Tiga meter dari arah kanan, tiba-tiba Gabby melihat sebuah pintu toilet. Tak ada pilihan lain dia pun memilih untuk bersembunyi di sana.
Namun baru saja Gabby memasuki toilet, tiba-tiba Lascrea melihat sosoknya dan segera berteriak kepada para ajudan.“Woy! Dia masuk toilet!” teriak Lascrea yang berdiri sekitar sepuluh meter dari sana.“Jangan sampai lolos!” sahut salah satu ajudan lalu berlari dari arah yang berlawanan dengan Lascrea.Gabby hampir putus asa. Semakin kecil peluang dia untuk kabur dari rumah Raizel. Terlebih lagi mereka sudah tahu kalau Gabby bersembunyi dalam toilet. Bisa-bisa pintunya didobrak paksa dan mereka menyeret Gabby untuk kembali ke tangan Raizel.Tak lama berselang, Gabby menenukan sebuah ventilasi kotak yang ada di atap toilet. Dia pun berinisiatif untuk masuk ke sana dengan menjadikan toilet sebagai pijakan.“Semoga aku bisa kabur lewat sini,” gumam Gabby lalu menaiki toilet dan membuka ventilasi.“Woy! Keluar lo, Cewek Brengsek!” teriak Lascrea sambil memukul pintu dengan keras.“Sial! Mereka udah di sini,” bisik Gabby. Dia sedikit kesulitan untuk masuk ke ventilasi karena jaraknya cukup tinggi.“Woy! Keluar! Lo nggak bisa kabur ke mana-mana lagi,” teriak Lascrea.“Iya! Kita semua ada di sini. Ayo menyerah dengan damai, atau terpaksa kita dobrak pintunya,” teriak salah satu ajudan.“Sial!” umpat Gabby setengah berbisik. Sampai saat ini dia belum berhasil melompat ke atap.Dia pun memejamkan mata untuk menjernihkan pikiran sambil menghirup napas panjang dari hidung, lalu dikeluarkannya melalui mulut. Pandangannya menjelajah seisi toilet untuk mencari benda lain yang sekiranya dapat membantu.“Hey, Jalang! Gue itung sampe lima, ya! Kalau lo nggak keluar juga, kita bener-bener bakalan dobrak pintu ini!” teriak Lascrea yang masih saja bersikeras untuk mengajak Gabby keluar.Gabby berdecak sebal. Dari awal dia bertemu, dia sangat tak menyukai Lascrea.“Sampai kapan pun aku nggak mau keluar dengan sukarela,” gumam Gabby.“Satu....”Lascrea mulai menghitung dari luar pintu. Sementara para ajudan sudah menyiapkan kuda-kuda untuk mendobrak.“Dua.... “Jantung Gabby kini berpacu dengan sangat cepat. Keringat dingin tak hanya menggelinding di antara pelipis, bahkan sudah membasahi punggung dan kedua telapak tangan.“Tiga...! Ayo nyerah aja! Masih mau bertahan di toilet?” ejek Lascrea, disusul gelak tawa para ajudan.“Empat....”Lascrea menyeringai, sudah tak sabar untuk menangkap Gabby. Sampai hitungan kelima, dia pun memerintahkan para ajudan untuk mendobrak pintunya karena gadis itu tak kunjung keluar.“Lima!”“Waktunya udah abis, ayo dobrak!”Lascrea memerintahkan para ajudan untuk mendobrak paksa pintu toilet. Namun setelah pintu itu terbuka, mereka tak melihat keberadaan Gabby.“Sial!” geram Lascrea. Tatapannya tertuju ke arah tong sampah yang diletakkan di atas toilet.“Kayaknya dia kabur lewat ventilasi! Ayo kita cari pintu keluar dari ventilasi ini!” seru Lascrea.Akhirnya dia dan para ajudan berpencar untuk menangkap Gabby.Untung saja Gabby memiliki tubuh yang mungil sehingga dia bisa masuk dan merangkak dengan mudahnya tanpa terhalang oleh apa pun. Setelah bergerak beberapa meter, akhirnya Gabby menemukan ujung ventilasi . Dia pun mengintip terlebih dulu dari dalam celah. Khawatir Lascrea dan pasukannya telah sampai lebih dulu.Dari dalam celah ventilasi, Gabby bisa melihat jelas bahwa dia sedang berada di atap dapur. Kemudian pandangannya teralih ke luar jendela yang sedang terbuka. Sepertinya para pelayan tengah sibuk menata makanan di meja makan sehingga dapur dibiarkan kosong dan terlihat sepi. Setelah di rasa aman, Gabby pun membuka pintu ventilasi dan turun secara perlahan.“Akhirnya Dewi Fortuna berpihak kepadaku,” bisiknya menyeringai.Gadis itu melompat ke luar jendela dan terus berlari hingga dia menemukan sebuah hutan. Sesekali Gabby menoleh ke belakang untuk memastikan apakah dia masih dikejar?Akhirnya Gabby memutuskan untuk memasuki hutan dan bersembunyi di sana sembari mencari jalan keluar untuk meminta tolong.Setelah berlari cukup jauh, Gabby merasa kelelahan hingga tubuhnya ambruk di tengah-tengah hutan. Pandangannya lamat-lamat mengecil saat melihat pepohonan rindang yang menjulang tinggi, seakan-akan menutup langit.Sampai akhirnya ada sosok pria tua yang muncul di hadapannya. Pria itu berdiri, memperhatikan Gabby yang hampir pingsan."Siapa dia?" batin Gabby sebelum matanya terpejam.