Sudah tiga hari lamanya Gabby bersikap ketus terhadap Raizel. Tiap kali pria itu bertegur sapa atau memerintahkan sesuatu, pasti tak pernah Gabby kerjakan dengan sungguh-sungguh. Tentu saja hal tersebut membuat Raizel sangat geram. Apalagi respons Gabby terhadapnya sangat berbeda dari sebelumnya. Biasanya, gadis itu selalu membantah jika disalahkan dan mengucap seribu alasan untuk membela diri. Namun, sekarang sudah tidak lagi. Tiap Gabby disalahkan, dia selalu pasrah dan membawa-bawa nama Lascrea.Pagi itu Raizel bangun terlalu siang dan merasakan dahaga yang membuat tenggorokannya seperti tercekat. Dia meregangkan otot-ototnya sambil menguap. Kemudian menoleh ke atas nakas untuk mengambil segelas air putih yang selalu tersedia seperti biasa.Tangan kekar Raizel terulur sembarang. Kepalanya tak menoleh sedikit pun dan kedua mata yang menatap lurus ke depan itu masih terlihat sayu. Telapak tangan yang sudah menyentuh permukaan nakas melambai-lambai karena tak dapat meraih benda yang d
Gabby mengerutkan keningnya. Ucapan Raizel masih sulit dicerna oleh akal sehatnya, karena bertentangan dengan realita yang dia lihat. Pada akhirnya, Gabby juga keceplosan dan menyangkut-pautkan semua ini dengan Lascrea.“Kalau kamu nggak permainkan aku, kamu nggak akan mungkin ciuman sama Lascrea, Bos!”Kedua mata Raizel membulat secara otomatis bersamaan mulutnya yang terbuka lebar.Bagaimana mungkin Gabby bisa berbicara dengan lugas mengenai kejadian itu? Raizel mengingat-ingat apakah dia pernah bercerita kepada Gabby? Seingatnya tidak. Jika gadis itu bisa tiba-tiba tahu, berarti ada satu kemungkinan yang terpikirkan oleh Raizel.“Ja-jadi kamu ngintip?” tanya Raizel sedikit memekik. Sepertinya dia cukup syok.Namun, Gabby tak kalah syok dan balik memekik untuk menyanggahnya. “Ih, bukan ngintip! Tapi nggak sengaja lihat!” Rasa kesal dan malu kini melebur jadi satu.Rizel menghela napas panjang sambil mengusap kasar wajahnya. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir dengan Gabby. Sampai
‘Apa aku nggak salah denger? Barusan dia bilang apa?’Gabby membuka matanya lebih lebar. Dia tertegun mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Raizel. Berkali-kali dia menelan ludah karena merasa tenggorokannya mendadak tercekat hingga tak bisa mengeluarkan kata-kata.“Sebenernya aku males jelasin tentang Lascrea karena itu nggak penting banget. Tapi ngeliat kamu jadi berubah gini gara-gara dia kayaknya aku harus ngomong kalau apa yang kamu lihat waktu itu nggak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya.”Setelah bungkam beberapa lama, akhirnya kamu membuka mulut untuk merespons ucapan Raizel.“Nggak sesuai gimana? Orang jelas-jelas aku lihat kalian ciuman.”“Dia yang cium aku paksa, Gabby. Bukan ciuman! Emang kamu nggak lihat aku langsung dorong dan bentak dia?”Gabby terdiam. Dia memang tak melihat kejadian setelah itu karena langsung bergegas lari ke kamar akibat cemburu. Gadis itu hanya menggeleng pelan dengan mulut yang sudah mengkerucut.“Tuh, kan. Makannya biasain l
Raizel membelalakkan matanya tatkala bibir mereka bersentuhan. Ini kali kedua dia mendapat ciuman secara tiba-tiba setelah kejadian di kamar Lascrea. Bedanya, ciuman kali ini membuat perasaan Raizel melayang tinggi. Rasanya ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan dalam perut hingga dadanya. Dia tak ingin mendorong Gabby seperti yang dilakukannya kemarin terhadap Lascrea. Yang ada Raizel malah menyambutnya dengan mengangkup wajah Gabby dengan kedua tangan. Entah apa yang merasuki pikiran Gabby, dia pun menarik handuk Raizel hingga pria itu terlihat polos. Tak ada lagi yang menutup bagian dari tubuhnya. Raizel tersenyum puas melihat gadis yang semula polos kini terlihat sangat agresif. Pria itu tak ingin kalah dari Gabby. Bisa tercoreng harga dirinya jika dia tak bersikap lebih dominan dalam permainan yang menyenangkan ini. Sepasang tangan kekar Raizel meraih bongkahan yang ada di belakang tubuh Gabby lalu mengangkatnya untuk menggendongnya hingga kedua kaki Gabby melingkar di pinggan
