Siak Sri Indrapura, 1990
Aku berjalan cepat, melewati sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di halaman rumah Emak. Mereka yang sebagian besar adalah kawan abang-abangku, suka sekali menghabiskan waktu sambil bermain gitar di bawah pohon rambutan, yang tumbuh subur di halaman rumah Emak.
Aku baru saja pulang dari rumah Amoy, sahabatku. Biasanya, aku bertandang ke rumah Amoy bersama Iin, tetanggaku, tapi Iin yang akan menikah hari minggu ini, sudah tidak diizinkan kedua orang tuanya keluar dari rumah.
Jadinya, aku sendirian melewati kerumunan lelaki berusia dua puluhan itu. Sedikit gugup tapi aku memberanikan diri. Kehadiran abang-abangku di sana, tidak menghilangkan rasa gugupku.
“Suit, suit.” Entah siapa di antara belasan pemuda itu yang menyuitiku.
“Heh, ngapo ni, miang (genit) betul. Usah engkau ganggu Era. Dio adik perempuan aku satu-satunyo, tu.”
L
Aku dengar suara Bang Arham memarahi seorang temannya.
“Lawo (cantik) betul dio lepas sekolah ni. Nak aku lamar, boleh tak,“ kelakar seorang pemuda yang suaranya cukup keras, sehingga masih bisa aku dengar.
Wajahku pasti sudah memerah, seperti kepiting rebus. Saking gugupnya, aku terjatuh saat akan masuk ke teras rumah.
“Aw,” pekikku. Menahan sakit sekaligus malu. Bisa-bisanya aku terjatuh di hadapan pemuda-pemuda itu.
“Kau tak apo?“ Bang Asman berlari ke arahku. Salah satu sahabat Bang Arham itu mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangan lelaki bertubuh kurus itu. Sontak seluruh anak muda tanggung yang sedang berkumpul, menyoraki kami berdua. Termasuk Bang Arham.
“Time kasih (terima kasih), Bang,” ujarku malu-malu.
“Samo. Kau nak kemano? Buru-buru betul. Pelan sikit jalan tu, jatuh kang, malu.”
“Era nak masuk rumah, Bang. Nak tolong Emak masak. Dah petang hari,” jelasku.
“Aduhai, elok betul kelaku anak gadis satu ni. Bolehlah dipinang lagi ni. Dah bisa ngurus laki.”
“Apolah Abang ni. Dahlah, Era masuk.” Aku berlalu masuk ke rumah, menutupi pipi bulatku yang pasti sudah berubah warna.
Bukan sekali ini saja bang Asman menunjukkan keinginannya untuk menjadi kekasihku. Sering ia mengajak makan bakso, atau sekadar jalan-jalan di tepi Sungai Siak, melihat kapal tangker berlalu lalang.
Aku lebih sering menolak daripada menuruti keinginannya. Selain memang tak memiliki perasaan istimewa dengan sahabat Bang Arham itu, aku juga sudah memiliki kekasih hati. Fahmi namanya. Lelaki berkulit hitam manis itu sudah lama mengikat hatinya dengan hatiku.
Sayangnya, Emak seolah tak memberi restu akan hubunganku dengan Fahmi. Setiap kali lelaki itu datang ke rumah, Emak langsung masuk kamar dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Sekali dua kali, Fahmi masih bisa sabar, setelah itu, ia memutuskan untuk tak pernah lagi datang ke rumah.
Saat terakhir mengirimkan surat, Fahmi memberi kabar, bahwa ia telah lulus seleksi calon polisi. Ia memintaku untuk menunggunya lulus. Kelak, ketika ia sudah lulus dari sekolah kepolisian, ia akan melamarku.
Aku menyimpan surat dari Fahmi itu di dalam lemari pakaian. Aku letakkan di tumpukan terbawah, di antara baju-baju yang jarang aku gunakan, karena Emak suka memeriksa lemariku. Sesekali aku kembali membacanya, untuk mengurai rindu yang sudah menenggelamkan separuh hatiku.
“Ngapo macam orang tak sado (sadar) kau ni, Ra. Jangan pulak sampai hangus ikan Mak tu kau buat,” ketus Emak saat melihatku duduk termenung di depan kuali panas.
"Astagfirullah.” Aku kaget mendengar pekikan Emak.
“Cepat sikit kejo (kerja) tu, Ra. Kejab (sebentar) lagi Bah (Ayah) engkau balek. Memayang (marah) orang tuo tu tengok nasi tak ado temannyo. Kau tau Bah kan, dio garang kalau tak sedap ikan yang nak dio makan.”
Iyo, Mak,” ujarku pelan.
Aku membentangkan tikar pandan di lantai ruang tengah. Setelah salat maghrib, keluarga kami biasanya langsung makan malam.
Emak, Bah, dan lima orang abangku sudah duduk menunggu makanan terhidang. Aku sedikit heran, saat melihat Bang Asman duduk di antara Emak dan bang Arham.
“Kau tengoklah, Man, anak gadis aku semata wayang ni, dio rajin betul. Semuo ni dio yang masak.” Emak memberi tahu Bang Asman, seolah sedang mempromosikan barang dagangannya.
“Iyo, Mak,” jawab bang Asman sopan.
“Sulit cari gadis macam ni zaman sekarang. Muko lawo, masak pandai, mengurus rumah pandai, mengaji pandai. Apo lagi nak dicari,” ujar Emak dengan bangga. Aku yang sedang mondar-mandir menghidangkan lauk tertunduk malu.
Bah tampak tidak senang dengan kata-kata Emak. “Mengapo kau ni, Mah? Macam nak kau jual anak aku kepada Asman.”
Tak ada yang tertawa mendengar perkataan Bah, kecuali Bah sendiri. Mungkin semua tahu, Bah tidak sedang bercanda.
“Apolah Abang ni,” sungut Mak. “Aku cakap kosong ajo samo Asman. Tak ado maksud lain.”
“Hmm, yalah.”
Suasana makan malam kali ini berbeda dari biasanya. Bah lebih banyak diam. Sementara Emak, sibuk menanyakan masalah pekerjaan Bang Asman. Perempuan yang melahirkanku itu tampak semangat menceritakan segala kelebihanku kepada Bang Asman. Entah apa maksud Emak. Aku diam saja. Tak mungkin aku membantah Emak di hadapan semua orang.
“Jadi, Man, Tengku Asnawi itu paman engkau?” tanya Emak pada Bang Asman.
Tengku Asnawi adalah seorang kepala syah bandar yang sangat tenar di kabupaten ini. Kekayaannya melimpah ruah, bahkan sejak dalam kandungan, takdirnya menjadi orang kaya seolah sudah bisa dipastikan.
“Iyo, Mak. Tengku Asnawi tu adik mak Asman.”
“Wow, tentulah emak engkau kayo jugo, ye,” timpal Emak.
“Biaso ajo, Mak. Taklah kayo betul.”
“Ah, suko betul merendah.” Emak menepuk pundak lelaki itu.
“Cakap apolah kau ni, Mah. Tak patutlah betanyo masalah itu depan orang ramai ni.” Bah berkata ketus.
“Ish, apalah Abang ni. Asman ni ado hati dengan Era. Makonyo, nak aku tanyo silsilah keluarga dio. Jangan sampai kito salah pilih jodoh untuk anak gadis satu-satunyo ni.” Emak tersenyum menatapku.
“Apolah kau ni. Macam budak-budak,” bentak Bah pada Emak. Lelaki berkain sarung itu meninggalkan makanannya yang bahkan belum habis separuh.
“Ng alah, dah merajuk pulo orang tuo ni. Ra, kau kawankan dulu Asman makan, aku nak nengok Bah kau sekejab.” Emak meninggalkan kami semua.
“Kau pun yang tidak-tidak, Man,” gerutu bang Arham. “Apolah kau cakap sama Emak aku? Bah tak suko, anak gadis dio ni diganggu orang lain. Kau elok pulak teduduk makan di sini. Apo tak marah Bah aku.”
Aku menunduk. Sebenarnya, aku sangat risih dengan sikap bang Asman. Bukan sekali dua kali aku menolak kehadirannya secara halus, tapi lelaki itu pantang mundur. Kali ini, dia mendekati Emak agar bisa mengambil hatiku.
Bah memang tak suka ada pemuda yang mendekatiku. Beliau over protective memang terhadapku. Dia tak ingin, aku cepat-cepat menikah seperti kebanyakan anak gadis sebayaku kampung ini.
Bah ingin aku sekolah tinggi. Namun, selepas sekolah menengah atas, Bah belum ada kesempatan untuk mengantarkanku ke kota. Padahal dia sudah berjanji, jika sudah ada penerimaan mahasiswa baru, ia akan mendaftarkanku di sekolah keguruan.
“Dahlah, aku balek dulu ya, Ham. Aku kejo (kerja) malam hari ni.” Bang Asman mencuci tangan.
Abang-abangku mengangguk saat Bang Asman mengucapkan salam. Aku menghela napas lega. Kehadiran lelaki itu merusak suasana makan malam yang biasanya harmonis ini.
***
Aku duduk di atas pelaminan rumah Iin. Pelaminan khas Melayu yang didominasi warna kuning ini sudah hampir selesai seluruhnya. Tradisi di kampung kami, jika ada seorang gadis yang hendak menikah, maka pemuda-pemudi akan berkumpul selama tiga malam berturut-turut untuk menghias rumah pengantin.“Ra, engkau dipanggil Heri. Dio nak minta tolong buat janur. Cumo engkau yang bisa buat janur.” Bibah-temanku memberi tahu. Aku mengangguk dan meninggalkan hamparan kain yang akan digunakan untuk menghias dinding rumah Iin.Aku mendekati Heri yang sedang duduk di teras rumah Iin. Dia sibuk merangkai janur yang akan dipasang di simpang jalan sebelum masuk gang rumah kami.“Kenapo, Her?” Aku duduk di sebelahnya.“Payah betul, Ra. Tolonglah. Cepat selesai, cepat balek. Aku dah penat ni.” Heri memasang wajah memelas.Aku mengangguk dan membantunya merangkai j
Aku mengupas bawang merah yang akan digiling bersama cabe. Pukul sepuluh pagi, aku sudah harus menyiapkan makan siang. Biasanya, ada Emak yang menemaniku, tapi sejak pagi, aku belum melihat Emak sama sekali.Di rumah ini, Emak membagi pekerjaan rumah dengan adil dan merata. Aku kebagian tugas memasak. Menurut Emak, anak perempuan harus pandai masak, agar bisa membuat perut suami kenyang, dengan tujuan agar suami betah di rumah. Aku manut saja. Tak ada ruginya belajar memasak.Abang-abangku pun sudah ada tugasnya masing-masing. Ada yang mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan sebagainya.Aku membuka pintu belakang dapur yang menghadap langsung ke jalan samping rumah. Memasak sambil melihat orang lalu lalang adalah kesenanganku. Sesekali aku menyapa tetangga yang lewat.Aku menghidupkan kompor dengan korek api. Tak lupa sebelumnya, aku mengecek minyak tanah yang tersimpan di dalam ko
Hari ini Emak membebaskanku dari segala tugas memasak. Seharian aku hanya disuruh berkurung di kamar dengan makcik Nur, bidan pengantin paling terkenal di kampung.Makcik Nur membalur seluruh tubuhku dengan butiran halus berwarna putih. Kemudian, ia menggosok kuat seluruh tubuhku.“Makcik, sakit betullah. Apo bendo ni namonyo?” Aku meringis menahan sakit saat makcik Nur menggosok kulitku sekuat tenaga.“Lulur, Ra. Bio bekilau badan kau.”“Bekilau? Untuk apo pulak kulit aku dibuat bekilau? Aku di rumah ajo, masak ke masak, tak ado kejo lain.” Aku tertawa menanggapi perkataan makcik Nur.“Diam ajolah kau. Jangan banyak cakap.”Aku pun diam. Menikmati setiap urutan tangan makcik Nur di tubuhku.Setelah selesai, makcik menyuruhku minum air yang rasanya sangat tidak enak.&ld
Seminggu penuh aku dirawat oleh makcik Nur. Setiap hari ia membersihkan tubuhku dengan krim yang ia sebut lulur. Tak lupa, ia menyuruhku duduk di atas kursi kayu yang dibawahnya ia letakkan rebusan air sirih.Aku menjalani semua perintah makcik Nur, demi tampil sempurna saat hari pernikahan, begitulah yang makcik Nur katakan.“Lawo betul anak Emak,”ujar Emak saat melihatku sedang minum air rebusan racikan makcik Nur. “Tak kenallah Asman dengan engkau, Ra. Lain betul muko engkau sekarang.”“Tak kenal pun tak apo, bio dio tak jadi dengan Era,” tukasku dengan kesal.“Ish, apolah kau ni. Jangan cakap macam tu, bersyukurlah, keluarga terpandang yang meminang kau. Kau pike (pikir) mudah mencari calon suami? Orang dah tau aib Bah kau, tak ado yang nak samo kau, Ra.”Luka hatiku kembali berdarah mendengar perkataan Emak. “Kalau jodoh,
Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya.Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya.Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian ada
Pelaminan pernikahanku, berganti dengan kasur tipis sebagai alas jenazah Bah. Kebaya Laboh telah bertukar dengan gamis hitam legam tanda dukacita. Jilbab panjang berwarna sama menutupi kepalaku.Jenazah Bah terbujur kamu di depan pelaminan. Sungguh malang nasibku, di hari pernikahan yang tak kuinginkan, Bah pergi meninggalkanku sendirian.Lantunan ayat suci Alquran bergema di dalam rumah. Emak terduduk lemah di samping jenazah Bah. Tangannya memegang tasbih, tetapi tatapannya kosong seperti tak memiliki kehidupan.Bau bunga rampai dan kapur barus menusuk hidung, aromanya mengalir ke otakku, hingga kepalaku seperti ditusuk ribuan sembilu. Bah akan dimandikan, jenazah lelaki kesayanganku ini segera menuju tempat peristirahatan terakhirnya.“Ra, dimano Bah engkau nak dimandikan?” tanya makcik Emboh, adik bungsu Emak.“Kejab (sebentar) Era tengok ke belakan
Suasana duka masih menyelimuti rumah kami. Emak belum keluar kamar sejak semalam. Abang-abangku yang sudah menikah telah kembali ke rumahnya masing-masing.Pelaminan pernikahanku telah dilepaskan tadi pagi. Namun, bendera putih masih terpasang di depan rumah. Tenda untuk tamu pun beralih fungsi menjadi tempat berteduh para tamu takziah.Kami bahkan tak tahu Bah dikuburkan di mana. Perempuan berhati iblis itu benar-benar biadab. Dia membawa jenazah Bah, dan tak mengizinkan Bang Arham ikut ke kuburan. Padahal, Bang Arham sengaja datang karena ingin ikut memasukkan jenazah Bah ke Liang lahat.“Buatkan aku sarapan, Ra.” Bang Asman yang baru keluar dari kamar mandi memerintahku.“Beli ajalah, Bang. Tak telap Era masak. Lemah semangat Era sejak Bah tak ado ni.”“Halah, alasan! Aku enggak mau tahu, buatkan aku sarapan. Dari semalam sibuk Bah kau tu aja. Muak aku mendengarnya.” Bang Asman berkata ketus.&nb
Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya.Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan.“Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak.Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana.“Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat.Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku.“Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang.Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya.Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu.Tangis Bah makin kencang terdenga
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang