Ujung Senja

Ujung Senja

last updateLast Updated : 2021-11-01
By:  Rinanda Tesniana  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
7 ratings. 7 reviews
89Chapters
5.8Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Seorang perempuan muda terpaksa menikah dan mengubur cita-citanya untuk melanjutkan sekolah. Era namanya. Perempuan itu dilamar oleh lelaki kota, kemudian dibawa jauh meninggalkan keluarga. Bukannya bahagia, hidup Era di kota sangat menderita. Dia harus berjuang melewati hari-hari yang kering dari cinta kasih sang suami. Sampai suaminya mati dengan cara mengenaskan, hidup Era tetap tak tenang. Ketika di ujung senja hidupnya, datang dua orang lelaki yang menghadap cintanya, mampukah Era memilih?

View More

Latest chapter

Free Preview

Prolog

PrologPukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang.Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian.Pintu rumah terdengar dibuka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar.“Era tunggu Abang.”“Jangan tunggu aku.”“Era bosan,

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

default avatar
kekeudin
akhir nya Era bs bahagia sm Fahmi walaupun harus menunggu selama itu.. tpi kayak nya perlu extra part thor... karna kisa bahagia era masih terlalu sedikit untuk ku... blom puas dgn rasa kebahagian era dan fahmi
2024-02-18 10:20:33
0
user avatar
Keke Niezt
cerita nya bagus menguras air mata...
2024-02-17 22:32:28
0
user avatar
Maycute Abizz
novel y bagus kta2 y berkelas saya sngt menyukai ya sukses terus ya buat para penulis berbakat
2022-12-02 07:48:45
0
user avatar
Ziza Ziz S
mcm² feeling mmbaca novel ini, bercampur aduk, kasihan sedih marah pusing lemas semua ada,
2022-02-27 12:55:54
0
user avatar
Nita Kusuma
Semangat ya Author~ Ditunggu terus chapter terbarunya~
2021-08-30 17:33:19
1
user avatar
Zedanzee
menarik, nanti aku lanjut lagi......naskah nyaman dibaca tulisanya rapi bgt
2021-07-23 16:49:57
1
user avatar
Syifa Aimbine
Semangat kakak 😍
2021-07-23 16:36:22
1
89 Chapters

Prolog

Prolog Pukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang. Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian. Pintu rumah terdengar dibuka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya. “Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar. “Era tunggu Abang.” “Jangan tunggu aku.” “Era bosan,
Read more

Perasaan Asman

Siak Sri Indrapura, 1990 Aku berjalan cepat, melewati sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di halaman rumah Emak. Mereka yang sebagian besar adalah kawan abang-abangku, suka sekali menghabiskan waktu sambil bermain gitar di bawah pohon rambutan, yang tumbuh subur di halaman rumah Emak. Aku baru saja pulang dari rumah Amoy, sahabatku. Biasanya, aku bertandang ke rumah Amoy bersama Iin, tetanggaku, tapi Iin yang akan menikah hari minggu ini, sudah tidak diizinkan kedua orang tuanya keluar dari rumah. Jadinya, aku sendirian melewati kerumunan lelaki berusia dua puluhan itu. Sedikit gugup tapi aku memberanikan diri. Kehadiran abang-abangku di sana, tidak menghilangkan rasa gugupku. “Suit, suit.” Entah siapa di antara belasan pemuda itu yang menyuitiku. “Heh, ngapo ni, miang (genit) betul. Usah engkau ganggu Era. Dio adik perempuan aku satu-satunyo, tu.”
Read more

Lamaran

Aku duduk di atas pelaminan rumah Iin. Pelaminan khas Melayu yang didominasi warna kuning ini sudah hampir selesai seluruhnya. Tradisi di kampung kami, jika ada seorang gadis yang hendak menikah, maka pemuda-pemudi akan berkumpul selama tiga malam berturut-turut untuk menghias rumah pengantin. “Ra, engkau dipanggil Heri. Dio nak minta tolong buat janur. Cumo engkau yang bisa buat janur.” Bibah-temanku memberi tahu. Aku mengangguk dan meninggalkan hamparan kain yang akan digunakan untuk menghias dinding rumah Iin. Aku mendekati Heri yang sedang duduk di teras rumah Iin. Dia sibuk merangkai janur yang akan dipasang di simpang jalan sebelum masuk gang rumah kami. “Kenapo, Her?” Aku duduk di sebelahnya. “Payah betul, Ra. Tolonglah. Cepat selesai, cepat balek. Aku dah penat ni.” Heri memasang wajah memelas. Aku mengangguk dan membantunya merangkai j
Read more

Bah

 Aku mengupas bawang merah yang akan digiling bersama cabe. Pukul sepuluh pagi, aku sudah harus menyiapkan makan siang. Biasanya, ada Emak yang menemaniku, tapi sejak pagi, aku belum melihat Emak sama sekali. Di rumah ini, Emak membagi pekerjaan rumah dengan adil dan merata. Aku kebagian tugas memasak. Menurut Emak, anak perempuan harus pandai masak, agar bisa membuat perut suami kenyang, dengan tujuan agar suami betah di rumah. Aku manut saja. Tak ada ruginya belajar memasak. Abang-abangku pun sudah ada tugasnya masing-masing. Ada yang mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan sebagainya. Aku membuka pintu belakang dapur yang menghadap langsung ke jalan samping rumah. Memasak sambil melihat orang lalu lalang adalah kesenanganku. Sesekali aku menyapa tetangga yang lewat. Aku menghidupkan kompor dengan korek api. Tak lupa sebelumnya, aku mengecek minyak tanah yang tersimpan di dalam ko
Read more

Pinangan

Hari ini Emak membebaskanku dari segala tugas memasak. Seharian aku hanya disuruh berkurung di kamar dengan makcik Nur, bidan pengantin paling terkenal di kampung. Makcik Nur membalur seluruh tubuhku dengan butiran halus berwarna putih. Kemudian, ia menggosok kuat seluruh tubuhku. “Makcik, sakit betullah. Apo bendo ni namonyo?” Aku meringis menahan sakit saat makcik Nur menggosok kulitku sekuat tenaga. “Lulur, Ra. Bio bekilau badan kau.” “Bekilau? Untuk apo pulak kulit aku dibuat bekilau? Aku di rumah ajo, masak ke masak, tak ado kejo lain.” Aku tertawa menanggapi perkataan makcik Nur. “Diam ajolah kau. Jangan banyak cakap.” Aku pun diam. Menikmati setiap urutan tangan makcik Nur di tubuhku. Setelah selesai, makcik menyuruhku minum air yang rasanya sangat tidak enak. &ld
Read more

Menjelang Hari Sakral

Seminggu penuh aku dirawat oleh makcik Nur. Setiap hari ia membersihkan tubuhku dengan krim yang ia sebut lulur. Tak lupa, ia menyuruhku duduk di atas kursi kayu yang dibawahnya ia letakkan rebusan air sirih. Aku menjalani semua perintah makcik Nur, demi tampil sempurna saat hari pernikahan, begitulah yang makcik Nur katakan. “Lawo betul anak Emak,”ujar Emak saat melihatku sedang minum air rebusan racikan makcik Nur. “Tak kenallah Asman dengan engkau, Ra. Lain betul muko engkau sekarang.” “Tak kenal pun tak apo, bio dio tak jadi dengan Era,” tukasku dengan kesal. “Ish, apolah kau ni. Jangan cakap macam tu, bersyukurlah, keluarga terpandang yang meminang kau. Kau pike (pikir) mudah mencari calon suami? Orang dah tau aib Bah kau, tak ado yang nak samo kau, Ra.” Luka hatiku kembali berdarah mendengar perkataan Emak. “Kalau jodoh,
Read more

Suka Berujung Duka

Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya. Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya. Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian ada
Read more

Duka Masih Ada

Pelaminan pernikahanku, berganti dengan kasur tipis sebagai alas jenazah Bah. Kebaya Laboh telah bertukar dengan gamis hitam legam tanda dukacita. Jilbab panjang berwarna sama menutupi kepalaku. Jenazah Bah terbujur kamu di depan pelaminan. Sungguh malang nasibku, di hari pernikahan yang tak kuinginkan, Bah pergi meninggalkanku sendirian. Lantunan ayat suci Alquran bergema di dalam rumah. Emak terduduk lemah di samping jenazah Bah. Tangannya memegang tasbih, tetapi tatapannya kosong seperti tak memiliki kehidupan. Bau bunga rampai dan kapur barus menusuk hidung, aromanya mengalir ke otakku, hingga kepalaku seperti ditusuk ribuan sembilu. Bah akan dimandikan, jenazah lelaki kesayanganku ini segera menuju tempat peristirahatan terakhirnya. “Ra, dimano Bah engkau nak dimandikan?” tanya makcik Emboh, adik bungsu Emak. “Kejab (sebentar) Era tengok ke belakan
Read more

Terpaksa

Suasana duka masih menyelimuti rumah kami. Emak belum keluar kamar sejak semalam. Abang-abangku yang sudah menikah telah kembali ke rumahnya masing-masing. Pelaminan pernikahanku telah dilepaskan tadi pagi. Namun, bendera putih masih terpasang di depan rumah. Tenda untuk tamu pun beralih fungsi menjadi tempat berteduh para tamu takziah. Kami bahkan tak tahu Bah dikuburkan di mana. Perempuan berhati iblis itu benar-benar biadab. Dia membawa jenazah Bah, dan tak mengizinkan Bang Arham ikut ke kuburan. Padahal, Bang Arham sengaja datang karena ingin ikut memasukkan  jenazah Bah ke Liang lahat. “Buatkan aku sarapan, Ra.” Bang Asman yang baru keluar dari kamar mandi memerintahku. “Beli ajalah, Bang. Tak telap Era masak. Lemah semangat Era sejak Bah tak ado ni.” “Halah, alasan! Aku enggak mau tahu, buatkan aku sarapan. Dari semalam sibuk Bah kau tu aja. Muak aku mendengarnya.” Bang Asman berkata ketus.&nb
Read more

Penyesalan

Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya. Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan. “Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak. Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana. “Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat. Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku. “Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang. Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya. Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu. Tangis Bah makin kencang terdenga
Read more
DMCA.com Protection Status