Rupanya membuat George larut dalam obrolan yang Gabby sajikan bukanlah suatu hal yang sulit. Dia memang pandai bersosialisasi dan membuat lawan bicara merasa nyaman untuk berbincang dengan dirinya. Hal itu terbukti saat Gabby membuat George berbicara lebih banyak di cafe bar tersebut, Mulai dari obrolan film, komik, bahkan hingga kasus pembunuhan yang sedang viral di berita. Mereka berdua hanyut dalam obrolan yang mengasyikan hingga waktu tak terasa sudah menunjukkan lewat tengah malam dan kepala Gabby sedikit pusing akibat tak terbiasa minum. “Kayaknya aku masuk angin, deh!” kilah Gabby sambil memegangi kepalanya. George sempat tertawa mendengar pengakuan Gabby. Di saat orang-orang merasa pusing karena mabuk, bisa-bisanya Anggela mengaku masuk angin. “Kamu bawa kendaraan sendiri?” tanya George. Gabby menggeleng sambil terus memegangi kepalanmya. “Aku naik taksi.” “Emang tinggal di daerah mana?” “Apartemen Orion.” George membulatkan mata karena apartemen itu dekat dengan kantor
Lascrea memberikan briefing kepada para gadis remaja yang bekerja di Isand Paradise, bisnis hiburan baru yang dikelola oleh Lascrea dan Richardo. Mereka berdua membangun Island Paradise di sebuah bangunan yang terlihat tua dari luar itu, tanpa sepengetahuan Raizel. Para gadis yang sudah didandani terlihat sangat mengemaskan dengan seragam pelayan yang hampir serupa dengan milik Gabby. Hanya saja seragam di Island Paradise sedikit di modifikasi agar menjadi lebih seksi dan terbuka. Ada sekitar sepuluh gadis yang bekerja di bawah pengawasan Lascrea. Jumlahnya sama dengan tamu VVIP yang terdaftar sebagai pengunjung di sana. Meskipun tak mengantungi identitas dari para pengunjung, Lascrea membuat kartu keanggotaan dan menulis para tamu menggunakan kode angka bersama gambar topeng dengan masing-masing jenis, sesuai milik mereka. Hal tersebut bertujuan agar Lascrea dapat lebih mudah mengenali para tamu, tanpa harus mengetahui namanya. Island Paradise sangat menjunjung tinggi privasi dari
Eleven terduduk di tepi kasur, tak berucap sepatah kata pun. Hal itu membuat gadis berkepang dua di hadapannya mendadak gelisah. Merasa bingung harus berbuat apa. Eleven yang menyadari keresahan gadis itu segera menegurnya dan menepuk-nepuk alas kasur, “Dari pada berdiri seperti itu, lebih baik kau duduk di sini!” titah Eleven. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak tadi menunggu di sofa . Gadis berkepang itu sedikit ragu tapi tetap melangkah pelan menghampirinya. “Nggak usah takut. Aku ke sini cuma mau ngobrol, nggak ada niat untuk yang lain-lain.” Gadis itu sedikit terperangah mendengar pengakuan Eleven. Bagaimana mungkin ada seseorang yang menjadi anggota Island Paradise hanya untuk mencari teman ngobrol? Para tamu VVIP lain yang pernah menyewanya satu minggu lalu, saat grand opening, memperlakukan gadis itu sebagai budak seks yang tak mengenal belas kasih. Rasanya seperti ada secercah harapan yang datang untuk gadis tersebut setelah bertemu dengan Eleven. Dia pun mencoba un
George mengajak Dion makan siang di sebuah rumah makan dekat kantor saat jam istirahat sudah tiba. Pria berwajah oriental dengan lesung pipi yang sangat manis itu menyeruput segelas teh manis yang masih hangat lalu mengajak Dion berbincang mengenai perkembangan investigasinya. Dia masih sedikit kesal saat Dion membatalkan pertemuannya di cafe bar yang sudah disepakati. “Lo kemaren nggak datang, parah banget!” seru George menunjukkan raut kekecewaan. Kedua tangannya sibuk mengaduk makanan agar semua bumbu tercampur merata dengan nasi. Dion hanya terkekeh seraya mengunyah makanannya. “Ya maaf, George! Nyokap gue kalau nggak ditemenin suka ngambek.” George mencebik saat mendengar alasan temannya itu. Kemudian menyuapkan suapan pertamanya. “Yah, gimana mau punya istri kalau gitu,” ucap george seraya mengunyah. “Bisa-bisa istri lo kabur karena punya mertua yang masih suka ngintilin.” “Sial!” balas Dion, mencebik. “Alah, tapi lo juga sama aja, George! Masih jadi bujang lapuk sampe se
“Loh, kamu?” Gabby mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum semringah saat mendapati George berada di rumah makan yang dia kunjungi. Dion terpaku beberapa detik untuk mencerna situasi yang sedang terjadi. Dia melirik ke arah George, lalu bergantian melirik Gabby yang terlihat sangat manis dengan hoodie oversized-nya. ‘Oh, pantesan mau tanggung jawab. Yang ditabraknya modelan begini’ Dion mengangguk-angguk, seolah paham apa isi hati George saat bertemu dengan wanita itu untuk pertama kali. “Uh. Hai!” George mencoba menyapa walau terlihat jelas bahwa dia sangat gugup. “Kamu kok bisa ada di sini? Kamu nggak ngikutin aku, kan?” tanya Gabby dengan mata terpicing lalu melipat kedua tangan di depan dada. “Hah? Enggak, kok! Kita berdua emang kerja di sekitar sini.” Dion berusaha menjelaskan dan membela George. “Ekhem!” Sementara George rupanya tak setuju dengan ide tersebut. Dia pun berdeham untuk memberi kode. Jangan sampai wanita itu tahu kalau George adalah anggota BIN. Dion meno
“Ngomong-ngomong, udah sampe mana perkembangan kasus lo? “ tanya Dion, bernada pelan, khawatir terdengar yang lain. “Wah, bahaya kalau dibahas di sini. Intinya gue udah nemuin petunjuk baru di salah satu tempat.” “Terus?” “Tapi tempat itu sulit ditembus. Sistemnya beda banget sama El Camorra,” bisik George. “Jadi, sampai saat ini lo belom bisa masuk ke sana?” “Enggak.” George menggeleng sambil menunduk untuk mengaduk makanannya. “Sebaiknya lo hati-hati, ya. Jangan gegabah kayak kemaren,” saran Dion. “Tenang aja, Yon. Lo udah ratusan kali ngingetin gue. Tapi lihat! Sampe saat ini gue masih aman, kan?” Dion berdecak sambil menggeleng. “Gue Cuma khawatir aja kalau lawan lo kali ini bukan orang sembarangan.” “Iya, iya!” Tiba-tiba ponsel George berdenting, menandakan ada sebuah notifikasi dari pesan yang muncul. Pria itu pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu melihat nomor tak dikenal mengirimkan sebuah pesan via aplikasi hijau. [Hai, Ello! Ini aku Angela.] Tak sala
Sarah menata rambutnya di depan cermin. Hari ini dia mendengar kabar bahwa Eleven akan kembali. Entah kenapa ada secercah kebahagiaan yang dia rasakan tatkala Lascrea memberikan pengumuman tersebut. Pasalnya, hanya Eleven satu-satunya pria yang memperlakukan Sarah layaknya manusia, tak bersikap menjijikan seperti pengunjung lain. “Semoga malam ini dia memilihku lagi,” gumam Sarah dengan sorot mata berbinar. Setelah semua gadis sudah siap, Lascrea pun menggiring mereka ke ruang tunggu. Seperti biasa, di sama sudah ada Eleven yang terduduk di sofa sambil bertumpang kaki. Melihat seluruh gadis sudah berkumpul dan dijejerkan, Eleven pun bangkit dari duduknya lalu berkata dengan suara yang terdengar berat. “Saya tidak ingin repot memilih. Saya ingin gadis yang sama seperti kemarin.” ‘Yes!’ Sarah bersorak dalam hati. Akirnya Eleven memilihnya kembali untuk diajak berbincang-bincang di Heaven Room. *** “Akhir-akhir ini kamu ke mana? Perasaan jadi lebih sering ambil cuti?” Pertanyaan R
Sesuai janji, malam itu Gabby mentraktir George segelas bir dan mereka pun berbincang banyak hal. Kini, George mulai tampak cair dan lebih luwes berbicara dengan Gabby. Wanita itu memang pandai bersosialisasi hingga membuat lawan bicaranya merasa sangat nyaman. Meskipun usianya terbilang cukup muda, tapi Gabby memiliki banyak wawasan dan pengetahuan yang berguna untuk mengolah topik pembicaraan dengan pria seperti George. Sejak tinggal di rumah Raizel, gadis itu jadi sering membaca karena ada perpustakaan besar yang dilengkapi oleh berbagai macam buku yang dapat Gabby baca secara gratis. “Aku pikir kamu cuma anak orang kaya yang manja dan nggak asyik,” ucap George sambil terkekeh, memperhatikan Gabby. Gabby hanya tersenyum simpul lalu meneguk birnya. “Don’t judge book by it’s cover!” serunya. George mengangguk-angguk, merasa tersindir dengan ucapan Gabby. Gadis itu sesekali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, untuk mencari kehadiran Raizel. Namun, dia tak kunjung menemuka
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik