke tempat tidur, tempat Luna seharusnya berada, keningnya langsung mengernyit heran. Tempat itu kosong. "Luna?" panggilnya, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya. Ia memeriksa kamar, berharap Luna hanya pergi sebentar, mungkin ke dapur atau ke kamar mandi lain. Tapi setelah beberapa saat, dia mulai merasa ada yang tidak beres. Pikirannya mulai berputar cepat. Tanpa menunggu lebih lama, Bian segera berlari menuruni tangga. Setiap sudut rumah ia periksa dengan cepat, namun Luna tidak ada di mana pun. Hatinya merasa cemas. "Luna!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah. Tidak ada jawaban. Dia bergegas keluar dari rumah, menuju gerbang depan, matanya memindai sekeliling dengan cemas. "Luna!" Bian terus memanggil nama istrinya dengan harapan Luna akan muncul dari tempat persembunyian, tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Jantungnya berdegup lebih kenc
Karena panik, Luna tidak menyadari bahwa langkah kakinya telah membawanya ke jalan raya. Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang, namun sebuah cahaya terang dari mobil yang melaju cepat menghantam pandangannya. Bunyi klakson mobil memekik keras, disertai suara rem yang mencicit, tapi mobil itu sudah terlalu dekat. Tubuh Luna terpaku sejenak, seperti dunia melambat di sekitarnya. Ia menutup matanya, bersiap menerima benturan. Tidak ada benturan atau hantaman sama sekali. Namun kepalanya pusing, tubuhnya terasa ringan, dan pandangannya kabur. “Luna!” Terdengar suara memanggilnya, suara yang terdengar begitu panik, Luna mengenali suara ini. Dia berusaha mengangkat kepala, menatap dengan pandangan yang buram. Di hadapannya, seorang pria keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Adam—pengemudi mobil yang hampir menabraknya. "Luna, kamu tidak apa-apa?" Adam bersujud di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. "Saya hampir saja menabrakmu. Kamu bisa dengar saya?" tangannya bergetar saat ia
Sementara itu, Bian duduk di dalam mobilnya di depan rumah, menatap kosong ke arah jalan yang gelap. Matanya tampak lelah, tapi pikirannya terus berputar. Bayangan Luna yang hilang tanpa jejak sejak tadi malam menghantuinya. Setiap sudut kota sudah ia datangi, bahkan dirinya juga sudah menghubungi pengawal untuk ikut mencari Luna, namun tetap saja, tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. Bian menghela napas panjang, rasa bersalah semakin menguasainya. Kilasan perdebatan dengan ibunya, penampakan Inara yang mabuk, dan tindakan spontan yang membuat semuanya semakin kacau membuat hatinya menjadi tidak tenang. Bian kini baru menyadari bahwa dirinya takut kehilangan Luna. Ponselnya bergetar di kursi samping, suara pesan masuk menginterupsi lamunannya. Dia meraih ponsel itu dengan ragu. Ada pesan dari ibunya. "Bian, ingat tujuan kita. Jangan biarkan dirimu terjebak dengan perasaan. Kamu harus fokus, jangan lengah, karena musuh akan memanfaatkan hal itu." Bian memandang pesan itu
Ana dan Juan saling berpandangan setelah mendengar percakapan antara Adam dan Saka. "Luna sedang dirawat di sini," Ana mengumumkan seolah Juan tidak mengerti apa yang dibicarakan Adam dan putranya. "Aku juga mendengarnya, Ana." Lama-lama dia bosan pada wanita ini. Terlalu agresif dan terlalu memonopoli. Dia tidak suka. Ya, dari awal Juan memang tidak suka pada Ana. Dia hanya ingin memanfaatkan wanita itu. Dia hanya kebablasan sampai membuatnya hamil. Juan sebenarnya lebih menyukai Luna yang tulus. Tapi, bersama Luna karirnya tidak akan berkembang, justru akan berakhir begitu saja. Juan tak menyangka ternyata bersama Ana juga sama saja. Keluarga wanita itu jatuh bangkrut. Sehingga, Ia sudah membuat rencana untuk meninggalkan wanita murahan ini. "Apa kita masuk ke kamar Luna saja?" bisik Ana, mencoba mengalihkan perhatian Juan. Juan hanya mengangguk, mengiyakan. Mereka berjalan menuju kamar Luna. Begitu tiba di depan pintu, Ana menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu pel
Di sebuah kafe remang, Inara duduk berhadapan dengan seorang pria yang mengenakan setelan gelap. Senyumnya dingin dengan tatapan penuh perhitungan. Pria itu mengaduk kopinya dengan tenang, seperti tak tergesa-gesa. "Jadi, kamu berhasil masuk ke rumah Bian?" tanyanya dengan nada yang tenang tapi penuh arti, menatap Inara seolah menanti informasi penting. Inara mengangguk perlahan, senyumnya tipis namun licik. "Ya, aku berhasil masuk. Meskipun Luna ada di sana, aku berhasil memanfaatkan situasi. Dia bahkan tidak tahu aku menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar kenangan masa lalu kami." Pria itu berhenti mengaduk kopinya, alisnya terangkat penasaran. "Apa yang kamu temukan, Inara?" Inara mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah, "Sebuah dokumen. Sesuatu yang bisa menghancurkan Bian. Perjanjian bisnis yang dia sembunyikan. Jika informasi ini bocor, itu bisa merusak reputasinya." Pria itu tersenyum puas, tapi sebelum dia bisa menjawab, pria lain yang b
"Jadi ada yang sedang ingin bermain-main denganku," ucap Bian tenang saat Nathan melaporkan bahwa mereka kehilangan dokumen penting perusahaan. Di lantai dua, daerah terlarang bagi siapa pun. "Dan secara kebetulan CCTV rumah ini juga rusak," sambungnya masih dengan intonasi yang sama. Dokumen rahasia yang ditemukan Inara di rumah Bian adalah sebuah kontrak bisnis lama yang berhubungan dengan kesepakatan penting antara perusahaan Bian dan sebuah perusahaan besar lainnya. Namun, isi dari dokumen tersebut ternyata mengungkapkan bahwa kesepakatan itu tidak sah secara hukum karena ada manipulasi dalam proses negosiasi awal. Dokumen itu mengandung klausul kecurangan keuangan. Dalam kesepakatan tersebut, Bian atau perusahaannya diduga terlibat dalam penggelapan pajak atau aliran dana gelap untuk memuluskan proyek besar yang menjadi landasan kesuksesan perusahaan saat ini. Kontrak ini menunjukkan bahwa perusahaan telah menghindari pembayaran kewajiban finansial yang seharusnya, menempatkan