Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
"Lepaskan aku!" teriak Gabby saat kedua pria berbadan kekar menyeretnya ke ruangan Raizel. “Siapa gadis ini?” tanya Raizel dengan tatapan nanar. Dia melangkah ke arah Gabby sambil memasukkan kedua tangan di saku celana. “Maaf, Bos! Setelah kami datang ke rumah Riko dan Laura, mereka ditemukan gantung diri dan rumahnya habis terbakar. Yang tersisa hanya gadis ini,” ucap Alex, preman yang bekerja untuk Raizel.Pandangan Gabby menjelajah seisi ruangan yang berukuran 5x5 meter itu. Suasananya terasa begitu mencekam. Apalagi ruangan yang didominasi oleh warna hitam itu terdapat banyak koleksi senpi dan sajam yang menggantung di dinding. Yang lebih mencuri perhatian Gabby adalah sosok pria tampan bertubuh kekar yang disapa bos oleh kedua preman itu.“Sebenarnya aku ada di mana? Kalian siapa?” teriak Gabby, masih berusaha memberontak. “Gimana, Bos? Barangkali dia bisa kita jual,” lanjut Dion, yang turut memegangi Gabby. Raizel hanya melambaikan tangan, memberi kode agar Dion dan Alex kel
“Apa aku jual saja organ tubuhmu ini?” bisik Raizel sambil membelai pipi Gabby. Seketika Gabby meludahi wajah Raizel lalu membuntang sambil berteriak, “Ya! Bunuh saja aku! Lebih baik aku mati menyusul orang tuaku dari pada harus bekerja dengan iblis sepertimu!”Raizel tertawa pedar. Dia mengusap pipinya yang basah akibat air liur. Kemudian menjambak rambut Gabby hingga gadis itu mendongak. “Sayang sekali aku tak memberikanmu pilihan itu, Nona Gabriella! Jika kau ingin terbebas dari semua ini, pilihannya hanya dua. Bekerja denganku, atau lunasi hutang itu sekarang juga!” bisik Raizel dengan tegas. Akhirnya dia melepas cengkramannya di rambut Gabby. Kemudian berjalan ke arah pintu untuk meninggalkan ruangan tersebut. Sementara Gabby hanya terisak sambil membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Baru saja Raizel berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dia berhenti. Pria itu memutar sedikit lehernya untuk melihat Gabby dengan ujung mata. “Kalau kau tak mau, hidupkan kembali saja ora
“Kenapa Anda membawa saya ke sini?” tanya Gabby sambil memandang sekeliling kamar Raizel yang tampak megah. Kasurnya begitu besar dengan ranjang emas yang tampak berkilau. “Setelah didandani. wajahmu lumayan juga,” ucap Raizel sambil meraih dagu lancip Gabby. Gabby menepis tangan Raizel sambil menatapnya tajam. “Anda tak menjawab pertanyaan saya!”Raizel terkekeh melihat Gabby yang tampak beringas. “Wow! Jangan galak-galak. pelangganku bisa kabur menghadapi perempuan sepertimu,” ucap Raizel, menepuk-nepuk pipi Gabby. “Sampai kapanpun saya nggak mau menjual tubuh saya! gertak Gabby, mengedikkan kepalanya agar tangan Raizel terlepas. Raizel tertawa pedar. “Sudah aku bilang kamu nggak punya pilihan, Gabriella."Raizel meraih kedua bahu Gabby lalu menuntunnya untuk mendekati tiang berukuran dua meter dengan diameter 45 mm. “Menarilah untukku!”Seru Raizel tiba-tiba. “Apa ini?” tanya Gabby dengan mata terpicing. Dia mendongak, memperhatikan tiang. “Kau tak tahu apa itu pole dance?
Tiga meter dari arah kanan, tiba-tiba Gabby melihat sebuah pintu toilet. Tak ada pilihan lain dia pun memilih untuk bersembunyi di sana. Namun baru saja Gabby memasuki toilet, tiba-tiba Lascrea melihat sosoknya dan segera berteriak kepada para ajudan. “Woy! Dia masuk toilet!” teriak Lascrea yang berdiri sekitar sepuluh meter dari sana. “Jangan sampai lolos!” sahut salah satu ajudan lalu berlari dari arah yang berlawanan dengan Lascrea. Gabby hampir putus asa. Semakin kecil peluang dia untuk kabur dari rumah Raizel. Terlebih lagi mereka sudah tahu kalau Gabby bersembunyi dalam toilet. Bisa-bisa pintunya didobrak paksa dan mereka menyeret Gabby untuk kembali ke tangan Raizel.Tak lama berselang, Gabby menenukan sebuah ventilasi kotak yang ada di atap toilet. Dia pun berinisiatif untuk masuk ke sana dengan menjadikan toilet sebagai pijakan. “Semoga aku bisa kabur lewat sini,” gumam Gabby lalu menaiki toilet dan membuka ventilasi. “Woy! Keluar lo, Cewek Brengsek!” teriak Lascrea sam
“Kau baik baik saja, Nak?” tanya pria tua berkumis tebal dengan perut buncit yang tertutup mantel. Sebelah tangannya memegang senapan yang dia pakai untuk berburu. Gabby membuka matanya secara perlahan setelah mencium aroma minyak eucalyptus yang dioleskan oleh pak tua di lubang hidungnya. Pandangan Gabby yang semula kabur perlahan terlihat jelas. Dia memicingkan kedua matanya setelah melihat sosok pria tua di hadapannya yang tersenyum lega saat gadis itu tersadar. “Si-siapa Anda?” tanya Gabby, gemetar. Dia terbangun, mengambil posisi duduk. Kemudian menyeret mundur tubuhnya hingga menimbulkan suara daun kering yang bergesekan di atas tanah. “Tenang! Tenang! Saya polisi!” seru pria tua itu, sambil menunjukkan lencana anggota yang semula tertutup mantel. Gabby menatap pria itu dengan penuh curiga. Sesekali memutar lehernya untuk menatap sekeliling hutan. Dia khawatir jika pria yang ada di hadapannya adalah salah satu kaki tangan Raizel yang berhasil menangkapnya. "Perkenalkan, sa
"Raizel Eliezer! Lama tidak berjumpa!" seru Richardo saat menginjakkan kaki di ruangan pribadi Raizel. Gabby meringkuk ketakutan dalam dekapan Richardo. Dia benar-benar tak mengerti kenapa bisa kembali ke tempat ini. Terlebih lagi, kenapa Richardo bisa mengenal Raizel? Pria tampan bertubuh kekar itu cukup terkejut melihat kehadiran Richardo bersama Gabby. "Paman? Bagaimana kau bisa....""Ck, ck, ck!" Richardo berdecak, memotong pembicaraan Raizel. "Bagaimana kau bisa seceroboh ini, Rai? Untung saja aku yang menemukan dia. Bagaimana kalau polisi lain?" tanya Richardo, seraya menghela napas. Gabby mendongak, menatap Richardo yang lebih tinggi darinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada sosok Raizel yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Raizel menggerakkan rahang. Merasa kesal saat melihat wajah gadis mungil di hadapannya. Dia masih mengingat jelas saat Gabby menendang titik vitalnya. "Aish! Dasar kau setan kecil!" geram Raizel. Gabby membenamkan wajahnya di