“Jangan mendekat!” pekik Gabby sambil berjalan mundur. Jantungnya kini berdebar kencang. Perasaan takutnya melebihi saat dia bersama Raizel. “Kenapa? Bukankah kamu suka bersenang-senang denganku, Gabby?” tanya Arnold menyeringai. “Aku mohon Kak Arnold! Aku belum pernah berhubungan dengan siapa pun! Aku tidak ingin melakukannya,” pinta Gabby dengan wajah memelas. “Hahaha!” Arnold tertawa pedar. “makanya aku ngincer kamu, karena aku nggak pernah pake barang bekas, Gabby!" “Kak Arnold!” desis Gabby, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu semakin mundur hingga tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas. “Ayolah, Gabby! Kau tak perlu merasa berberat hati. Aku hanya ingin memakaimu sekali.”Setelah mengumpulkan keberanian, Gabby meraih lampu tidur di belakangnya dan dia pukulkan ke kepala Arnold sekencang mungkin saat pria itu sudah berada tepat di hadapannya. “Argh!” Arnold mengeran
“Heyyo, my friend!” seru Raizel pelan sambil menyeringai. Sontak Arnold segera mengangkat tangan setelah melihat sosok Raizel yang siap menembak dirinya. “Wow! Santai, Bro! Kenapa harus bawa pistol?” tanya Arnold sambil terkekeh, merasa tak berdosa. “Harusnya gue yang tanya lo! Kenapa lo seenaknya bawa Gabby ke sini?"“Kenapa? Dia pacar lo? Biasanya juga yang lain boleh!” bantah Arnold masih tak terima. “Nggak usah banyak bacot! Serahin Gabby sekarang juga atau gue tembak kepala lo!” gertak Raizel masih berusaha. “Bro! Gue udah abisin banyak uang buat dia,” rengek Arnold sambil menjambak rambutnya sendiri. “Nanti gue balikin dua kali lipat! Cepet serahin Gabby ke tangan gue! Lo nggak mau gue blokir akses lo ke El Camorra buat selamanya, kan?”Arnold menggertakan rahang hingga akhirnya berjalan menghampiri Gabby yang masih meringkuk di kasur. Raizel menunggu sambil tetap memegang kuat senjatanya. Baru saja Arnold memegang Gabby untuk membantunya bangun, dia pun berubah pikiran d
Gabby terperangah saat pria bertopi itu mendongak hingga wajahnya terlihat jelas. Rupanya dia adalah George yang berhasil memotong jalan setelah mengikuti Raizel dari rumah Arnold hingga menghadangnya di persimpangan. “Ah! Aku tahu dia siapa!” pekik Gabby. Raizel mengangkat sebelah alisnya lalu menoleh kepada Gabby. “Siapa?”“Aku nggak tahu namanya, tapi dia cowok yang tadi masuk ke El Camorra. Dia papasan sama aku di pintu masuk,” jawab Gabby. Seketika Raizel mengingat momen saat dirinya dibuntuti oleh seseorang beberapa hari yang lalu.“Kayaknya lo juga orang yang buntutin gue dan Paman beberapa hari lalu,” ucap Raizel dengan mata terpicing. “Sebenernya lo siapa? Siapa yang ngirim lo?” lanjut Raizel. George tertawa pedar lalu berkata, “Raizel Eliezer! Sayang sekali kau tak bisa mengenalku. Padahal aku mengetahui segala tentangmu dan Richardo.” Tiba-tiba George mengeluarkan pistolnya yang sedari tadi tersembunyi di saku celana.“Sial!” desis Raizel lalu menarik Gabby untuk berl
Dalam sekejap mata, sorot cahaya itu menyorot wajah mereka sehingga kedua sejoli itu memicingkan mata akibat merasa silau. “Ketemu!” seru Pria berjas hitam setelah menyibak semak-semak. Dia menyorot wajah Raizel dan Gabby menggunakan lampu senter. Di sisi lain, Lascrea berhasil menemukan mobil Raizel yang menabrak pohon. Dia pun melangkah pelan, mendekati mobil untuk memastikan keberadaan bosnya di sana. Alih-alih menemukan sosok Raizel, wanita itu malah terkejut saat melihat sosok pria yang tengah menjungking sambil menggeledah dalam mobil. Kepalanya menerobos masuk, sementara bagian bokongnya ada di luar. Lascrea pun mendekat secara perlahan seraya mengeluarkan pistolnya. “Jangan bergerak, atau lo nggak akan bisa buang air lagi selamanya!” ancam Lascrea setengah berbisik. Dia menempelkan ujung pistol ke bokong pria itu. “Sial!” umpatnya dalam hati. Rupanya pria itu adalah George. Pantas dia tak mengejar Raizel dan Gabby ke dalam hutan. ternyata dia tengah sibuk menggeledah mobi
“Pak Bos?” Gabby melambai-lambaikan tangan saat menyadari Raizel tengah melamun. Seketika Raizel pun mengerjapkan mata. Dia menepis berbagai lamunan kotor dalam benaknya. “Uh! So-sory!” ucap Raizel spontan. Gabby mengangguk dengan raut kebingungan. “Jadi, ada yang bisa saya bantu, Bos?” Raizel mengangguk cepat lalu mempersilakan Gabby untuk duduk di sebelahnya. “Kamu tolong balutkan perban ini ke lengan saya!” Seketika ucapan Raizel mendadak lembut. Tak seperti biasanya yang selalu meluap-luap. “Baik, biar saya bantu!” seru Gabby lalu mengambil beberapa alat-alat di kotak P3K yang bisa dia gunakan untuk mengobati luka. “Kenapa nggak panggil dokter aja, Bos?” tanya Gabby seraya mengoleskan alkohol ke luka Raizel. Raizel menggeleng dengan raut meringis. “Nggak usah. Ini cuma luka kecil.” “CUMA?” pekik Gabby hingga membuat Raizel terperanjat. “Ma-maaf! Maksud aku, cuma?” Gabby memelankan suaranya dan membuat Raizel kembali tenang. “Biarkan saja, emang kenapa? Kamu khawatir?”
Jemari lentik Gabby menyentuh dada bidang Raizel yang tampak terbuka. Saat itu Raizel memang sedang tak mengenakan pakaian agar lebih mudah mengobati luka. Namun siapa sangka kondisinya yang seperti itu dapat membangkitkan hasrat terpendam dalam diri Gabby. Terlebih lagi gadis itu merasakan ada sesuatu yang mengeras di balik celana Raizel yang bergesekan dengan bokongnya. Rupanya tak hanya Gabby yang merasakan gelenyar ganjil dalam tubuhnya. Pria tampan dengan otot yang begitu mempesona itu tak dapat menahan gairah saat menghidu aroma mawar turki yang menguar dari tubuh Gabby. Kini pandangannya tertuju pada bongkahan indah yang ada di dada, lalu ke bibir ranum Gabby yang tampak merekah. Raizel tak dapat menahan lagi. Dalam hitungan detik naluri kejantanannya menuntun pria itu untuk mendaratkan bibirnya. Dia memagut bibir mungil Gabby dengan lembut. Tentu saja Gabby terperangah dengan apa yang terjadi. Hatinya berdesir lembut saat cambang tipis Raizel bergesekan dengan wajahnya. “Mmh
Gabby cukup terperangah melihat Lascrea yang menatap nanar kepada dirinya. Namun gadis itu lebih memilih bungkam dan melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke kamar. Tentu saja sikap Gabby membuat Lascrea menaruh curiga. Dia pun mencoba untuk bertanya langsung kepada Raizel sekalian ada hal penting yang ingin dia bicarakan. “Permisi, Bos!”Lascrea mengetuk pelan pintu cokelat bermotif kayu disertai pegangan berwarna emas tersebut. Baru saja Raizel memejamkan mata untuk menjernihkan pikiran, dia harus menghadapi Lascrea karena sudah tau pasti ada hal penting yang akan dikatakan jika wanita itu sudah berani menghampiri ke kamarnya. “Ya! Masuk!” seru Raizel dari dalam kamar. Lascrea pun memasuki kamar Raizel seraya mengulum senyum. Sesungguhnya melangkah ke dalam ruangan besar nan megah itu selalu menjadi momen kesukaannya. Dia selalu membayangkan jika suatu saat akan menemani Raizel di pagi dan malamnya sepanjang hari. Meskipun hal itu tak kunjung terlaksana, tapi Lascrea cukup bah
Raizel memanggil Richardo untuk mengajaknya berdiskusi mengenai ini. Sepertinya pria paruh baya itu setuju akan pendapat Raizel bahwa pria misterius yang membuntuti mereka akhir-akhir ini adalah salah satu anggota intel. Richardo pun berpikir di ruangan Raizel sambil menghisap cerutunya seperti biasa. Sementara Raizel berbisik kepada tim IT-nya untuk segera menjebol data BIN dan mencari tahu siapa aja yang terdaftar sebagai anggota.“Keamanan negara tidak semudah itu untuk diretas, Bos!” seru salah satu tim IT dengan wajah meringis. Dia menggaruk pelipisnya, merasa bingung bagaimana menjalankan tugas kali ini. “Tenang aja! Kan ada dia.” Raizel mengedikkan dagunya ke arah Richardo. “Jangan lupakan satu privilege kita yang akan memudahkan untuk akses ke sana.”Richardo menyunggingkan senyum setelah mengepulkan asapnya ke udara. “Jika kita tak berhasil meretasnya, pakai cara manual saja. Paman pasti punya banyak link di sana,” lanjut Raizel. “Oke! Satu minggu kedepan kita akan disib
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik