George sudah tak bisa memasuki El Camorra lagi karena dia khawatir wajahnya sudah dikenali oleh beberapa staff Raizel. Meskipun George sangat jenius dengan IQ-nya yang 148. Namun pria itu bukan tipe orang yang sombong dan percaya diri jika Raizel bersama Richardo tak akan berhasil menangkapnya. George berpikir, pasti di sana Raizel juga mempersiapkan rencana yang matang untuk menyerang balik. Sampai akhirnya George memutuskan untuk mengamati pergerakan Richardo saja seperti semula. Setiap akhir pekan, George selalu membuntuti Richrardo tanpa disadari oleh pria paruh baya tersebut. Dia bahkan menyewa mobil, khawatir jika Richardo mengenalinya. Dia mengikuti ke mana mobil SUV berwarna putih itu meluncur hingga akhhirnya berhenti di depan bangunan tua yang tampak besar. Dari luar, ruangan itu tampak usang dan tak terawat. Namun, pada kenyataannya, penampakan di bagian dalam sangat berbanding terbalik dengan penampakan di bagian luar. George menghentikan mobilnya, beberapa meter di bela
Gabby melangkah mundur secara perlahan setelah membuka pintu dan melihat Raizel berdiri di depan kamarnya dengan tatapan menggoda. “Aku boleh masuk, kan?” tanya pria itu dengan senyum yang tersungging. Dia bahkan tak menunggu persetujuan Gabby dan melenggang begitu saja ke dalam kamarnya. “Rai! Gimana kalau ada yang lihat?” desis Gabby sambil celingukan lalu menutup pintunya. “Ahh!” Raizel mendesah nikmat saat mengempaskan tubuhnya ke atas kasur beralaskan seprai merah muda itu. Dia menghiraukan ucapan Gabby karena terlalu nyaman berbaring di sana. “Rai! Kamu nggak denger aku, ya?” Rengek Gabby. Dia menggembungkan pipi sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Kenapa sih, Sayang? Orang aku cuma mau tidur di sini, nggak boleh?” Ahh, untuk pertama kalinya Raizel mengucap panggilan sayang terhadap Gabby. Tentu saja hal tersebut berhasilkan menimbulkan rona merah jambu di kedua pipi Gabby. “Ihh, sempit nanti! Kan, kamarmu lebih besar. Kenapa harus di sini, coba?” Gabby berlaga
“Kamu lagi belajar banyak gaya buat nyenengin aku, ya?” goda Raizel hingga membuat wajah Gabby memerah bak kepiting rebus. “Ih, apaan sih. Udah sini, balikin!” gerutu Gabby. Bisa-bisanya Raizel menemuka buku yang sudah sengaja Gabby sembunyikan di balik bantal saat Raizel berkata di telepon ingin memasuki kamarnya. “Hehe, kenapa malu? Aku justru bangga kalau kamu mau belajar banyak hal, jadinya wawasanmu luas kalau banyak baca. Tapi, sayangnya malam ini aku bukan mau itu.” Gabby masih mengerutkan wajahnya, pertanda kesal. “Apa, sih. Lagian siapa juga yang berharap itu.” “Ah, masa, sih?” Raizel pun menggelitik pinggang Gabby hingga gadis itu menggelinjang karena merasa geli. “Ahh, geli, Rai! Stop!” “Hehe, yaudah, maaf. Sini peluk aja!” Raizel merapatkan tubuhnya untuk memeluk Gabby. “Jangan godain terus, nanti aku usir kamu!” ancam Gabby. “Galak amat!” protes Raizel, mencubit hidung Gabby dengan gemas. “Hmmm, emang kamu kenapa malem-malem ke sini?”tanya Gabby setelah menepi
Setelah menagis di pusara kedua orang tuanya, Raizel pun mengantar Gabby ke makam orang tuanya. Tak jauh berbeda dengan Raizel, Gabby juga menumpahkan semua air matanya di hadapan pusara Riko dan Laura. Dia bercerita tentang kehidupannya saat ini bersama Raizel. “Awalnya aku kesal sama Mama dan Papa. Kenapa kalian begitu tega meninggalkanku seorang diri hingga aku ditangkap oleh dua preman yang sangat menyeramkan. Aku tahu harus menjalankan hidup seperti apa jika menjadi tawanan dari seorang mafia yang kau hutangi,” jelas Gabby sambil menabur beberapa bunga. Raizel yang menemani gadis itu dan memperhatikannya dari belakang hanya bisa tersenyum simpul. Dia jadi teringat ketika pertama kali menangkap Gabby hingga berniat memperkerjakan gadis itu di El Camorra. Namun, hingga detik ini Raizel belum mengetahui alasannya sendiri kenapa sejak awal dia sangat perduli kepada Gabby, hingga menyuruhnya berhenti di El Camorra dan bekerja di rumah saja. “Setelah aku menjalankan kehidupan baruku
Raizel tergelak saat melihat Lascrea tengah melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu memandang Raizel dan Gabby dengan tatapan berapi-api, seperti harimau yang siap menerkam. “Aduh, kena lagi, deh!” desis Raizel, membuat Gabby menaikkan glabelanya sambil bergantian menatap dia dan Lascrea. Mereka pun melangkah ke arah Lascrea. Setelah mendekat, wanita itu menarik tangan Raizel dan mengajaknya masuk ke ruang kerja, meninggalkan Gabby yang masih terpaku di belakang mereka. Untuk kedua kalinya Gabby merasakan api cemburu.‘Dia nggak akan cium Raizel lagi, kam?’Setibanya Lascrea dan Raizel di ruang kerja, Lascrea pun membuntang sambil bertolak pinggang. “Kamu tuh, kebiasaan, ya! Kalau mau pergi-pergi tuh, ngomong! Gimana kalau ada klien yang tiba-tiba ngajak meeting?” bentak Lascrea yang sudah tak kuasa lagi menahan emosinya.Kini tak ada lagi sapaan formal yang biasa dia layangkan kepada bosnya, Namun, Raizel memaklumi itu. Dia tak pernah protes saat Lascrea bersikap demik
Saat itu, Raizel masih berumur dua puluh lima tahun dan sedang berkuliah di salah satu Universitas terbaik dalam kota. Pemuda itu baru saja selesai makan di salah satu restaurant junkfood di pusat kota. Dia hanya sendiri karena saat itu El Camarro dan Black Wolf belum sebesar sekarang. Raizel masih berfokus untuk memperluas jaringan dalam bisnisnya dalam jual-beli narkoba. Baru saja Raizel mengeluarkan dompet untuk menyiapkan uang parkir, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang merampas dompet kulitnya. “Eh, copet!” refleks dia berteriak lalu mengejar gadis itu. Ada sekitar lima orang yang membantu Raizel untuk menghadangnya. Namun hal yang sangat mustahil terjadi di depan mata pemuda itu. Kelima orang yang berusaha menangkap gadis kecil itu tumbang karena kesakitan akibat ditusuk oleh garpu. Rupanya gadis itu menyembunyikan senjata di balik celananya. Raizel semakin tertantang menyaksikan kejadian yang luar biasa di hadapannya. Seorang gadis kecil memiliki keberanian luar biasa u
Raizel membuka gorden dengan sengaja agar cahaya mentari yang menyusup melalui jendela kamar itu, dapat menyilaukan Lascrea yang tengah tertidur pulas. Gadis bertubuh mungil itu seketika mengernyit saat secercah sinar menyorot wajahnya yang tampak pucat. Dia mengulat untuk meregangkan otot-otot di tengah rasa kantuk yang masih tersisa. "Ayo bangun! Dua puluh menit lagi gue akan ajak lo jalan-jalan!"Lascrea mendengar apa yang Raizel ucapkan, tapi dia tak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menguap seraya menggosok-gosokan sebelah matanya. Kemudian bangkit untuk melangkah ke kamar mandi. Lima belas menit telah berlalu. Raizel menunggu Lascrea seraya membaca buku di sofa ruang tamu. Sampai akhirnya gadis bertubuh mungil itu selesai mandi dan menghampiri Raizel dengan memakai hoodie cokelat andalannya. Raizel menyunggingkan senyum lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar menuju garasi. Sementara Lascrea hanya mengikutinya dari belakang seraya memperhatikan punggung lebar Raizel y
Raizel tak ingin menyia-nyiakan bakat Lascrea yang merupakan petarung jalanan tangguh di umurnya yang masih sangat muda. Setelah dia mengenalkan Lascrea kepada Richardo. Mereka pun mencarikan guru yang tepat untuk melatih beberapa martial arts untuk Lascrea, salah satunya adalah Taekwondo. Bahkan Raizel tak pernah absen mengajak gadis itu gym agar tubuhnya terlatih dan semakin kuat. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun silih berganti. Gadis mungil yang semula tingginya tak sampai bahu Raizel, kini dia tumbuh dan berkembang pesat hingga sepantaran dengan Raizel. "Wah, sekarang aku nggak bisa panggil kamu bocah lagi, Rea! Tinggi kita sama, " cetus Raizel, memperhatikan Lascrea dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya saat ini pun sudah berbeda 180 derajat dengan saat pertama kali dia bertemu dengan Raizel. Kini Lascrea telah tumbuh menjadi gadis cantik yang elegan dan seksi. Kepiawaiannya dalam berkelahi dan kepintarannya dalam beradaptasi hingga mempelajari
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik