"Raizel Eliezer! Lama tidak berjumpa!" seru Richardo saat menginjakkan kaki di ruangan pribadi Raizel.
Gabby meringkuk ketakutan dalam dekapan Richardo. Dia benar-benar tak mengerti kenapa bisa kembali ke tempat ini. Terlebih lagi, kenapa Richardo bisa mengenal Raizel?Pria tampan bertubuh kekar itu cukup terkejut melihat kehadiran Richardo bersama Gabby."Paman? Bagaimana kau bisa....""Ck, ck, ck!" Richardo berdecak, memotong pembicaraan Raizel."Bagaimana kau bisa seceroboh ini, Rai? Untung saja aku yang menemukan dia. Bagaimana kalau polisi lain?" tanya Richardo, seraya menghela napas.Gabby mendongak, menatap Richardo yang lebih tinggi darinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada sosok Raizel yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.Raizel menggerakkan rahang. Merasa kesal saat melihat wajah gadis mungil di hadapannya. Dia masih mengingat jelas saat Gabby menendang titik vitalnya."Aish! Dasar kau setan kecil!" geram Raizel.Gabby membenamkan wajahnya di tubuh Richardo. Dia takut jika Raizel murka dan memukulnya."Ssh, ssh, ssh! Jangan takut, Gadis kecil," ucap Richardo sedikit menenangkan."Meskipun dari luar dia tampak seperti singa, tapi hatinya lembut bagaikan anak kucing. Aku sudah mengenalnya sejak dia kecil," tambah Richardo."Apaan sih, Paman! Jangan mencoreng citraku di depan bocah ini," gerutu Raizel.Richardo tertawa terbahak-bahak, lalu melepaskan rangkulannya dan melangkah menghampiri Raizel.Pria tua itu menepuk-nepuk pipi Richardo lalu berjalan pelan mengelilinginya."Aku tahu kau tak akan pernah bisa menyakiti wanita. Meskipun kau mempekerjakannya, tapi kau tak pernah sekalipun menyiksa atau memukul mereka. Toh, wanita yang bekerja untukmu semuanya atas dasar sukarela."Gabby mengerutkan kening mendengar perkataan Richardo."Apa benar yang dikatakan polisi itu?" tanya Gabby dalam hati."Gadis kecil, siapa namamu?" tanya Richardo, menoleh ke arah Gabby."Ga-Gabby, Pak," jawab Gabby sedikit terbata."Gabby! Aku akan bercerita sedikit untukmu. Pasti kau bingung kenapa aku mengenal pria menyebalkan ini," ucap Richardo sambil menyalakan cerutu."Paman! Sudah kubilang berkali-kali jangan merokok di ruanganku!" gerutu Raizel.Richardo berdecak sebal seraya mendelik. Namun dia tak menanggapi ucapan Raizel. Pria tua itu memilih untuk melanjutkan ceritanya."Sejak kecil aku bersahabat dengan Roy Eliezer, ayahnya Raizel. Dulu aku terlahir dari keluarga miskin, sedangkan Roy sudah kaya dari lahir. Meskipun dari keluarga kaya, Roy tak memanfaatkan harta orang tuanya untuk berfoya-foya. Dia justru memutar otak untuk mengembangkan bisnis meskipun dengan cara yang ilegal. Dari bisnis itulah Roy membantu menyekolahkanku hingga aku berhasil masuk ke instansi kepolisian."Gabby menyimak cerita Richardo dengan saksama. Sesekali dia melirik ke arah Raizel untuk melihat ekspresi wajahnya."Aku masih ingat bisnis pertama yang dijalankan Roy adalah jual beli narkoba dalam skala besar hingga berhasil menjadi mafia paling berkuasa dan ditakuti di negara ini. Sayang sekali dia meninggalkanku lebih dulu bersama istrinya dalam kecelakaan pesawat."Raizel memutar bola matanya jengah lalu memotong ucapan Richardo."Sudahlah, Paman! Gabriella tak butuh sebuah cerita drama.""Tidak apa-apa! Lanjutkan saja! Aku mendengarkan," ucap Gabby, memotong pembicaraan Raizel.Richardo terkekeh sambil mengepulkan asap."Kau lihat, Rai? Dia tertarik dengan ceritaku."Ayo ceritakan lebih lanjut, kenapa Bapak bisa menjadi Inspektur Jenderal padahal tahu kalau sahabat Bapak adalah seorang mafia kelas kakap."Raizel menggertakkan rahangnya hingga berkedut. Dia benar-benar kesal kepada Gabby hingga membentak gadis itu."Bisa diem nggak, lo?" Raizel membelalakkan matanya agar terlihat seram.Sementara Gabby memasang raut nyinyir."Apaan sih, dasar om-om tua hipertensi! Kerjaannya marah-marah mulu."Meskipun Gabby menggerutu dengan pelan, tapi Raizel bisa mendengarnya."Apa lo bilang?" tanya dia mulai kesal.Pria tampan itu tak tahan lagi ingin membungkam mulut Gabby. Dia pun melangkah dengan tergesa untuk menghampiri Gabby.Namun saat Raizel berjalan dengan begitu gagah, sialnya dia malah tersandung lipatan karpet hingga badannya limbung dan memeluk Gabby."Aduh!" teriak Raizel dan Gabby secara bersamaan.Kedua sejoli itu saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat.***Raizel menelan saliva yang terasa getir tatkala memandang wajah Gabby yang cukup manis. Begitu pun dengan gadis mungil yang kini berada dalam dekapan Raizel. Dia tertegun melihat ketampanan Raizel dari dekat. "Ekhem! Dalem banget natapnya," sindir Richardo seraya memperhatikan Raizel dan Gabby yang tengah terpaku. "Ih! Apaan, sih."Gabby langsung menjaga jarak dari Raizel sambil bergidik ngeri. Sementara Raizel hanya bisa berdeham untuk menghilangkan rasa canggung seraya melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik leher. "Sepertinya keinginan paman untuk menimang cucu akan segera terlaksana." Ucapan Richardo membuat Raizel membelalakkan mata sambil memasang ekspresi jijik terhadap Gabby. "Maksud Paman? Paman ingin menimang cucu dari perempuan ini?"Richardo menghisap cerutu lalu mengepulkan asapnya ke udara. "Kalau bisa kenapa enggak?""Ya jelas nggak bisa lah, Paman! Dia cuma bocah ingusan. Masih di bawah umur!" protes Raizel. "Eh, umurku udah dua puluh tahun, ya!" sambar Gabb
Gabby terlihat menawan dengan bikini berwarna keemasan. Rambut hitam pekat yang semula lurus berubah menjadi cokelat bergelombang. Sementara paras cantiknya terlihat makin memukau dengan riasan tebal yang cocok untuknya. Gabby pun mulai menaiki panggung. Pandangannya menjelajah sekliling, menyadari jika para pengunjung tengah menunggunya untuk menampilkan yang terbaik. "Aku sangat gugup. Mereka menatapku tanpa berkedip sedetik pun. Terlebih lagi.... "Gabby menggumam dalam hati hingga pandangannya terhenti pada sosok Raizel. Pria tampan itu tengah memperhatikan Gabby dari bangku penonton. Sorot matanya yang tajam selalu berhasil mengintimidasi. "Aku pasti bisa! Akan kutunjukan kepada pria iblis itu," batin Gabby. Kemudian jemari lentik Gabby mulai menyentuh dan membelai tiang. Meskipun dia belum terbiasa melakukan pole dance, tapi gerakan Gabby di atas terlihat sangat enjoy dan natural. Raizel mulai menyunggingkan senyum, bak seorang ayah yang bangga akan perkembangan anaknya. "
Setelah Gabby memakai kimono untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, dia pun ikut Arnold pergi ke rooftoop. "Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Gabby sambil celingukan. Embusan angin malam menyapu rambut cokelatnya hingga berserakan menutup wajah. Berkali-kali Gabby harus merapikan rambutnya dan menyelipkan ke antara daun telinga. "Aku cuma mau nikmatin angin malam sambil ngobrol aja," jawab Arnold. Mereka pun terduduk di kursi payung sambil melihat pemandangan kota dari rooftop. Gabby menunduk, masih memainkan kuku jempolnya. Dia tak tahu harus berkata apa. "Kamu baru pertama kali ya, kerja di sini?"tanya Arnold seraya menghisap sebatang rokok. "Iya," jawab Gabby singkat. "Kayaknya kamu masih muda. Umur berapa?""Dua puluh tahun."Arnold mencebik lalu mengangguk tanda mengerti. "Udah punya pacar?" Gabby menatap Arnold beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak.""Aku sangat menyayangkan kau bekerja di tempat seperti ini, Gabriella. You deserve better."Mendengar perka
"Siapa yang gemas?" tanya Raizel sekali lagi. Pria itu menatap tajam ke arah Gabby yang masih menunduk ketakutan. Gabby mencoba menenangkan diri dengan menghela napas panjang seraya terpejam. Dalam hitungan detik, dia pun memberanikan diri untuk mendongak lalu membalas tatapan Raizel. "Pak Bos, mau aku tendang lagi atau menyingkir dari hadapanku?" tanya Gabby, tersenyum licik. Raizel menggertakkan rahangnya lalu berdeham sambil mengubah posisi. Kini dia sudah tak mengimpit Gabby lagi. "Apaan sih, tendang-tendang! Orang gue cuma nanya," gerutu Raizel. "Tugas aku di sini cuma kerja ya, Pak Bos, bukan curhat!" seru Gabby sambil berjalan ke arah meja rias. "Lagian ngapain juga kepo sama orang yang aku suka? Nggak akan ngaruh ke omset Bapak, kan?" lanjut Gabby sambil terduduk di depan cermin. Gadis itu mulai menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Lo suka sama Arnold?" tanya Raizel, menyipitkan matanya. Gabby menelan saliva. Menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik ser
“Jangan mendekat!” pekik Gabby sambil berjalan mundur. Jantungnya kini berdebar kencang. Perasaan takutnya melebihi saat dia bersama Raizel. “Kenapa? Bukankah kamu suka bersenang-senang denganku, Gabby?” tanya Arnold menyeringai. “Aku mohon Kak Arnold! Aku belum pernah berhubungan dengan siapa pun! Aku tidak ingin melakukannya,” pinta Gabby dengan wajah memelas. “Hahaha!” Arnold tertawa pedar. “makanya aku ngincer kamu, karena aku nggak pernah pake barang bekas, Gabby!" “Kak Arnold!” desis Gabby, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu semakin mundur hingga tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas. “Ayolah, Gabby! Kau tak perlu merasa berberat hati. Aku hanya ingin memakaimu sekali.”Setelah mengumpulkan keberanian, Gabby meraih lampu tidur di belakangnya dan dia pukulkan ke kepala Arnold sekencang mungkin saat pria itu sudah berada tepat di hadapannya. “Argh!” Arnold mengeran
“Heyyo, my friend!” seru Raizel pelan sambil menyeringai. Sontak Arnold segera mengangkat tangan setelah melihat sosok Raizel yang siap menembak dirinya. “Wow! Santai, Bro! Kenapa harus bawa pistol?” tanya Arnold sambil terkekeh, merasa tak berdosa. “Harusnya gue yang tanya lo! Kenapa lo seenaknya bawa Gabby ke sini?"“Kenapa? Dia pacar lo? Biasanya juga yang lain boleh!” bantah Arnold masih tak terima. “Nggak usah banyak bacot! Serahin Gabby sekarang juga atau gue tembak kepala lo!” gertak Raizel masih berusaha. “Bro! Gue udah abisin banyak uang buat dia,” rengek Arnold sambil menjambak rambutnya sendiri. “Nanti gue balikin dua kali lipat! Cepet serahin Gabby ke tangan gue! Lo nggak mau gue blokir akses lo ke El Camorra buat selamanya, kan?”Arnold menggertakan rahang hingga akhirnya berjalan menghampiri Gabby yang masih meringkuk di kasur. Raizel menunggu sambil tetap memegang kuat senjatanya. Baru saja Arnold memegang Gabby untuk membantunya bangun, dia pun berubah pikiran d
Gabby terperangah saat pria bertopi itu mendongak hingga wajahnya terlihat jelas. Rupanya dia adalah George yang berhasil memotong jalan setelah mengikuti Raizel dari rumah Arnold hingga menghadangnya di persimpangan. “Ah! Aku tahu dia siapa!” pekik Gabby. Raizel mengangkat sebelah alisnya lalu menoleh kepada Gabby. “Siapa?”“Aku nggak tahu namanya, tapi dia cowok yang tadi masuk ke El Camorra. Dia papasan sama aku di pintu masuk,” jawab Gabby. Seketika Raizel mengingat momen saat dirinya dibuntuti oleh seseorang beberapa hari yang lalu.“Kayaknya lo juga orang yang buntutin gue dan Paman beberapa hari lalu,” ucap Raizel dengan mata terpicing. “Sebenernya lo siapa? Siapa yang ngirim lo?” lanjut Raizel. George tertawa pedar lalu berkata, “Raizel Eliezer! Sayang sekali kau tak bisa mengenalku. Padahal aku mengetahui segala tentangmu dan Richardo.” Tiba-tiba George mengeluarkan pistolnya yang sedari tadi tersembunyi di saku celana.“Sial!” desis Raizel lalu menarik Gabby untuk berl
Dalam sekejap mata, sorot cahaya itu menyorot wajah mereka sehingga kedua sejoli itu memicingkan mata akibat merasa silau. “Ketemu!” seru Pria berjas hitam setelah menyibak semak-semak. Dia menyorot wajah Raizel dan Gabby menggunakan lampu senter. Di sisi lain, Lascrea berhasil menemukan mobil Raizel yang menabrak pohon. Dia pun melangkah pelan, mendekati mobil untuk memastikan keberadaan bosnya di sana. Alih-alih menemukan sosok Raizel, wanita itu malah terkejut saat melihat sosok pria yang tengah menjungking sambil menggeledah dalam mobil. Kepalanya menerobos masuk, sementara bagian bokongnya ada di luar. Lascrea pun mendekat secara perlahan seraya mengeluarkan pistolnya. “Jangan bergerak, atau lo nggak akan bisa buang air lagi selamanya!” ancam Lascrea setengah berbisik. Dia menempelkan ujung pistol ke bokong pria itu. “Sial!” umpatnya dalam hati. Rupanya pria itu adalah George. Pantas dia tak mengejar Raizel dan Gabby ke dalam hutan. ternyata dia tengah sibuk menggeledah mobi
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik