Gabby melangkah mundur secara perlahan setelah membuka pintu dan melihat Raizel berdiri di depan kamarnya dengan tatapan menggoda. “Aku boleh masuk, kan?” tanya pria itu dengan senyum yang tersungging. Dia bahkan tak menunggu persetujuan Gabby dan melenggang begitu saja ke dalam kamarnya. “Rai! Gimana kalau ada yang lihat?” desis Gabby sambil celingukan lalu menutup pintunya. “Ahh!” Raizel mendesah nikmat saat mengempaskan tubuhnya ke atas kasur beralaskan seprai merah muda itu. Dia menghiraukan ucapan Gabby karena terlalu nyaman berbaring di sana. “Rai! Kamu nggak denger aku, ya?” Rengek Gabby. Dia menggembungkan pipi sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Kenapa sih, Sayang? Orang aku cuma mau tidur di sini, nggak boleh?” Ahh, untuk pertama kalinya Raizel mengucap panggilan sayang terhadap Gabby. Tentu saja hal tersebut berhasilkan menimbulkan rona merah jambu di kedua pipi Gabby. “Ihh, sempit nanti! Kan, kamarmu lebih besar. Kenapa harus di sini, coba?” Gabby berlaga
“Kamu lagi belajar banyak gaya buat nyenengin aku, ya?” goda Raizel hingga membuat wajah Gabby memerah bak kepiting rebus. “Ih, apaan sih. Udah sini, balikin!” gerutu Gabby. Bisa-bisanya Raizel menemuka buku yang sudah sengaja Gabby sembunyikan di balik bantal saat Raizel berkata di telepon ingin memasuki kamarnya. “Hehe, kenapa malu? Aku justru bangga kalau kamu mau belajar banyak hal, jadinya wawasanmu luas kalau banyak baca. Tapi, sayangnya malam ini aku bukan mau itu.” Gabby masih mengerutkan wajahnya, pertanda kesal. “Apa, sih. Lagian siapa juga yang berharap itu.” “Ah, masa, sih?” Raizel pun menggelitik pinggang Gabby hingga gadis itu menggelinjang karena merasa geli. “Ahh, geli, Rai! Stop!” “Hehe, yaudah, maaf. Sini peluk aja!” Raizel merapatkan tubuhnya untuk memeluk Gabby. “Jangan godain terus, nanti aku usir kamu!” ancam Gabby. “Galak amat!” protes Raizel, mencubit hidung Gabby dengan gemas. “Hmmm, emang kamu kenapa malem-malem ke sini?”tanya Gabby setelah menepi
Setelah menagis di pusara kedua orang tuanya, Raizel pun mengantar Gabby ke makam orang tuanya. Tak jauh berbeda dengan Raizel, Gabby juga menumpahkan semua air matanya di hadapan pusara Riko dan Laura. Dia bercerita tentang kehidupannya saat ini bersama Raizel. “Awalnya aku kesal sama Mama dan Papa. Kenapa kalian begitu tega meninggalkanku seorang diri hingga aku ditangkap oleh dua preman yang sangat menyeramkan. Aku tahu harus menjalankan hidup seperti apa jika menjadi tawanan dari seorang mafia yang kau hutangi,” jelas Gabby sambil menabur beberapa bunga. Raizel yang menemani gadis itu dan memperhatikannya dari belakang hanya bisa tersenyum simpul. Dia jadi teringat ketika pertama kali menangkap Gabby hingga berniat memperkerjakan gadis itu di El Camorra. Namun, hingga detik ini Raizel belum mengetahui alasannya sendiri kenapa sejak awal dia sangat perduli kepada Gabby, hingga menyuruhnya berhenti di El Camorra dan bekerja di rumah saja. “Setelah aku menjalankan kehidupan baruku
Raizel tergelak saat melihat Lascrea tengah melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu memandang Raizel dan Gabby dengan tatapan berapi-api, seperti harimau yang siap menerkam. “Aduh, kena lagi, deh!” desis Raizel, membuat Gabby menaikkan glabelanya sambil bergantian menatap dia dan Lascrea. Mereka pun melangkah ke arah Lascrea. Setelah mendekat, wanita itu menarik tangan Raizel dan mengajaknya masuk ke ruang kerja, meninggalkan Gabby yang masih terpaku di belakang mereka. Untuk kedua kalinya Gabby merasakan api cemburu.‘Dia nggak akan cium Raizel lagi, kam?’Setibanya Lascrea dan Raizel di ruang kerja, Lascrea pun membuntang sambil bertolak pinggang. “Kamu tuh, kebiasaan, ya! Kalau mau pergi-pergi tuh, ngomong! Gimana kalau ada klien yang tiba-tiba ngajak meeting?” bentak Lascrea yang sudah tak kuasa lagi menahan emosinya.Kini tak ada lagi sapaan formal yang biasa dia layangkan kepada bosnya, Namun, Raizel memaklumi itu. Dia tak pernah protes saat Lascrea bersikap demik
Saat itu, Raizel masih berumur dua puluh lima tahun dan sedang berkuliah di salah satu Universitas terbaik dalam kota. Pemuda itu baru saja selesai makan di salah satu restaurant junkfood di pusat kota. Dia hanya sendiri karena saat itu El Camarro dan Black Wolf belum sebesar sekarang. Raizel masih berfokus untuk memperluas jaringan dalam bisnisnya dalam jual-beli narkoba. Baru saja Raizel mengeluarkan dompet untuk menyiapkan uang parkir, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang merampas dompet kulitnya. “Eh, copet!” refleks dia berteriak lalu mengejar gadis itu. Ada sekitar lima orang yang membantu Raizel untuk menghadangnya. Namun hal yang sangat mustahil terjadi di depan mata pemuda itu. Kelima orang yang berusaha menangkap gadis kecil itu tumbang karena kesakitan akibat ditusuk oleh garpu. Rupanya gadis itu menyembunyikan senjata di balik celananya. Raizel semakin tertantang menyaksikan kejadian yang luar biasa di hadapannya. Seorang gadis kecil memiliki keberanian luar biasa u
Raizel membuka gorden dengan sengaja agar cahaya mentari yang menyusup melalui jendela kamar itu, dapat menyilaukan Lascrea yang tengah tertidur pulas. Gadis bertubuh mungil itu seketika mengernyit saat secercah sinar menyorot wajahnya yang tampak pucat. Dia mengulat untuk meregangkan otot-otot di tengah rasa kantuk yang masih tersisa. "Ayo bangun! Dua puluh menit lagi gue akan ajak lo jalan-jalan!"Lascrea mendengar apa yang Raizel ucapkan, tapi dia tak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menguap seraya menggosok-gosokan sebelah matanya. Kemudian bangkit untuk melangkah ke kamar mandi. Lima belas menit telah berlalu. Raizel menunggu Lascrea seraya membaca buku di sofa ruang tamu. Sampai akhirnya gadis bertubuh mungil itu selesai mandi dan menghampiri Raizel dengan memakai hoodie cokelat andalannya. Raizel menyunggingkan senyum lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar menuju garasi. Sementara Lascrea hanya mengikutinya dari belakang seraya memperhatikan punggung lebar Raizel y
Raizel tak ingin menyia-nyiakan bakat Lascrea yang merupakan petarung jalanan tangguh di umurnya yang masih sangat muda. Setelah dia mengenalkan Lascrea kepada Richardo. Mereka pun mencarikan guru yang tepat untuk melatih beberapa martial arts untuk Lascrea, salah satunya adalah Taekwondo. Bahkan Raizel tak pernah absen mengajak gadis itu gym agar tubuhnya terlatih dan semakin kuat. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun silih berganti. Gadis mungil yang semula tingginya tak sampai bahu Raizel, kini dia tumbuh dan berkembang pesat hingga sepantaran dengan Raizel. "Wah, sekarang aku nggak bisa panggil kamu bocah lagi, Rea! Tinggi kita sama, " cetus Raizel, memperhatikan Lascrea dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya saat ini pun sudah berbeda 180 derajat dengan saat pertama kali dia bertemu dengan Raizel. Kini Lascrea telah tumbuh menjadi gadis cantik yang elegan dan seksi. Kepiawaiannya dalam berkelahi dan kepintarannya dalam beradaptasi hingga mempelajari
Raizel sudah terbiasa melihat Lascrea marah seperti ini dan entah sudah berapa kali pria itu mengejarnya untuk sekadar menenangkan dan membujuknya agar berdamai. Namun, ini kali pertama dia melihat Gabby, wanita yang mulai dicintai terasa kecewa hingga berlari mengacuhkannya. Raizel tak ingin melihat Gabby keliru lagi seperti waktu itu. Alhasil, Raizel lebih memilih untuk mengejar Gabby ke kamarnya. Gadis itu tak menangis, hanya terduduk dengan raut kekesalan yang tak dapat disembunyikan lagi. Dadanya naik-turun menahan amarah yang menyeruak dalam sanubari. ‘Katanya nggak ada perasaan apa-apa! Terus, kenapa tadi meluk-meluk?’ batin Gabby meracau tak karuan hingga dia tak menyadari kehadiran Raizel di kamarnya. Gadis itu memang sengaja tak mengunci pintu. Meskipun kesal, tetap saja dalam hati kecilnya dia berharap untuk dikejar. Dia ingin Raizel menjelaskan apa yang terjadi beserta alasan kenapa dia bertindak seperti itu. “Gabby ... aku bisa jelasin kalau tadi itu ....” “Yaudah bu