George membuat janji temu dengan Dion di sebuah cafe bar untuk membahas perkembangan investigasinya hingga detik ini. Dia tak merasa luwes jika harus mengobrol di kantor, karena para senior sudah melarang George untuk merngusik Richardo. Sepertinya mereka sudah mengetahui tentang Richardo dan tak ingin berurusan dengannya.George mengangkat tangan kanan untuk mrlihat arlojinya. Kemudian mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Dion yang tak kunjung terlihat. Sudah empat pu;uh lima menit berlalu, Dion tak kunjung datang.Tak biasanya Dion telat. Sepertinya ada sesuatu. Tak lama berselang, sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Rupanya itu Dion, namanya terbaca di pop up notifikasi. George pun membaca pesan tersebut yang bertuliskan, “George, sorry gue gabisa datang, soalnya mendadak suruh temenin nyokap arisan.”George menghela napas gusar seraya menggeleng. Kemudian mengantungi ponselnya kembali dan berniat untuk pergi dari cafe bar. Namun, baru saja dia beranjak d
Rupanya membuat George larut dalam obrolan yang Gabby sajikan bukanlah suatu hal yang sulit. Dia memang pandai bersosialisasi dan membuat lawan bicara merasa nyaman untuk berbincang dengan dirinya. Hal itu terbukti saat Gabby membuat George berbicara lebih banyak di cafe bar tersebut, Mulai dari obrolan film, komik, bahkan hingga kasus pembunuhan yang sedang viral di berita. Mereka berdua hanyut dalam obrolan yang mengasyikan hingga waktu tak terasa sudah menunjukkan lewat tengah malam dan kepala Gabby sedikit pusing akibat tak terbiasa minum. “Kayaknya aku masuk angin, deh!” kilah Gabby sambil memegangi kepalanya. George sempat tertawa mendengar pengakuan Gabby. Di saat orang-orang merasa pusing karena mabuk, bisa-bisanya Anggela mengaku masuk angin. “Kamu bawa kendaraan sendiri?” tanya George. Gabby menggeleng sambil terus memegangi kepalanmya. “Aku naik taksi.” “Emang tinggal di daerah mana?” “Apartemen Orion.” George membulatkan mata karena apartemen itu dekat dengan kantor
Lascrea memberikan briefing kepada para gadis remaja yang bekerja di Isand Paradise, bisnis hiburan baru yang dikelola oleh Lascrea dan Richardo. Mereka berdua membangun Island Paradise di sebuah bangunan yang terlihat tua dari luar itu, tanpa sepengetahuan Raizel. Para gadis yang sudah didandani terlihat sangat mengemaskan dengan seragam pelayan yang hampir serupa dengan milik Gabby. Hanya saja seragam di Island Paradise sedikit di modifikasi agar menjadi lebih seksi dan terbuka. Ada sekitar sepuluh gadis yang bekerja di bawah pengawasan Lascrea. Jumlahnya sama dengan tamu VVIP yang terdaftar sebagai pengunjung di sana. Meskipun tak mengantungi identitas dari para pengunjung, Lascrea membuat kartu keanggotaan dan menulis para tamu menggunakan kode angka bersama gambar topeng dengan masing-masing jenis, sesuai milik mereka. Hal tersebut bertujuan agar Lascrea dapat lebih mudah mengenali para tamu, tanpa harus mengetahui namanya. Island Paradise sangat menjunjung tinggi privasi dari
Eleven terduduk di tepi kasur, tak berucap sepatah kata pun. Hal itu membuat gadis berkepang dua di hadapannya mendadak gelisah. Merasa bingung harus berbuat apa. Eleven yang menyadari keresahan gadis itu segera menegurnya dan menepuk-nepuk alas kasur, “Dari pada berdiri seperti itu, lebih baik kau duduk di sini!” titah Eleven. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak tadi menunggu di sofa . Gadis berkepang itu sedikit ragu tapi tetap melangkah pelan menghampirinya. “Nggak usah takut. Aku ke sini cuma mau ngobrol, nggak ada niat untuk yang lain-lain.” Gadis itu sedikit terperangah mendengar pengakuan Eleven. Bagaimana mungkin ada seseorang yang menjadi anggota Island Paradise hanya untuk mencari teman ngobrol? Para tamu VVIP lain yang pernah menyewanya satu minggu lalu, saat grand opening, memperlakukan gadis itu sebagai budak seks yang tak mengenal belas kasih. Rasanya seperti ada secercah harapan yang datang untuk gadis tersebut setelah bertemu dengan Eleven. Dia pun mencoba un
George mengajak Dion makan siang di sebuah rumah makan dekat kantor saat jam istirahat sudah tiba. Pria berwajah oriental dengan lesung pipi yang sangat manis itu menyeruput segelas teh manis yang masih hangat lalu mengajak Dion berbincang mengenai perkembangan investigasinya. Dia masih sedikit kesal saat Dion membatalkan pertemuannya di cafe bar yang sudah disepakati. “Lo kemaren nggak datang, parah banget!” seru George menunjukkan raut kekecewaan. Kedua tangannya sibuk mengaduk makanan agar semua bumbu tercampur merata dengan nasi. Dion hanya terkekeh seraya mengunyah makanannya. “Ya maaf, George! Nyokap gue kalau nggak ditemenin suka ngambek.” George mencebik saat mendengar alasan temannya itu. Kemudian menyuapkan suapan pertamanya. “Yah, gimana mau punya istri kalau gitu,” ucap george seraya mengunyah. “Bisa-bisa istri lo kabur karena punya mertua yang masih suka ngintilin.” “Sial!” balas Dion, mencebik. “Alah, tapi lo juga sama aja, George! Masih jadi bujang lapuk sampe se
“Loh, kamu?” Gabby mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum semringah saat mendapati George berada di rumah makan yang dia kunjungi. Dion terpaku beberapa detik untuk mencerna situasi yang sedang terjadi. Dia melirik ke arah George, lalu bergantian melirik Gabby yang terlihat sangat manis dengan hoodie oversized-nya. ‘Oh, pantesan mau tanggung jawab. Yang ditabraknya modelan begini’ Dion mengangguk-angguk, seolah paham apa isi hati George saat bertemu dengan wanita itu untuk pertama kali. “Uh. Hai!” George mencoba menyapa walau terlihat jelas bahwa dia sangat gugup. “Kamu kok bisa ada di sini? Kamu nggak ngikutin aku, kan?” tanya Gabby dengan mata terpicing lalu melipat kedua tangan di depan dada. “Hah? Enggak, kok! Kita berdua emang kerja di sekitar sini.” Dion berusaha menjelaskan dan membela George. “Ekhem!” Sementara George rupanya tak setuju dengan ide tersebut. Dia pun berdeham untuk memberi kode. Jangan sampai wanita itu tahu kalau George adalah anggota BIN. Dion meno
“Ngomong-ngomong, udah sampe mana perkembangan kasus lo? “ tanya Dion, bernada pelan, khawatir terdengar yang lain. “Wah, bahaya kalau dibahas di sini. Intinya gue udah nemuin petunjuk baru di salah satu tempat.” “Terus?” “Tapi tempat itu sulit ditembus. Sistemnya beda banget sama El Camorra,” bisik George. “Jadi, sampai saat ini lo belom bisa masuk ke sana?” “Enggak.” George menggeleng sambil menunduk untuk mengaduk makanannya. “Sebaiknya lo hati-hati, ya. Jangan gegabah kayak kemaren,” saran Dion. “Tenang aja, Yon. Lo udah ratusan kali ngingetin gue. Tapi lihat! Sampe saat ini gue masih aman, kan?” Dion berdecak sambil menggeleng. “Gue Cuma khawatir aja kalau lawan lo kali ini bukan orang sembarangan.” “Iya, iya!” Tiba-tiba ponsel George berdenting, menandakan ada sebuah notifikasi dari pesan yang muncul. Pria itu pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu melihat nomor tak dikenal mengirimkan sebuah pesan via aplikasi hijau. [Hai, Ello! Ini aku Angela.] Tak sala
Sarah menata rambutnya di depan cermin. Hari ini dia mendengar kabar bahwa Eleven akan kembali. Entah kenapa ada secercah kebahagiaan yang dia rasakan tatkala Lascrea memberikan pengumuman tersebut. Pasalnya, hanya Eleven satu-satunya pria yang memperlakukan Sarah layaknya manusia, tak bersikap menjijikan seperti pengunjung lain. “Semoga malam ini dia memilihku lagi,” gumam Sarah dengan sorot mata berbinar. Setelah semua gadis sudah siap, Lascrea pun menggiring mereka ke ruang tunggu. Seperti biasa, di sama sudah ada Eleven yang terduduk di sofa sambil bertumpang kaki. Melihat seluruh gadis sudah berkumpul dan dijejerkan, Eleven pun bangkit dari duduknya lalu berkata dengan suara yang terdengar berat. “Saya tidak ingin repot memilih. Saya ingin gadis yang sama seperti kemarin.” ‘Yes!’ Sarah bersorak dalam hati. Akirnya Eleven memilihnya kembali untuk diajak berbincang-bincang di Heaven Room. *** “Akhir-akhir ini kamu ke mana? Perasaan jadi lebih sering ambil cuti?” Pertanyaan R