"Raizel Eliezer! Lama tidak berjumpa!" seru Richardo saat menginjakkan kaki di ruangan pribadi Raizel.
Gabby meringkuk ketakutan dalam dekapan Richardo. Dia benar-benar tak mengerti kenapa bisa kembali ke tempat ini. Terlebih lagi, kenapa Richardo bisa mengenal Raizel?Pria tampan bertubuh kekar itu cukup terkejut melihat kehadiran Richardo bersama Gabby."Paman? Bagaimana kau bisa....""Ck, ck, ck!" Richardo berdecak, memotong pembicaraan Raizel."Bagaimana kau bisa seceroboh ini, Rai? Untung saja aku yang menemukan dia. Bagaimana kalau polisi lain?" tanya Richardo, seraya menghela napas.Gabby mendongak, menatap Richardo yang lebih tinggi darinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada sosok Raizel yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.Raizel menggerakkan rahang. Merasa kesal saat melihat wajah gadis mungil di hadapannya. Dia masih mengingat jelas saat Gabby menendang titik vitalnya."Aish! Dasar kau setan kecil!" geram Raizel.Gabby membenamkan wajahnya di tubuh Richardo. Dia takut jika Raizel murka dan memukulnya."Ssh, ssh, ssh! Jangan takut, Gadis kecil," ucap Richardo sedikit menenangkan."Meskipun dari luar dia tampak seperti singa, tapi hatinya lembut bagaikan anak kucing. Aku sudah mengenalnya sejak dia kecil," tambah Richardo."Apaan sih, Paman! Jangan mencoreng citraku di depan bocah ini," gerutu Raizel.Richardo tertawa terbahak-bahak, lalu melepaskan rangkulannya dan melangkah menghampiri Raizel.Pria tua itu menepuk-nepuk pipi Richardo lalu berjalan pelan mengelilinginya."Aku tahu kau tak akan pernah bisa menyakiti wanita. Meskipun kau mempekerjakannya, tapi kau tak pernah sekalipun menyiksa atau memukul mereka. Toh, wanita yang bekerja untukmu semuanya atas dasar sukarela."Gabby mengerutkan kening mendengar perkataan Richardo."Apa benar yang dikatakan polisi itu?" tanya Gabby dalam hati."Gadis kecil, siapa namamu?" tanya Richardo, menoleh ke arah Gabby."Ga-Gabby, Pak," jawab Gabby sedikit terbata."Gabby! Aku akan bercerita sedikit untukmu. Pasti kau bingung kenapa aku mengenal pria menyebalkan ini," ucap Richardo sambil menyalakan cerutu."Paman! Sudah kubilang berkali-kali jangan merokok di ruanganku!" gerutu Raizel.Richardo berdecak sebal seraya mendelik. Namun dia tak menanggapi ucapan Raizel. Pria tua itu memilih untuk melanjutkan ceritanya."Sejak kecil aku bersahabat dengan Roy Eliezer, ayahnya Raizel. Dulu aku terlahir dari keluarga miskin, sedangkan Roy sudah kaya dari lahir. Meskipun dari keluarga kaya, Roy tak memanfaatkan harta orang tuanya untuk berfoya-foya. Dia justru memutar otak untuk mengembangkan bisnis meskipun dengan cara yang ilegal. Dari bisnis itulah Roy membantu menyekolahkanku hingga aku berhasil masuk ke instansi kepolisian."Gabby menyimak cerita Richardo dengan saksama. Sesekali dia melirik ke arah Raizel untuk melihat ekspresi wajahnya."Aku masih ingat bisnis pertama yang dijalankan Roy adalah jual beli narkoba dalam skala besar hingga berhasil menjadi mafia paling berkuasa dan ditakuti di negara ini. Sayang sekali dia meninggalkanku lebih dulu bersama istrinya dalam kecelakaan pesawat."Raizel memutar bola matanya jengah lalu memotong ucapan Richardo."Sudahlah, Paman! Gabriella tak butuh sebuah cerita drama.""Tidak apa-apa! Lanjutkan saja! Aku mendengarkan," ucap Gabby, memotong pembicaraan Raizel.Richardo terkekeh sambil mengepulkan asap."Kau lihat, Rai? Dia tertarik dengan ceritaku."Ayo ceritakan lebih lanjut, kenapa Bapak bisa menjadi Inspektur Jenderal padahal tahu kalau sahabat Bapak adalah seorang mafia kelas kakap."Raizel menggertakkan rahangnya hingga berkedut. Dia benar-benar kesal kepada Gabby hingga membentak gadis itu."Bisa diem nggak, lo?" Raizel membelalakkan matanya agar terlihat seram.Sementara Gabby memasang raut nyinyir."Apaan sih, dasar om-om tua hipertensi! Kerjaannya marah-marah mulu."Meskipun Gabby menggerutu dengan pelan, tapi Raizel bisa mendengarnya."Apa lo bilang?" tanya dia mulai kesal.Pria tampan itu tak tahan lagi ingin membungkam mulut Gabby. Dia pun melangkah dengan tergesa untuk menghampiri Gabby.Namun saat Raizel berjalan dengan begitu gagah, sialnya dia malah tersandung lipatan karpet hingga badannya limbung dan memeluk Gabby."Aduh!" teriak Raizel dan Gabby secara bersamaan.Kedua sejoli itu saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat.***Raizel menelan saliva yang terasa getir tatkala memandang wajah Gabby yang cukup manis. Begitu pun dengan gadis mungil yang kini berada dalam dekapan Raizel. Dia tertegun melihat ketampanan Raizel dari dekat. "Ekhem! Dalem banget natapnya," sindir Richardo seraya memperhatikan Raizel dan Gabby yang tengah terpaku. "Ih! Apaan, sih."Gabby langsung menjaga jarak dari Raizel sambil bergidik ngeri. Sementara Raizel hanya bisa berdeham untuk menghilangkan rasa canggung seraya melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik leher. "Sepertinya keinginan paman untuk menimang cucu akan segera terlaksana." Ucapan Richardo membuat Raizel membelalakkan mata sambil memasang ekspresi jijik terhadap Gabby. "Maksud Paman? Paman ingin menimang cucu dari perempuan ini?"Richardo menghisap cerutu lalu mengepulkan asapnya ke udara. "Kalau bisa kenapa enggak?""Ya jelas nggak bisa lah, Paman! Dia cuma bocah ingusan. Masih di bawah umur!" protes Raizel. "Eh, umurku udah dua puluh tahun, ya!" sambar Gabb
Gabby terlihat menawan dengan bikini berwarna keemasan. Rambut hitam pekat yang semula lurus berubah menjadi cokelat bergelombang. Sementara paras cantiknya terlihat makin memukau dengan riasan tebal yang cocok untuknya. Gabby pun mulai menaiki panggung. Pandangannya menjelajah sekliling, menyadari jika para pengunjung tengah menunggunya untuk menampilkan yang terbaik. "Aku sangat gugup. Mereka menatapku tanpa berkedip sedetik pun. Terlebih lagi.... "Gabby menggumam dalam hati hingga pandangannya terhenti pada sosok Raizel. Pria tampan itu tengah memperhatikan Gabby dari bangku penonton. Sorot matanya yang tajam selalu berhasil mengintimidasi. "Aku pasti bisa! Akan kutunjukan kepada pria iblis itu," batin Gabby. Kemudian jemari lentik Gabby mulai menyentuh dan membelai tiang. Meskipun dia belum terbiasa melakukan pole dance, tapi gerakan Gabby di atas terlihat sangat enjoy dan natural. Raizel mulai menyunggingkan senyum, bak seorang ayah yang bangga akan perkembangan anaknya. "
Setelah Gabby memakai kimono untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, dia pun ikut Arnold pergi ke rooftoop. "Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Gabby sambil celingukan. Embusan angin malam menyapu rambut cokelatnya hingga berserakan menutup wajah. Berkali-kali Gabby harus merapikan rambutnya dan menyelipkan ke antara daun telinga. "Aku cuma mau nikmatin angin malam sambil ngobrol aja," jawab Arnold. Mereka pun terduduk di kursi payung sambil melihat pemandangan kota dari rooftop. Gabby menunduk, masih memainkan kuku jempolnya. Dia tak tahu harus berkata apa. "Kamu baru pertama kali ya, kerja di sini?"tanya Arnold seraya menghisap sebatang rokok. "Iya," jawab Gabby singkat. "Kayaknya kamu masih muda. Umur berapa?""Dua puluh tahun."Arnold mencebik lalu mengangguk tanda mengerti. "Udah punya pacar?" Gabby menatap Arnold beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak.""Aku sangat menyayangkan kau bekerja di tempat seperti ini, Gabriella. You deserve better."Mendengar perka
"Siapa yang gemas?" tanya Raizel sekali lagi. Pria itu menatap tajam ke arah Gabby yang masih menunduk ketakutan. Gabby mencoba menenangkan diri dengan menghela napas panjang seraya terpejam. Dalam hitungan detik, dia pun memberanikan diri untuk mendongak lalu membalas tatapan Raizel. "Pak Bos, mau aku tendang lagi atau menyingkir dari hadapanku?" tanya Gabby, tersenyum licik. Raizel menggertakkan rahangnya lalu berdeham sambil mengubah posisi. Kini dia sudah tak mengimpit Gabby lagi. "Apaan sih, tendang-tendang! Orang gue cuma nanya," gerutu Raizel. "Tugas aku di sini cuma kerja ya, Pak Bos, bukan curhat!" seru Gabby sambil berjalan ke arah meja rias. "Lagian ngapain juga kepo sama orang yang aku suka? Nggak akan ngaruh ke omset Bapak, kan?" lanjut Gabby sambil terduduk di depan cermin. Gadis itu mulai menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Lo suka sama Arnold?" tanya Raizel, menyipitkan matanya. Gabby menelan saliva. Menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik ser
“Jangan mendekat!” pekik Gabby sambil berjalan mundur. Jantungnya kini berdebar kencang. Perasaan takutnya melebihi saat dia bersama Raizel. “Kenapa? Bukankah kamu suka bersenang-senang denganku, Gabby?” tanya Arnold menyeringai. “Aku mohon Kak Arnold! Aku belum pernah berhubungan dengan siapa pun! Aku tidak ingin melakukannya,” pinta Gabby dengan wajah memelas. “Hahaha!” Arnold tertawa pedar. “makanya aku ngincer kamu, karena aku nggak pernah pake barang bekas, Gabby!" “Kak Arnold!” desis Gabby, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu semakin mundur hingga tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas. “Ayolah, Gabby! Kau tak perlu merasa berberat hati. Aku hanya ingin memakaimu sekali.”Setelah mengumpulkan keberanian, Gabby meraih lampu tidur di belakangnya dan dia pukulkan ke kepala Arnold sekencang mungkin saat pria itu sudah berada tepat di hadapannya. “Argh!” Arnold mengeran
“Heyyo, my friend!” seru Raizel pelan sambil menyeringai. Sontak Arnold segera mengangkat tangan setelah melihat sosok Raizel yang siap menembak dirinya. “Wow! Santai, Bro! Kenapa harus bawa pistol?” tanya Arnold sambil terkekeh, merasa tak berdosa. “Harusnya gue yang tanya lo! Kenapa lo seenaknya bawa Gabby ke sini?"“Kenapa? Dia pacar lo? Biasanya juga yang lain boleh!” bantah Arnold masih tak terima. “Nggak usah banyak bacot! Serahin Gabby sekarang juga atau gue tembak kepala lo!” gertak Raizel masih berusaha. “Bro! Gue udah abisin banyak uang buat dia,” rengek Arnold sambil menjambak rambutnya sendiri. “Nanti gue balikin dua kali lipat! Cepet serahin Gabby ke tangan gue! Lo nggak mau gue blokir akses lo ke El Camorra buat selamanya, kan?”Arnold menggertakan rahang hingga akhirnya berjalan menghampiri Gabby yang masih meringkuk di kasur. Raizel menunggu sambil tetap memegang kuat senjatanya. Baru saja Arnold memegang Gabby untuk membantunya bangun, dia pun berubah pikiran d
Gabby terperangah saat pria bertopi itu mendongak hingga wajahnya terlihat jelas. Rupanya dia adalah George yang berhasil memotong jalan setelah mengikuti Raizel dari rumah Arnold hingga menghadangnya di persimpangan. “Ah! Aku tahu dia siapa!” pekik Gabby. Raizel mengangkat sebelah alisnya lalu menoleh kepada Gabby. “Siapa?”“Aku nggak tahu namanya, tapi dia cowok yang tadi masuk ke El Camorra. Dia papasan sama aku di pintu masuk,” jawab Gabby. Seketika Raizel mengingat momen saat dirinya dibuntuti oleh seseorang beberapa hari yang lalu.“Kayaknya lo juga orang yang buntutin gue dan Paman beberapa hari lalu,” ucap Raizel dengan mata terpicing. “Sebenernya lo siapa? Siapa yang ngirim lo?” lanjut Raizel. George tertawa pedar lalu berkata, “Raizel Eliezer! Sayang sekali kau tak bisa mengenalku. Padahal aku mengetahui segala tentangmu dan Richardo.” Tiba-tiba George mengeluarkan pistolnya yang sedari tadi tersembunyi di saku celana.“Sial!” desis Raizel lalu menarik Gabby untuk berl
Dalam sekejap mata, sorot cahaya itu menyorot wajah mereka sehingga kedua sejoli itu memicingkan mata akibat merasa silau. “Ketemu!” seru Pria berjas hitam setelah menyibak semak-semak. Dia menyorot wajah Raizel dan Gabby menggunakan lampu senter. Di sisi lain, Lascrea berhasil menemukan mobil Raizel yang menabrak pohon. Dia pun melangkah pelan, mendekati mobil untuk memastikan keberadaan bosnya di sana. Alih-alih menemukan sosok Raizel, wanita itu malah terkejut saat melihat sosok pria yang tengah menjungking sambil menggeledah dalam mobil. Kepalanya menerobos masuk, sementara bagian bokongnya ada di luar. Lascrea pun mendekat secara perlahan seraya mengeluarkan pistolnya. “Jangan bergerak, atau lo nggak akan bisa buang air lagi selamanya!” ancam Lascrea setengah berbisik. Dia menempelkan ujung pistol ke bokong pria itu. “Sial!” umpatnya dalam hati. Rupanya pria itu adalah George. Pantas dia tak mengejar Raizel dan Gabby ke dalam hutan. ternyata dia tengah sibuk menggeledah mobi