Raizel tergelak saat melihat Lascrea tengah melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu memandang Raizel dan Gabby dengan tatapan berapi-api, seperti harimau yang siap menerkam. “Aduh, kena lagi, deh!” desis Raizel, membuat Gabby menaikkan glabelanya sambil bergantian menatap dia dan Lascrea. Mereka pun melangkah ke arah Lascrea. Setelah mendekat, wanita itu menarik tangan Raizel dan mengajaknya masuk ke ruang kerja, meninggalkan Gabby yang masih terpaku di belakang mereka. Untuk kedua kalinya Gabby merasakan api cemburu.‘Dia nggak akan cium Raizel lagi, kam?’Setibanya Lascrea dan Raizel di ruang kerja, Lascrea pun membuntang sambil bertolak pinggang. “Kamu tuh, kebiasaan, ya! Kalau mau pergi-pergi tuh, ngomong! Gimana kalau ada klien yang tiba-tiba ngajak meeting?” bentak Lascrea yang sudah tak kuasa lagi menahan emosinya.Kini tak ada lagi sapaan formal yang biasa dia layangkan kepada bosnya, Namun, Raizel memaklumi itu. Dia tak pernah protes saat Lascrea bersikap demik
Saat itu, Raizel masih berumur dua puluh lima tahun dan sedang berkuliah di salah satu Universitas terbaik dalam kota. Pemuda itu baru saja selesai makan di salah satu restaurant junkfood di pusat kota. Dia hanya sendiri karena saat itu El Camarro dan Black Wolf belum sebesar sekarang. Raizel masih berfokus untuk memperluas jaringan dalam bisnisnya dalam jual-beli narkoba. Baru saja Raizel mengeluarkan dompet untuk menyiapkan uang parkir, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang merampas dompet kulitnya. “Eh, copet!” refleks dia berteriak lalu mengejar gadis itu. Ada sekitar lima orang yang membantu Raizel untuk menghadangnya. Namun hal yang sangat mustahil terjadi di depan mata pemuda itu. Kelima orang yang berusaha menangkap gadis kecil itu tumbang karena kesakitan akibat ditusuk oleh garpu. Rupanya gadis itu menyembunyikan senjata di balik celananya. Raizel semakin tertantang menyaksikan kejadian yang luar biasa di hadapannya. Seorang gadis kecil memiliki keberanian luar biasa u
Raizel membuka gorden dengan sengaja agar cahaya mentari yang menyusup melalui jendela kamar itu, dapat menyilaukan Lascrea yang tengah tertidur pulas. Gadis bertubuh mungil itu seketika mengernyit saat secercah sinar menyorot wajahnya yang tampak pucat. Dia mengulat untuk meregangkan otot-otot di tengah rasa kantuk yang masih tersisa. "Ayo bangun! Dua puluh menit lagi gue akan ajak lo jalan-jalan!"Lascrea mendengar apa yang Raizel ucapkan, tapi dia tak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menguap seraya menggosok-gosokan sebelah matanya. Kemudian bangkit untuk melangkah ke kamar mandi. Lima belas menit telah berlalu. Raizel menunggu Lascrea seraya membaca buku di sofa ruang tamu. Sampai akhirnya gadis bertubuh mungil itu selesai mandi dan menghampiri Raizel dengan memakai hoodie cokelat andalannya. Raizel menyunggingkan senyum lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar menuju garasi. Sementara Lascrea hanya mengikutinya dari belakang seraya memperhatikan punggung lebar Raizel y
Raizel tak ingin menyia-nyiakan bakat Lascrea yang merupakan petarung jalanan tangguh di umurnya yang masih sangat muda. Setelah dia mengenalkan Lascrea kepada Richardo. Mereka pun mencarikan guru yang tepat untuk melatih beberapa martial arts untuk Lascrea, salah satunya adalah Taekwondo. Bahkan Raizel tak pernah absen mengajak gadis itu gym agar tubuhnya terlatih dan semakin kuat. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun silih berganti. Gadis mungil yang semula tingginya tak sampai bahu Raizel, kini dia tumbuh dan berkembang pesat hingga sepantaran dengan Raizel. "Wah, sekarang aku nggak bisa panggil kamu bocah lagi, Rea! Tinggi kita sama, " cetus Raizel, memperhatikan Lascrea dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya saat ini pun sudah berbeda 180 derajat dengan saat pertama kali dia bertemu dengan Raizel. Kini Lascrea telah tumbuh menjadi gadis cantik yang elegan dan seksi. Kepiawaiannya dalam berkelahi dan kepintarannya dalam beradaptasi hingga mempelajari
Raizel sudah terbiasa melihat Lascrea marah seperti ini dan entah sudah berapa kali pria itu mengejarnya untuk sekadar menenangkan dan membujuknya agar berdamai. Namun, ini kali pertama dia melihat Gabby, wanita yang mulai dicintai terasa kecewa hingga berlari mengacuhkannya. Raizel tak ingin melihat Gabby keliru lagi seperti waktu itu. Alhasil, Raizel lebih memilih untuk mengejar Gabby ke kamarnya. Gadis itu tak menangis, hanya terduduk dengan raut kekesalan yang tak dapat disembunyikan lagi. Dadanya naik-turun menahan amarah yang menyeruak dalam sanubari. ‘Katanya nggak ada perasaan apa-apa! Terus, kenapa tadi meluk-meluk?’ batin Gabby meracau tak karuan hingga dia tak menyadari kehadiran Raizel di kamarnya. Gadis itu memang sengaja tak mengunci pintu. Meskipun kesal, tetap saja dalam hati kecilnya dia berharap untuk dikejar. Dia ingin Raizel menjelaskan apa yang terjadi beserta alasan kenapa dia bertindak seperti itu. “Gabby ... aku bisa jelasin kalau tadi itu ....” “Yaudah bu
Pagi ini Gabby berpamitan kepada Raizel, Lascrea, bahkan kepada seluruh pegawai yang berada di rumah itu. Dia akan mulai menempati apartemen yang sudah Raizel dan Richardo sediakan. Gabby tak mungkin memakai identitas aslinya dan tinggal di rumah Raizel jika ingin mendekati George. Akan banyak kemungkinan-kemunginan yang terjadi jika terus seperti itu. “Aku akan mengantarnya ke sana. Lascrea kamu tunggu saja di sini sebentar, ya!” titah Raizel yang sudah membuka pintu mobil kursi belakang. Lascrea mengangguk. Meskipun sedikit kesal, tapi dia juga mulai lega karena tak akan melihat batang hidung Gabby lagi di rumah ini. ‘Syukur-syukur kalau lo kabur di tengah misi’ Setelah berpamitan, Raizel dan Gabby pun segera meluncur ke apartemen, bersama satu orang ajudan yang menyetir. “Pokoknya nanti kamu hati-hati, ya! Jangan sampe ketahuan dan jangan sampe ....” Raizel menghentikan ucapannya lalu menoleh ke arah Gabby yang tengah duduk di sebelahnya. “Jangan sampe apa?” tanya Gabby meng
Seminggu yang lalu Gabby sempat survei ke unit apartemennya bahkan diajari bagaimana cara mengunakan akses oleh Raizel sehingga saat ini dia sudah tak merasa bingung lagi saat memasuki unit seorang diri. Setlah Gabby membuka pintu abu-abu yang bertuliskan nomor B011, dia pun tersenyum simpul melihat ruangan kamarnya yang cukup mewah. Kasur dengan seprai abu-abu di bawah lampu gantung berwarna keemasan itu hampir mirip dengan yang ada di kamar Raizel. Gabby menjadi sedikit rindu walau beberapa menit yang lalu mereka bertemu. Gadis itu meletakkan kopernya di sudut kamar lalu melempar tas kecilnya ke atas kasur dengan sembarang. Kemudian, gadis itu melenggang memasuki kamar mandi dan menatap wajahnya di depan cermin wastafel. Gabby mulai menyadari perubahan yang ada pada dirinya. Saat ini sudah tak ada lagi Gabby Gabriella seperti dulu. “Mulai saat ini, namamu adalah Angella,” ucap Gabby di depan cermin, bermonolog dengan bayangannya sendiri. Selang beberapa detik, gadis itu menangg
“Bandel ya, kamu!” Raizel menjewer telinga Lascrea hingga gadis itu meringis kesakitan. “Argh! Sakit, Bos!” Lascrea menggosok-gosok telinganya yang memerah setelah Raizel melepaskan jewerannya. “Bukannya kerja, malah nge-mall!” oceh Raizel sambil bertolak pinggang. Lascrea hanya mencebik. “Bos juga ngapain di sini, hayo? Bukannya kerja, malah nge-mall.” Raizel mendongak dengan kedua alis yang terangkat. “Aku mau makan siang abis anterin Gabby! Hayo, mau apa?” Lascrea hanya cengengesan lalu menggandeng Raizel hingga mereka melangkah secara perlahan. “Yaudah kalau gitu, ayo kita makan bareng!” seru Lascrea dengan antusias. “Eh, eh, eh! Dasar ya, anak gatau malu!” “Udah ah, bawel!” Lascrea terus menyeret lengan Raizel hingga pria itu melangkah dengan tertatih- tatih. Tanpa dosa, Lascrea terduduk di bangku restauran yang dipilih oleh Raizel. Dia terlihat sangat senang bisa menikmati makan siang bersama Raizel lagi, setelah sekian lama. Setelah memesan makanan di kasir, Raizel