Raizel membuka gorden dengan sengaja agar cahaya mentari yang menyusup melalui jendela kamar itu, dapat menyilaukan Lascrea yang tengah tertidur pulas. Gadis bertubuh mungil itu seketika mengernyit saat secercah sinar menyorot wajahnya yang tampak pucat. Dia mengulat untuk meregangkan otot-otot di tengah rasa kantuk yang masih tersisa. "Ayo bangun! Dua puluh menit lagi gue akan ajak lo jalan-jalan!"Lascrea mendengar apa yang Raizel ucapkan, tapi dia tak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menguap seraya menggosok-gosokan sebelah matanya. Kemudian bangkit untuk melangkah ke kamar mandi. Lima belas menit telah berlalu. Raizel menunggu Lascrea seraya membaca buku di sofa ruang tamu. Sampai akhirnya gadis bertubuh mungil itu selesai mandi dan menghampiri Raizel dengan memakai hoodie cokelat andalannya. Raizel menyunggingkan senyum lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar menuju garasi. Sementara Lascrea hanya mengikutinya dari belakang seraya memperhatikan punggung lebar Raizel y
Raizel tak ingin menyia-nyiakan bakat Lascrea yang merupakan petarung jalanan tangguh di umurnya yang masih sangat muda. Setelah dia mengenalkan Lascrea kepada Richardo. Mereka pun mencarikan guru yang tepat untuk melatih beberapa martial arts untuk Lascrea, salah satunya adalah Taekwondo. Bahkan Raizel tak pernah absen mengajak gadis itu gym agar tubuhnya terlatih dan semakin kuat. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun silih berganti. Gadis mungil yang semula tingginya tak sampai bahu Raizel, kini dia tumbuh dan berkembang pesat hingga sepantaran dengan Raizel. "Wah, sekarang aku nggak bisa panggil kamu bocah lagi, Rea! Tinggi kita sama, " cetus Raizel, memperhatikan Lascrea dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya saat ini pun sudah berbeda 180 derajat dengan saat pertama kali dia bertemu dengan Raizel. Kini Lascrea telah tumbuh menjadi gadis cantik yang elegan dan seksi. Kepiawaiannya dalam berkelahi dan kepintarannya dalam beradaptasi hingga mempelajari
Raizel sudah terbiasa melihat Lascrea marah seperti ini dan entah sudah berapa kali pria itu mengejarnya untuk sekadar menenangkan dan membujuknya agar berdamai. Namun, ini kali pertama dia melihat Gabby, wanita yang mulai dicintai terasa kecewa hingga berlari mengacuhkannya. Raizel tak ingin melihat Gabby keliru lagi seperti waktu itu. Alhasil, Raizel lebih memilih untuk mengejar Gabby ke kamarnya. Gadis itu tak menangis, hanya terduduk dengan raut kekesalan yang tak dapat disembunyikan lagi. Dadanya naik-turun menahan amarah yang menyeruak dalam sanubari. ‘Katanya nggak ada perasaan apa-apa! Terus, kenapa tadi meluk-meluk?’ batin Gabby meracau tak karuan hingga dia tak menyadari kehadiran Raizel di kamarnya. Gadis itu memang sengaja tak mengunci pintu. Meskipun kesal, tetap saja dalam hati kecilnya dia berharap untuk dikejar. Dia ingin Raizel menjelaskan apa yang terjadi beserta alasan kenapa dia bertindak seperti itu. “Gabby ... aku bisa jelasin kalau tadi itu ....” “Yaudah bu
Pagi ini Gabby berpamitan kepada Raizel, Lascrea, bahkan kepada seluruh pegawai yang berada di rumah itu. Dia akan mulai menempati apartemen yang sudah Raizel dan Richardo sediakan. Gabby tak mungkin memakai identitas aslinya dan tinggal di rumah Raizel jika ingin mendekati George. Akan banyak kemungkinan-kemunginan yang terjadi jika terus seperti itu. “Aku akan mengantarnya ke sana. Lascrea kamu tunggu saja di sini sebentar, ya!” titah Raizel yang sudah membuka pintu mobil kursi belakang. Lascrea mengangguk. Meskipun sedikit kesal, tapi dia juga mulai lega karena tak akan melihat batang hidung Gabby lagi di rumah ini. ‘Syukur-syukur kalau lo kabur di tengah misi’ Setelah berpamitan, Raizel dan Gabby pun segera meluncur ke apartemen, bersama satu orang ajudan yang menyetir. “Pokoknya nanti kamu hati-hati, ya! Jangan sampe ketahuan dan jangan sampe ....” Raizel menghentikan ucapannya lalu menoleh ke arah Gabby yang tengah duduk di sebelahnya. “Jangan sampe apa?” tanya Gabby meng
Seminggu yang lalu Gabby sempat survei ke unit apartemennya bahkan diajari bagaimana cara mengunakan akses oleh Raizel sehingga saat ini dia sudah tak merasa bingung lagi saat memasuki unit seorang diri. Setlah Gabby membuka pintu abu-abu yang bertuliskan nomor B011, dia pun tersenyum simpul melihat ruangan kamarnya yang cukup mewah. Kasur dengan seprai abu-abu di bawah lampu gantung berwarna keemasan itu hampir mirip dengan yang ada di kamar Raizel. Gabby menjadi sedikit rindu walau beberapa menit yang lalu mereka bertemu. Gadis itu meletakkan kopernya di sudut kamar lalu melempar tas kecilnya ke atas kasur dengan sembarang. Kemudian, gadis itu melenggang memasuki kamar mandi dan menatap wajahnya di depan cermin wastafel. Gabby mulai menyadari perubahan yang ada pada dirinya. Saat ini sudah tak ada lagi Gabby Gabriella seperti dulu. “Mulai saat ini, namamu adalah Angella,” ucap Gabby di depan cermin, bermonolog dengan bayangannya sendiri. Selang beberapa detik, gadis itu menangg
“Bandel ya, kamu!” Raizel menjewer telinga Lascrea hingga gadis itu meringis kesakitan. “Argh! Sakit, Bos!” Lascrea menggosok-gosok telinganya yang memerah setelah Raizel melepaskan jewerannya. “Bukannya kerja, malah nge-mall!” oceh Raizel sambil bertolak pinggang. Lascrea hanya mencebik. “Bos juga ngapain di sini, hayo? Bukannya kerja, malah nge-mall.” Raizel mendongak dengan kedua alis yang terangkat. “Aku mau makan siang abis anterin Gabby! Hayo, mau apa?” Lascrea hanya cengengesan lalu menggandeng Raizel hingga mereka melangkah secara perlahan. “Yaudah kalau gitu, ayo kita makan bareng!” seru Lascrea dengan antusias. “Eh, eh, eh! Dasar ya, anak gatau malu!” “Udah ah, bawel!” Lascrea terus menyeret lengan Raizel hingga pria itu melangkah dengan tertatih- tatih. Tanpa dosa, Lascrea terduduk di bangku restauran yang dipilih oleh Raizel. Dia terlihat sangat senang bisa menikmati makan siang bersama Raizel lagi, setelah sekian lama. Setelah memesan makanan di kasir, Raizel
George membuat janji temu dengan Dion di sebuah cafe bar untuk membahas perkembangan investigasinya hingga detik ini. Dia tak merasa luwes jika harus mengobrol di kantor, karena para senior sudah melarang George untuk merngusik Richardo. Sepertinya mereka sudah mengetahui tentang Richardo dan tak ingin berurusan dengannya.George mengangkat tangan kanan untuk mrlihat arlojinya. Kemudian mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Dion yang tak kunjung terlihat. Sudah empat pu;uh lima menit berlalu, Dion tak kunjung datang.Tak biasanya Dion telat. Sepertinya ada sesuatu. Tak lama berselang, sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Rupanya itu Dion, namanya terbaca di pop up notifikasi. George pun membaca pesan tersebut yang bertuliskan, “George, sorry gue gabisa datang, soalnya mendadak suruh temenin nyokap arisan.”George menghela napas gusar seraya menggeleng. Kemudian mengantungi ponselnya kembali dan berniat untuk pergi dari cafe bar. Namun, baru saja dia beranjak d
Rupanya membuat George larut dalam obrolan yang Gabby sajikan bukanlah suatu hal yang sulit. Dia memang pandai bersosialisasi dan membuat lawan bicara merasa nyaman untuk berbincang dengan dirinya. Hal itu terbukti saat Gabby membuat George berbicara lebih banyak di cafe bar tersebut, Mulai dari obrolan film, komik, bahkan hingga kasus pembunuhan yang sedang viral di berita. Mereka berdua hanyut dalam obrolan yang mengasyikan hingga waktu tak terasa sudah menunjukkan lewat tengah malam dan kepala Gabby sedikit pusing akibat tak terbiasa minum. “Kayaknya aku masuk angin, deh!” kilah Gabby sambil memegangi kepalanya. George sempat tertawa mendengar pengakuan Gabby. Di saat orang-orang merasa pusing karena mabuk, bisa-bisanya Anggela mengaku masuk angin. “Kamu bawa kendaraan sendiri?” tanya George. Gabby menggeleng sambil terus memegangi kepalanmya. “Aku naik taksi.” “Emang tinggal di daerah mana?” “Apartemen Orion.” George membulatkan mata karena apartemen itu dekat dengan kantor