Gabby tersipu malu di dalam kamarnya taatkala mengingat kejadian hari ini. Berkali-kali dia membenamkan wajah di bantalnya seraya histeris sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Dia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Saat di sekolah dia terlalu sibuk belajar karena ingin masuk perguruan tinggi, sehingga tak ada waktu untuk mengurus masalah percintaan. Sayangnya, setelah menerima beasiswa di perguruan tinggi, Gabby harus putus kuliah karena harus bekerja untuk membantu melunasi hutang kedua orang tuanya. Pasalnya, Laura dan Riko tak hanya berhutang kepada Raizel saja. Ada beberapa situs pinjaman online ilegal yang pernah dipakai juga oleh mereka. Gabby bermonolog sendiri dalam kamar. Membayangkan wajah tampan Raizel yang terus menghantuinya. “Berarti apa yang dibilang mantannya kemarin nggak bener!” Tatapan Gabby menerawang, memandang langit-langit. “Eh, bisa aja bener, sih. Tapi, dianya aja yang nggak spesial,” ralat Gabby, merasa bangga dengan dirinya sendiri. “
Gabby tampak berbeda dengan potongan rambut pixie berwarna ash gray dan kacamata model frame cat eye. Richardo mempersiapkan identitas palsu yang dapat digunakan Gabby untuk menjerat George. Mereka berencana untuk menjadikan Gabby sebagai umpan agar George jatuh cinta kepadanya. Meskipun sebenarnya Raizel sedikit tak rela, tapi dia percaya kepada Gabby bahwa gadis itu akan bekerja sesuai rules dan tidak melewati batas.“Apakah dia tak akan mengenaliku?” tanya Gabby, melihat pantulan bayangannya sendiri di cermin.Richardo dan Raizel bertepuk tangan, merasa takjub dengan perubahan Gabby yang sangat signifikan. Bagaimana mereka tak merasa takjub jika gadis yang semula tampak lugu kini terlihat seksi dan badass.“Kalau kamu masih meragukan penampilanmu, akan kupanggilkan Lascrea dan mengetesnya, apakah dia mengenalimu apa tidak.Lascrea yang tengah sibuk memberikan brieffing kepada para staff seketika menghentikan aktivitas, saat Handy Talky miliknya berbunyi dan terdengar suara Raizel y
George sudah tak bisa memasuki El Camorra lagi karena dia khawatir wajahnya sudah dikenali oleh beberapa staff Raizel. Meskipun George sangat jenius dengan IQ-nya yang 148. Namun pria itu bukan tipe orang yang sombong dan percaya diri jika Raizel bersama Richardo tak akan berhasil menangkapnya. George berpikir, pasti di sana Raizel juga mempersiapkan rencana yang matang untuk menyerang balik. Sampai akhirnya George memutuskan untuk mengamati pergerakan Richardo saja seperti semula. Setiap akhir pekan, George selalu membuntuti Richrardo tanpa disadari oleh pria paruh baya tersebut. Dia bahkan menyewa mobil, khawatir jika Richardo mengenalinya. Dia mengikuti ke mana mobil SUV berwarna putih itu meluncur hingga akhhirnya berhenti di depan bangunan tua yang tampak besar. Dari luar, ruangan itu tampak usang dan tak terawat. Namun, pada kenyataannya, penampakan di bagian dalam sangat berbanding terbalik dengan penampakan di bagian luar. George menghentikan mobilnya, beberapa meter di bela
Gabby melangkah mundur secara perlahan setelah membuka pintu dan melihat Raizel berdiri di depan kamarnya dengan tatapan menggoda. “Aku boleh masuk, kan?” tanya pria itu dengan senyum yang tersungging. Dia bahkan tak menunggu persetujuan Gabby dan melenggang begitu saja ke dalam kamarnya. “Rai! Gimana kalau ada yang lihat?” desis Gabby sambil celingukan lalu menutup pintunya. “Ahh!” Raizel mendesah nikmat saat mengempaskan tubuhnya ke atas kasur beralaskan seprai merah muda itu. Dia menghiraukan ucapan Gabby karena terlalu nyaman berbaring di sana. “Rai! Kamu nggak denger aku, ya?” Rengek Gabby. Dia menggembungkan pipi sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Kenapa sih, Sayang? Orang aku cuma mau tidur di sini, nggak boleh?” Ahh, untuk pertama kalinya Raizel mengucap panggilan sayang terhadap Gabby. Tentu saja hal tersebut berhasilkan menimbulkan rona merah jambu di kedua pipi Gabby. “Ihh, sempit nanti! Kan, kamarmu lebih besar. Kenapa harus di sini, coba?” Gabby berlaga