***“Kau baik baik saja, Nak?” tanya pria tua berkumis tebal dengan perut buncit yang tertutup mantel. Sebelah tangannya memegang senapan yang dia pakai untuk berburu. Gabby membuka matanya secara perlahan setelah mencium aroma minyak eucalyptus yang dioleskan oleh pak tua di lubang hidungnya. Pandangan Gabby yang semula kabur perlahan terlihat jelas. Dia memicingkan kedua matanya setelah melihat sosok pria tua di hadapannya yang tersenyum lega saat gadis itu tersadar. “Si-siapa Anda?” tanya Gabby, gemetar. Dia terbangun, mengambil posisi duduk. Kemudian menyeret mundur tubuhnya hingga menimbulkan suara daun kering yang bergesekan di atas tanah. “Tenang! Tenang! Saya polisi!” seru pria tua itu, sambil menunjukkan lencana anggota yang semula tertutup mantel. Gabby menatap pria itu dengan penuh curiga. Sesekali memutar lehernya untuk menatap sekeliling hutan. Dia khawatir jika pria yang ada di hadapannya adalah salah satu kaki tangan Raizel yang berhasil menangkapnya. "Perkenalkan, sa
"Raizel Eliezer! Lama tidak berjumpa!" seru Richardo saat menginjakkan kaki di ruangan pribadi Raizel. Gabby meringkuk ketakutan dalam dekapan Richardo. Dia benar-benar tak mengerti kenapa bisa kembali ke tempat ini. Terlebih lagi, kenapa Richardo bisa mengenal Raizel? Pria tampan bertubuh kekar itu cukup terkejut melihat kehadiran Richardo bersama Gabby. "Paman? Bagaimana kau bisa....""Ck, ck, ck!" Richardo berdecak, memotong pembicaraan Raizel. "Bagaimana kau bisa seceroboh ini, Rai? Untung saja aku yang menemukan dia. Bagaimana kalau polisi lain?" tanya Richardo, seraya menghela napas. Gabby mendongak, menatap Richardo yang lebih tinggi darinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada sosok Raizel yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Raizel menggerakkan rahang. Merasa kesal saat melihat wajah gadis mungil di hadapannya. Dia masih mengingat jelas saat Gabby menendang titik vitalnya. "Aish! Dasar kau setan kecil!" geram Raizel. Gabby membenamkan wajahnya di
Raizel menelan saliva yang terasa getir tatkala memandang wajah Gabby yang cukup manis. Begitu pun dengan gadis mungil yang kini berada dalam dekapan Raizel. Dia tertegun melihat ketampanan Raizel dari dekat. "Ekhem! Dalem banget natapnya," sindir Richardo seraya memperhatikan Raizel dan Gabby yang tengah terpaku. "Ih! Apaan, sih."Gabby langsung menjaga jarak dari Raizel sambil bergidik ngeri. Sementara Raizel hanya bisa berdeham untuk menghilangkan rasa canggung seraya melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik leher. "Sepertinya keinginan paman untuk menimang cucu akan segera terlaksana." Ucapan Richardo membuat Raizel membelalakkan mata sambil memasang ekspresi jijik terhadap Gabby. "Maksud Paman? Paman ingin menimang cucu dari perempuan ini?"Richardo menghisap cerutu lalu mengepulkan asapnya ke udara. "Kalau bisa kenapa enggak?""Ya jelas nggak bisa lah, Paman! Dia cuma bocah ingusan. Masih di bawah umur!" protes Raizel. "Eh, umurku udah dua puluh tahun, ya!" sambar Gabb
Gabby terlihat menawan dengan bikini berwarna keemasan. Rambut hitam pekat yang semula lurus berubah menjadi cokelat bergelombang. Sementara paras cantiknya terlihat makin memukau dengan riasan tebal yang cocok untuknya. Gabby pun mulai menaiki panggung. Pandangannya menjelajah sekliling, menyadari jika para pengunjung tengah menunggunya untuk menampilkan yang terbaik. "Aku sangat gugup. Mereka menatapku tanpa berkedip sedetik pun. Terlebih lagi.... "Gabby menggumam dalam hati hingga pandangannya terhenti pada sosok Raizel. Pria tampan itu tengah memperhatikan Gabby dari bangku penonton. Sorot matanya yang tajam selalu berhasil mengintimidasi. "Aku pasti bisa! Akan kutunjukan kepada pria iblis itu," batin Gabby. Kemudian jemari lentik Gabby mulai menyentuh dan membelai tiang. Meskipun dia belum terbiasa melakukan pole dance, tapi gerakan Gabby di atas terlihat sangat enjoy dan natural. Raizel mulai menyunggingkan senyum, bak seorang ayah yang bangga akan perkembangan anaknya. "
Setelah Gabby memakai kimono untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, dia pun ikut Arnold pergi ke rooftoop. "Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Gabby sambil celingukan. Embusan angin malam menyapu rambut cokelatnya hingga berserakan menutup wajah. Berkali-kali Gabby harus merapikan rambutnya dan menyelipkan ke antara daun telinga. "Aku cuma mau nikmatin angin malam sambil ngobrol aja," jawab Arnold. Mereka pun terduduk di kursi payung sambil melihat pemandangan kota dari rooftop. Gabby menunduk, masih memainkan kuku jempolnya. Dia tak tahu harus berkata apa. "Kamu baru pertama kali ya, kerja di sini?"tanya Arnold seraya menghisap sebatang rokok. "Iya," jawab Gabby singkat. "Kayaknya kamu masih muda. Umur berapa?""Dua puluh tahun."Arnold mencebik lalu mengangguk tanda mengerti. "Udah punya pacar?" Gabby menatap Arnold beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak.""Aku sangat menyayangkan kau bekerja di tempat seperti ini, Gabriella. You deserve better."Mendengar perka
"Siapa yang gemas?" tanya Raizel sekali lagi. Pria itu menatap tajam ke arah Gabby yang masih menunduk ketakutan. Gabby mencoba menenangkan diri dengan menghela napas panjang seraya terpejam. Dalam hitungan detik, dia pun memberanikan diri untuk mendongak lalu membalas tatapan Raizel. "Pak Bos, mau aku tendang lagi atau menyingkir dari hadapanku?" tanya Gabby, tersenyum licik. Raizel menggertakkan rahangnya lalu berdeham sambil mengubah posisi. Kini dia sudah tak mengimpit Gabby lagi. "Apaan sih, tendang-tendang! Orang gue cuma nanya," gerutu Raizel. "Tugas aku di sini cuma kerja ya, Pak Bos, bukan curhat!" seru Gabby sambil berjalan ke arah meja rias. "Lagian ngapain juga kepo sama orang yang aku suka? Nggak akan ngaruh ke omset Bapak, kan?" lanjut Gabby sambil terduduk di depan cermin. Gadis itu mulai menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Lo suka sama Arnold?" tanya Raizel, menyipitkan matanya. Gabby menelan saliva. Menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik ser
“Jangan mendekat!” pekik Gabby sambil berjalan mundur. Jantungnya kini berdebar kencang. Perasaan takutnya melebihi saat dia bersama Raizel. “Kenapa? Bukankah kamu suka bersenang-senang denganku, Gabby?” tanya Arnold menyeringai. “Aku mohon Kak Arnold! Aku belum pernah berhubungan dengan siapa pun! Aku tidak ingin melakukannya,” pinta Gabby dengan wajah memelas. “Hahaha!” Arnold tertawa pedar. “makanya aku ngincer kamu, karena aku nggak pernah pake barang bekas, Gabby!" “Kak Arnold!” desis Gabby, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu semakin mundur hingga tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas. “Ayolah, Gabby! Kau tak perlu merasa berberat hati. Aku hanya ingin memakaimu sekali.”Setelah mengumpulkan keberanian, Gabby meraih lampu tidur di belakangnya dan dia pukulkan ke kepala Arnold sekencang mungkin saat pria itu sudah berada tepat di hadapannya. “Argh!” Arnold mengeran
“Heyyo, my friend!” seru Raizel pelan sambil menyeringai. Sontak Arnold segera mengangkat tangan setelah melihat sosok Raizel yang siap menembak dirinya. “Wow! Santai, Bro! Kenapa harus bawa pistol?” tanya Arnold sambil terkekeh, merasa tak berdosa. “Harusnya gue yang tanya lo! Kenapa lo seenaknya bawa Gabby ke sini?"“Kenapa? Dia pacar lo? Biasanya juga yang lain boleh!” bantah Arnold masih tak terima. “Nggak usah banyak bacot! Serahin Gabby sekarang juga atau gue tembak kepala lo!” gertak Raizel masih berusaha. “Bro! Gue udah abisin banyak uang buat dia,” rengek Arnold sambil menjambak rambutnya sendiri. “Nanti gue balikin dua kali lipat! Cepet serahin Gabby ke tangan gue! Lo nggak mau gue blokir akses lo ke El Camorra buat selamanya, kan?”Arnold menggertakan rahang hingga akhirnya berjalan menghampiri Gabby yang masih meringkuk di kasur. Raizel menunggu sambil tetap memegang kuat senjatanya. Baru saja Arnold memegang Gabby untuk membantunya bangun, dia pun berubah pikiran d