“Kau baik baik saja, Nak?” tanya pria tua berkumis tebal dengan perut buncit yang tertutup mantel. Sebelah tangannya memegang senapan yang dia pakai untuk berburu.
Gabby membuka matanya secara perlahan setelah mencium aroma minyak eucalyptus yang dioleskan oleh pak tua di lubang hidungnya.Pandangan Gabby yang semula kabur perlahan terlihat jelas. Dia memicingkan kedua matanya setelah melihat sosok pria tua di hadapannya yang tersenyum lega saat gadis itu tersadar.“Si-siapa Anda?” tanya Gabby, gemetar. Dia terbangun, mengambil posisi duduk. Kemudian menyeret mundur tubuhnya hingga menimbulkan suara daun kering yang bergesekan di atas tanah.“Tenang! Tenang! Saya polisi!” seru pria tua itu, sambil menunjukkan lencana anggota yang semula tertutup mantel.Gabby menatap pria itu dengan penuh curiga. Sesekali memutar lehernya untuk menatap sekeliling hutan. Dia khawatir jika pria yang ada di hadapannya adalah salah satu kaki tangan Raizel yang berhasil menangkapnya."Perkenalkan, saya Inspektur Jenderal Richardo. Kamu tak perlu khawatir, Nak. Apa ada sesuatu yang mengancammu hingga kau terlihat sangat ketakutan?" tanya Richardo sambil menyerahkan kartu tanda anggotanya.Gabby segera mengambil kartu itu untuk dia baca dan perhatikan dengan saksama. Akhirnya gadis itu mulai tenang karena Richardo benar-benar seorang Inspektur Jenderal dari kepolisian."I-iya, Pak! Saya menjadi korban tawanan oleh seorang pria jahat. Namun saya berhasil kabur ke hutan ini," jawab Gabby gemetar sambil mengembalikan kartu anggota kepolisian milik Richardo."Pria jahat?" tanya Richardo dengan sebelah alis yang terangkat.Dengan sigap Gabby bangkit lalu memegang kedua tangan Richardo."Iya, Pak! Tolong selamatkan aku! Sepertinya pria itu adalah mafia yang memiliki banyak bisnis ilegal," ucap Gabby, menggebu-gebu."Richardo memicingkan mata sambil mengusap-usap kumis tebalnya."Kamu tenang dulu! Ceritakan pelan-pelan. Bagaimana kamu bertemu dengannya?"Gabby menghirup napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah dirasa tenang, akhirnya Gabby menceritakan seluruh kejadian yang dia alami tanpa ada yang terlewat satu pun.Richardo menyimak cerita Gabby dengan saksama hingga akhirnya dia bertanya,"Dimana tempat tinggal pria itu?"Gabby menelan luda seraya memejamkan matanya. Dia berusaha mengingat kembali suasana rumah Raizel yang membuatnya sedikit trauma."Dia tinggal di dekat hutan ini. Rumah yang terlihat besar dan sangat megah di sebelah utara," jawab Gabby, meyakinkan.Richardo menghela napas panjang hingga akhirnya merangkul Gabby untuk berjalan menelusuri hutan."Apakah kau ingin aku ke sana untuk menangkapnya?" tanya Richardo, mengerutkan kening.Gabby menggeleng kuat dengan mata terbelalak."Jangan sekarang! Terlalu berbahaya, Pak. Lebih baik kau membawa pasukan untuk menangkapnya! Di sana banyak sekali ajudan dan staf yang bekerja untuk pria itu.Richardo pun mengangguk sambil mengulas senyum."Baiklah. Lebih baik aku mengantarmu pulang. Di mana rumahmu?" tanya Richardo seraya menuntun Gabby untuk berjalan menuju mobilnya."Sebenarnya aku tidak punya rumah, tapi Bapak bisa tolong antarkan aku ke rumah saudaraku," jawab Gabby dengan tatapan penuh harap."Baiklah! Ayo kita berangkat!"Setelah keluar dari hutan, Gabby dan Richardo pun memasuki mobil dan segera pergi dari sana.Akhirnya Gabby bernapas lega karena merasa telah diselamatkan oleh Richardo. Dia pun memberitahukan alamat saudaranya agar segera diantarkan tempat tujuan.Namun baru beberapa meter Richardo mengendarai mobilnya, Gabby merasa heran karena jalan yang dilewati bukanlah arah ke tempat pulang."Pak? Kenapa putar balik? Ini bukan arah rumah saudaraku," ucap Gabby mengernyit heran.Richardo hanya tersenyum sambil melirik Gabby dari kaca spion yang ada di dashboard mobil."Aku hanya ingin mengantarmu pulang," ucap Richardo dengan tenang."Ta-tapi ini bukan arah pulang, Pak!" protes Gabby.Kepanikan gadis itu semakin memuncak kala mobil Richardo memasuki pekarangan rumah Raizel.Beberapa ajudan yang membuka gerbang untuk Richardo membungkukkan badan seraya memberi hormat."Pak, kenapa Bapak tahu rumah ini?"tanya Gabby dengan mata terbelalak.***"Raizel Eliezer! Lama tidak berjumpa!" seru Richardo saat menginjakkan kaki di ruangan pribadi Raizel. Gabby meringkuk ketakutan dalam dekapan Richardo. Dia benar-benar tak mengerti kenapa bisa kembali ke tempat ini. Terlebih lagi, kenapa Richardo bisa mengenal Raizel? Pria tampan bertubuh kekar itu cukup terkejut melihat kehadiran Richardo bersama Gabby. "Paman? Bagaimana kau bisa....""Ck, ck, ck!" Richardo berdecak, memotong pembicaraan Raizel. "Bagaimana kau bisa seceroboh ini, Rai? Untung saja aku yang menemukan dia. Bagaimana kalau polisi lain?" tanya Richardo, seraya menghela napas. Gabby mendongak, menatap Richardo yang lebih tinggi darinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada sosok Raizel yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Raizel menggerakkan rahang. Merasa kesal saat melihat wajah gadis mungil di hadapannya. Dia masih mengingat jelas saat Gabby menendang titik vitalnya. "Aish! Dasar kau setan kecil!" geram Raizel. Gabby membenamkan wajahnya di
Raizel menelan saliva yang terasa getir tatkala memandang wajah Gabby yang cukup manis. Begitu pun dengan gadis mungil yang kini berada dalam dekapan Raizel. Dia tertegun melihat ketampanan Raizel dari dekat. "Ekhem! Dalem banget natapnya," sindir Richardo seraya memperhatikan Raizel dan Gabby yang tengah terpaku. "Ih! Apaan, sih."Gabby langsung menjaga jarak dari Raizel sambil bergidik ngeri. Sementara Raizel hanya bisa berdeham untuk menghilangkan rasa canggung seraya melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik leher. "Sepertinya keinginan paman untuk menimang cucu akan segera terlaksana." Ucapan Richardo membuat Raizel membelalakkan mata sambil memasang ekspresi jijik terhadap Gabby. "Maksud Paman? Paman ingin menimang cucu dari perempuan ini?"Richardo menghisap cerutu lalu mengepulkan asapnya ke udara. "Kalau bisa kenapa enggak?""Ya jelas nggak bisa lah, Paman! Dia cuma bocah ingusan. Masih di bawah umur!" protes Raizel. "Eh, umurku udah dua puluh tahun, ya!" sambar Gabb
Gabby terlihat menawan dengan bikini berwarna keemasan. Rambut hitam pekat yang semula lurus berubah menjadi cokelat bergelombang. Sementara paras cantiknya terlihat makin memukau dengan riasan tebal yang cocok untuknya. Gabby pun mulai menaiki panggung. Pandangannya menjelajah sekliling, menyadari jika para pengunjung tengah menunggunya untuk menampilkan yang terbaik. "Aku sangat gugup. Mereka menatapku tanpa berkedip sedetik pun. Terlebih lagi.... "Gabby menggumam dalam hati hingga pandangannya terhenti pada sosok Raizel. Pria tampan itu tengah memperhatikan Gabby dari bangku penonton. Sorot matanya yang tajam selalu berhasil mengintimidasi. "Aku pasti bisa! Akan kutunjukan kepada pria iblis itu," batin Gabby. Kemudian jemari lentik Gabby mulai menyentuh dan membelai tiang. Meskipun dia belum terbiasa melakukan pole dance, tapi gerakan Gabby di atas terlihat sangat enjoy dan natural. Raizel mulai menyunggingkan senyum, bak seorang ayah yang bangga akan perkembangan anaknya. "
Setelah Gabby memakai kimono untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, dia pun ikut Arnold pergi ke rooftoop. "Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Gabby sambil celingukan. Embusan angin malam menyapu rambut cokelatnya hingga berserakan menutup wajah. Berkali-kali Gabby harus merapikan rambutnya dan menyelipkan ke antara daun telinga. "Aku cuma mau nikmatin angin malam sambil ngobrol aja," jawab Arnold. Mereka pun terduduk di kursi payung sambil melihat pemandangan kota dari rooftop. Gabby menunduk, masih memainkan kuku jempolnya. Dia tak tahu harus berkata apa. "Kamu baru pertama kali ya, kerja di sini?"tanya Arnold seraya menghisap sebatang rokok. "Iya," jawab Gabby singkat. "Kayaknya kamu masih muda. Umur berapa?""Dua puluh tahun."Arnold mencebik lalu mengangguk tanda mengerti. "Udah punya pacar?" Gabby menatap Arnold beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak.""Aku sangat menyayangkan kau bekerja di tempat seperti ini, Gabriella. You deserve better."Mendengar perka
"Siapa yang gemas?" tanya Raizel sekali lagi. Pria itu menatap tajam ke arah Gabby yang masih menunduk ketakutan. Gabby mencoba menenangkan diri dengan menghela napas panjang seraya terpejam. Dalam hitungan detik, dia pun memberanikan diri untuk mendongak lalu membalas tatapan Raizel. "Pak Bos, mau aku tendang lagi atau menyingkir dari hadapanku?" tanya Gabby, tersenyum licik. Raizel menggertakkan rahangnya lalu berdeham sambil mengubah posisi. Kini dia sudah tak mengimpit Gabby lagi. "Apaan sih, tendang-tendang! Orang gue cuma nanya," gerutu Raizel. "Tugas aku di sini cuma kerja ya, Pak Bos, bukan curhat!" seru Gabby sambil berjalan ke arah meja rias. "Lagian ngapain juga kepo sama orang yang aku suka? Nggak akan ngaruh ke omset Bapak, kan?" lanjut Gabby sambil terduduk di depan cermin. Gadis itu mulai menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Lo suka sama Arnold?" tanya Raizel, menyipitkan matanya. Gabby menelan saliva. Menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik ser
“Jangan mendekat!” pekik Gabby sambil berjalan mundur. Jantungnya kini berdebar kencang. Perasaan takutnya melebihi saat dia bersama Raizel. “Kenapa? Bukankah kamu suka bersenang-senang denganku, Gabby?” tanya Arnold menyeringai. “Aku mohon Kak Arnold! Aku belum pernah berhubungan dengan siapa pun! Aku tidak ingin melakukannya,” pinta Gabby dengan wajah memelas. “Hahaha!” Arnold tertawa pedar. “makanya aku ngincer kamu, karena aku nggak pernah pake barang bekas, Gabby!" “Kak Arnold!” desis Gabby, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu semakin mundur hingga tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas. “Ayolah, Gabby! Kau tak perlu merasa berberat hati. Aku hanya ingin memakaimu sekali.”Setelah mengumpulkan keberanian, Gabby meraih lampu tidur di belakangnya dan dia pukulkan ke kepala Arnold sekencang mungkin saat pria itu sudah berada tepat di hadapannya. “Argh!” Arnold mengeran
“Heyyo, my friend!” seru Raizel pelan sambil menyeringai. Sontak Arnold segera mengangkat tangan setelah melihat sosok Raizel yang siap menembak dirinya. “Wow! Santai, Bro! Kenapa harus bawa pistol?” tanya Arnold sambil terkekeh, merasa tak berdosa. “Harusnya gue yang tanya lo! Kenapa lo seenaknya bawa Gabby ke sini?"“Kenapa? Dia pacar lo? Biasanya juga yang lain boleh!” bantah Arnold masih tak terima. “Nggak usah banyak bacot! Serahin Gabby sekarang juga atau gue tembak kepala lo!” gertak Raizel masih berusaha. “Bro! Gue udah abisin banyak uang buat dia,” rengek Arnold sambil menjambak rambutnya sendiri. “Nanti gue balikin dua kali lipat! Cepet serahin Gabby ke tangan gue! Lo nggak mau gue blokir akses lo ke El Camorra buat selamanya, kan?”Arnold menggertakan rahang hingga akhirnya berjalan menghampiri Gabby yang masih meringkuk di kasur. Raizel menunggu sambil tetap memegang kuat senjatanya. Baru saja Arnold memegang Gabby untuk membantunya bangun, dia pun berubah pikiran d
Gabby terperangah saat pria bertopi itu mendongak hingga wajahnya terlihat jelas. Rupanya dia adalah George yang berhasil memotong jalan setelah mengikuti Raizel dari rumah Arnold hingga menghadangnya di persimpangan. “Ah! Aku tahu dia siapa!” pekik Gabby. Raizel mengangkat sebelah alisnya lalu menoleh kepada Gabby. “Siapa?”“Aku nggak tahu namanya, tapi dia cowok yang tadi masuk ke El Camorra. Dia papasan sama aku di pintu masuk,” jawab Gabby. Seketika Raizel mengingat momen saat dirinya dibuntuti oleh seseorang beberapa hari yang lalu.“Kayaknya lo juga orang yang buntutin gue dan Paman beberapa hari lalu,” ucap Raizel dengan mata terpicing. “Sebenernya lo siapa? Siapa yang ngirim lo?” lanjut Raizel. George tertawa pedar lalu berkata, “Raizel Eliezer! Sayang sekali kau tak bisa mengenalku. Padahal aku mengetahui segala tentangmu dan Richardo.” Tiba-tiba George mengeluarkan pistolnya yang sedari tadi tersembunyi di saku celana.“Sial!” desis Raizel lalu menarik Gabby untuk berl
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik