Sesuai janji, malam itu Gabby mentraktir George segelas bir dan mereka pun berbincang banyak hal. Kini, George mulai tampak cair dan lebih luwes berbicara dengan Gabby. Wanita itu memang pandai bersosialisasi hingga membuat lawan bicaranya merasa sangat nyaman. Meskipun usianya terbilang cukup muda, tapi Gabby memiliki banyak wawasan dan pengetahuan yang berguna untuk mengolah topik pembicaraan dengan pria seperti George. Sejak tinggal di rumah Raizel, gadis itu jadi sering membaca karena ada perpustakaan besar yang dilengkapi oleh berbagai macam buku yang dapat Gabby baca secara gratis. “Aku pikir kamu cuma anak orang kaya yang manja dan nggak asyik,” ucap George sambil terkekeh, memperhatikan Gabby. Gabby hanya tersenyum simpul lalu meneguk birnya. “Don’t judge book by it’s cover!” serunya. George mengangguk-angguk, merasa tersindir dengan ucapan Gabby. Gadis itu sesekali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, untuk mencari kehadiran Raizel. Namun, dia tak kunjung menemuka
“Apa yang dia lakukan?” desis Raizel seolah-olah tak percaya. Gabby memejamkan matanya dan terus bergumam dalam hati. ‘Maafin aku, Rai. Ini semua demi kebahagiaan kita.’ George terpaku untuk beberpa detik. Dia bahkan tak melepas ciuman tersebut hingga Gabby sendiri yang mengakhirinya. Dengan perasaan gusar, pria itu menatap lekat sepasang manik indah milik Gabby. “Kenapa?” tanya George dengan mata terpicing. Gabby menelan saliva yang tampak getir. Pandangannya teralihkan ke arah Raizel yang sedang menatap nanar. Dengan sekali tarikan napas, dengan mantap Gabby berucap, “Aku suka kamu sejak pandangan pertama.” Kedua tangan Gabby menggenggam sebelah tangan George. Mimpi apa pria itu semalam? Selama bertahun-tahun melajang, tiba-tiba ditembak oleh seorang gadis cantik di sebuah cafe bar. Raizel sudah tak sanggup lagi menyaksikan pemandangan yang begitu menguras hati. Dia pun langsung pergi begitu saja , keluar dari cafe & bar untuk menuju mobilnya. “Sst! Bos?” Lascrea yang tengah
Gabby membaringkan George secara perlahan di kasurnya. Dia bahkan melepas sepasang sepatu pria itu agar dia tak merasa pegal saat terbangun esok hari. “Untuk malam ini aku izinin kamu tidur di kasurku. Biar aku yang tidur di sofa,” ucap Gabby sambil tersenyum simpul memperhatikan wajah tampan George yang sedang terlelap. Baru saja Gabby bangkit untuk melangkah menuju sofa, tiba-tiba pergelangan tangannya di tahan oleh George. “Jangan pergi!” Hal itu membuat Gabby sedikit teringat kenangannya bersama Raizel saat mereka berhubungan untuk pertama kali. Dalam hitungan detik, George mearik tangan Gabby hingga gadis itu ambruk di pelukannya. “Makasih, Anggela!” Gabby mengerutkan kening dan bertanya dalam hati. ‘Loh, dia masih sadar?’ “Kehadiran kamu bikin aku semangat buat jalanin hidup yang sangat berat ini, Ngell. Makasih, ya!” George berkata dengan suara parau seperti orang mengigau. Bahkan bau alkohol yang menguar dari mulutnya sangat menusuk hidung hingga Gabby harus mengibas-n
“Angella?” George memanggil sekali lagi sehingga membuat Gabby terpaksa beranjak dari balkon untuk masuk ke ruang makan. Dia menatap sendu ke arah Raizel, seperti memberi kode agar Raizel mengerti dan tak bersikap overthingking. Namun, saat itu ekspresi Raizel hanya datar dan dia tak berbicara sepatah kata pun kepada Gabby. Pria itu lebih memilih kembali ke kamar agar tak terlalu lama bertatapan dengan Gabby. Gabby pun menghela napas gusar lalu melangkah menghampiri George. “Kenapa nggak makan duluan aja, Ell?” tanya Gabby, mencoba tersenyum dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. “Ya nggak enak lah. Harus makan bareng sama yang punya hajat.” Gabby tertawa mendengar jawaban George. “Prasmanan kali, ah!” tambahnya di tengah tawa. George pun terkekeh seraya mengambil sepotong sandwich lalu menggigitnya. “Emmm!” Wajahnya terlihat sangat senang. Sepertinya masakan Gabby patut diacungi jempol. “Gimana?” tanya wanita itu dengan kedua alis yang naik-turun. “Enak! Kok, kamu bisa ma
Untung saja semalam Gabby meminta bantuan kepada ajudannya untuk mengendarai mobil George, karena pemuda itu terlalu mabuk. Alhasil sekarang George bisa pulang sendiri tanpa harus mengendarai taksi. Usai George beranjak dari apartemen tersebut, Gabby pun segera berhambur dari dalam kamar untuk menghampiri kamar Raizel. ‘Aku harus menjelaskan semuanya!’ Gabby menekan bell pada pintu apartemen Raizel, bahkan mengetuk pintu juga. Sebenarnya Raizel dapat melihat dari monitor bahwa seseorang yang ada di depan kamarnya adalah Gabby. Namun, dia memilih untuk diam sejenak dan sengaja membuat Gabby gelisah karena pintunya tak kunjung terbuka. ‘Ayo, Rai, buka!’ Raizel bergeming di depan monitor. Kedua tangannya terlipat di depan dada seraya memperhatikan raut Gabby yang tampak panik. Setelah menunggu sekitar dua menit, akhirnya Raizel bersedia membukakan pintu. Terlihat jelas wajah tampan Raizel yang menatapnya dingin saat pintu kamar itu terbuka. Tanpa aba-aba, Gabby segera memeluknya deng
Pagi itu menjadi pagi yang indah untuk Gabby karena sudah sekian lama dia tak merasakan kehangatan sentuhan Raizel yang selalu membuatnya terasa melambung tinggi ke angkasa. Begitu pun dengan pria kekar itu. Kecemasan dan rasa cemburu yang semula memeram hatinya, kini sudah tak berarti lagi saat Gadis yang dia cintai kini tengah berada dalam dekapannya. “Gabby ...,” bisik Raizel di telinganya. Dia bahkan menggigit lembut telinga gadis itu setelah berbisik mesra. “Mmh, yes, Honey?” “I love you.” Untuk pertama kali dalam seumur hidup Raizel mengucapkan kata sakral tersebut. Kali ini dia sudah tak bisa membendung perasaannya yang makin meluap. Dia sadar bahwa Gabby bukan hanya sekadar budak dan partner bercinta baginya. Namun, dia sudah berani singgah di hati dan kehidupannya hingga menetap di sana. Gadis itu tersenyum manis. Dia memandang sepasang mata Raizel lekat-lekat. “I love you to Raizel. 500000.” Raizel terkekeh hingga kembali melumat bibir Gabby. Pada akhirnya dua sejoli i
Raizel mengajak Gabby ke rumahnya untuk satu hari saja. Dia ingin melepas rindu sebelum merelakan gadis itu melanjutkan misinya kembali. Raizel tak bisa berlama-lama di apartemen karena saat ini dia yakin bahwa Lascrea sedang murka karena Raizel meninggalkan pekerjaannya begitu saja tanpa mengangkat teleponnya. “Hari ini kamu nginep di rumah aku, ya! Itung-itung liburan.” Gabby hanya mengangguk. Dia tak mungkin menolak permintaan bosnya sekaligus kekasihnya saat ini. Raizel memerintahkan Gabby turun terlebih dahulu dan memasuki mobil Raizel. Sementara pria itu menyusul agar tak ada yang melihat mereka secara bersamaan. Kemudian mereka pun segera meluncur setelah satu jam sebelumnya Raizel menghubungi salah satu ajudan untuk datang sebagai supir. Seperti biasa, Raizel dan Gabby duduk di kursi belakang agar bisa bermesraan dengan leluasa. Mereka bahkan sudah tak merasa canggung berciuman di dalam mobil meskipun ada ajudan yang menyetir di depan. Rasanya dunia benar-benar milik berdua,
Gabby tertidur lelap di lengan Raizel setelah keduanya lelah usai bercumbu semalam. Dering ponsel Gabby yang terdengar di atas nakas, membangunkan gadis itu hingga terpaksa mengecek siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini. Dengan mata terpicing akibat kantuk yang belum hilang, Gabby pun meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar. “Ello, siapa, sih?” gumamnya dengan suara parau. Dia lupa bahwa George memperkenalkan diri sebagai Ello. Meski dirundung kekesalan, Gabby mengangkat panggilan tersebut dengan nada ketus. “Halo, siapa, sih?” George mengerutkan kening, mendengar Gabby berbicara seperti itu. “Anggella, are you okay?” “Angella?” tanya Gabby kembali. “Loh, ini Angella, kan?” Gabby terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawanya dan menselaraskan pikirannya. Sampai akhirnya dia baru menyadari bahwa dirinya memang sedang menjadi Angella dan seseorang yang sedang menelepon itu adalah George. Sontak Gabby membuka matanya lebar-lebar lalu berkata, “Iya aku Ange
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik