Gabby tampak berbeda dengan potongan rambut pixie berwarna ash gray dan kacamata model frame cat eye. Richardo mempersiapkan identitas palsu yang dapat digunakan Gabby untuk menjerat George. Mereka berencana untuk menjadikan Gabby sebagai umpan agar George jatuh cinta kepadanya. Meskipun sebenarnya Raizel sedikit tak rela, tapi dia percaya kepada Gabby bahwa gadis itu akan bekerja sesuai rules dan tidak melewati batas.“Apakah dia tak akan mengenaliku?” tanya Gabby, melihat pantulan bayangannya sendiri di cermin.Richardo dan Raizel bertepuk tangan, merasa takjub dengan perubahan Gabby yang sangat signifikan. Bagaimana mereka tak merasa takjub jika gadis yang semula tampak lugu kini terlihat seksi dan badass.“Kalau kamu masih meragukan penampilanmu, akan kupanggilkan Lascrea dan mengetesnya, apakah dia mengenalimu apa tidak.Lascrea yang tengah sibuk memberikan brieffing kepada para staff seketika menghentikan aktivitas, saat Handy Talky miliknya berbunyi dan terdengar suara Raizel y
George sudah tak bisa memasuki El Camorra lagi karena dia khawatir wajahnya sudah dikenali oleh beberapa staff Raizel. Meskipun George sangat jenius dengan IQ-nya yang 148. Namun pria itu bukan tipe orang yang sombong dan percaya diri jika Raizel bersama Richardo tak akan berhasil menangkapnya. George berpikir, pasti di sana Raizel juga mempersiapkan rencana yang matang untuk menyerang balik. Sampai akhirnya George memutuskan untuk mengamati pergerakan Richardo saja seperti semula. Setiap akhir pekan, George selalu membuntuti Richrardo tanpa disadari oleh pria paruh baya tersebut. Dia bahkan menyewa mobil, khawatir jika Richardo mengenalinya. Dia mengikuti ke mana mobil SUV berwarna putih itu meluncur hingga akhhirnya berhenti di depan bangunan tua yang tampak besar. Dari luar, ruangan itu tampak usang dan tak terawat. Namun, pada kenyataannya, penampakan di bagian dalam sangat berbanding terbalik dengan penampakan di bagian luar. George menghentikan mobilnya, beberapa meter di bela
Gabby melangkah mundur secara perlahan setelah membuka pintu dan melihat Raizel berdiri di depan kamarnya dengan tatapan menggoda. “Aku boleh masuk, kan?” tanya pria itu dengan senyum yang tersungging. Dia bahkan tak menunggu persetujuan Gabby dan melenggang begitu saja ke dalam kamarnya. “Rai! Gimana kalau ada yang lihat?” desis Gabby sambil celingukan lalu menutup pintunya. “Ahh!” Raizel mendesah nikmat saat mengempaskan tubuhnya ke atas kasur beralaskan seprai merah muda itu. Dia menghiraukan ucapan Gabby karena terlalu nyaman berbaring di sana. “Rai! Kamu nggak denger aku, ya?” Rengek Gabby. Dia menggembungkan pipi sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Kenapa sih, Sayang? Orang aku cuma mau tidur di sini, nggak boleh?” Ahh, untuk pertama kalinya Raizel mengucap panggilan sayang terhadap Gabby. Tentu saja hal tersebut berhasilkan menimbulkan rona merah jambu di kedua pipi Gabby. “Ihh, sempit nanti! Kan, kamarmu lebih besar. Kenapa harus di sini, coba?” Gabby berlaga
“Kamu lagi belajar banyak gaya buat nyenengin aku, ya?” goda Raizel hingga membuat wajah Gabby memerah bak kepiting rebus. “Ih, apaan sih. Udah sini, balikin!” gerutu Gabby. Bisa-bisanya Raizel menemuka buku yang sudah sengaja Gabby sembunyikan di balik bantal saat Raizel berkata di telepon ingin memasuki kamarnya. “Hehe, kenapa malu? Aku justru bangga kalau kamu mau belajar banyak hal, jadinya wawasanmu luas kalau banyak baca. Tapi, sayangnya malam ini aku bukan mau itu.” Gabby masih mengerutkan wajahnya, pertanda kesal. “Apa, sih. Lagian siapa juga yang berharap itu.” “Ah, masa, sih?” Raizel pun menggelitik pinggang Gabby hingga gadis itu menggelinjang karena merasa geli. “Ahh, geli, Rai! Stop!” “Hehe, yaudah, maaf. Sini peluk aja!” Raizel merapatkan tubuhnya untuk memeluk Gabby. “Jangan godain terus, nanti aku usir kamu!” ancam Gabby. “Galak amat!” protes Raizel, mencubit hidung Gabby dengan gemas. “Hmmm, emang kamu kenapa malem-malem ke sini?”tanya Gabby setelah menepi
Setelah menagis di pusara kedua orang tuanya, Raizel pun mengantar Gabby ke makam orang tuanya. Tak jauh berbeda dengan Raizel, Gabby juga menumpahkan semua air matanya di hadapan pusara Riko dan Laura. Dia bercerita tentang kehidupannya saat ini bersama Raizel. “Awalnya aku kesal sama Mama dan Papa. Kenapa kalian begitu tega meninggalkanku seorang diri hingga aku ditangkap oleh dua preman yang sangat menyeramkan. Aku tahu harus menjalankan hidup seperti apa jika menjadi tawanan dari seorang mafia yang kau hutangi,” jelas Gabby sambil menabur beberapa bunga. Raizel yang menemani gadis itu dan memperhatikannya dari belakang hanya bisa tersenyum simpul. Dia jadi teringat ketika pertama kali menangkap Gabby hingga berniat memperkerjakan gadis itu di El Camorra. Namun, hingga detik ini Raizel belum mengetahui alasannya sendiri kenapa sejak awal dia sangat perduli kepada Gabby, hingga menyuruhnya berhenti di El Camorra dan bekerja di rumah saja. “Setelah aku menjalankan kehidupan baruku
Raizel tergelak saat melihat Lascrea tengah melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu memandang Raizel dan Gabby dengan tatapan berapi-api, seperti harimau yang siap menerkam. “Aduh, kena lagi, deh!” desis Raizel, membuat Gabby menaikkan glabelanya sambil bergantian menatap dia dan Lascrea. Mereka pun melangkah ke arah Lascrea. Setelah mendekat, wanita itu menarik tangan Raizel dan mengajaknya masuk ke ruang kerja, meninggalkan Gabby yang masih terpaku di belakang mereka. Untuk kedua kalinya Gabby merasakan api cemburu.‘Dia nggak akan cium Raizel lagi, kam?’Setibanya Lascrea dan Raizel di ruang kerja, Lascrea pun membuntang sambil bertolak pinggang. “Kamu tuh, kebiasaan, ya! Kalau mau pergi-pergi tuh, ngomong! Gimana kalau ada klien yang tiba-tiba ngajak meeting?” bentak Lascrea yang sudah tak kuasa lagi menahan emosinya.Kini tak ada lagi sapaan formal yang biasa dia layangkan kepada bosnya, Namun, Raizel memaklumi itu. Dia tak pernah protes saat Lascrea bersikap demik
Saat itu, Raizel masih berumur dua puluh lima tahun dan sedang berkuliah di salah satu Universitas terbaik dalam kota. Pemuda itu baru saja selesai makan di salah satu restaurant junkfood di pusat kota. Dia hanya sendiri karena saat itu El Camarro dan Black Wolf belum sebesar sekarang. Raizel masih berfokus untuk memperluas jaringan dalam bisnisnya dalam jual-beli narkoba. Baru saja Raizel mengeluarkan dompet untuk menyiapkan uang parkir, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang merampas dompet kulitnya. “Eh, copet!” refleks dia berteriak lalu mengejar gadis itu. Ada sekitar lima orang yang membantu Raizel untuk menghadangnya. Namun hal yang sangat mustahil terjadi di depan mata pemuda itu. Kelima orang yang berusaha menangkap gadis kecil itu tumbang karena kesakitan akibat ditusuk oleh garpu. Rupanya gadis itu menyembunyikan senjata di balik celananya. Raizel semakin tertantang menyaksikan kejadian yang luar biasa di hadapannya. Seorang gadis kecil memiliki keberanian luar biasa u
Raizel membuka gorden dengan sengaja agar cahaya mentari yang menyusup melalui jendela kamar itu, dapat menyilaukan Lascrea yang tengah tertidur pulas. Gadis bertubuh mungil itu seketika mengernyit saat secercah sinar menyorot wajahnya yang tampak pucat. Dia mengulat untuk meregangkan otot-otot di tengah rasa kantuk yang masih tersisa. "Ayo bangun! Dua puluh menit lagi gue akan ajak lo jalan-jalan!"Lascrea mendengar apa yang Raizel ucapkan, tapi dia tak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menguap seraya menggosok-gosokan sebelah matanya. Kemudian bangkit untuk melangkah ke kamar mandi. Lima belas menit telah berlalu. Raizel menunggu Lascrea seraya membaca buku di sofa ruang tamu. Sampai akhirnya gadis bertubuh mungil itu selesai mandi dan menghampiri Raizel dengan memakai hoodie cokelat andalannya. Raizel menyunggingkan senyum lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar menuju garasi. Sementara Lascrea hanya mengikutinya dari belakang seraya memperhatikan punggung lebar Raizel y