Gandari berjalan perlahan ke kebun belakang rumahnya. Ia memetik beberapa sayuran. Wanita itu menarik napas berat, jika tak ingat dengan anak di dalam perutnya, ia tak akan menuruti selera makan yang mulai beragam. Usia kandungannya kini sudah lima bulan lewat. Masuk ke dapur dan mencari pisau yang biasa diselipkan di tepi dinding kayu, ia duduk dan berdiri kembali ketika mendengar derap langkah kuda di depan rumahnya. “Semoga ada yang membawa kabar baik untukku.” Gandari meraba dinding kayu sebagai pegangan. Ia yang telah hapal seluk-beluk rumahnya sendiri kehilangan senyuman ketika yang datang adalah Satrio. “Permaisuri khawatir kau sendirian di rumah ini. Juga Asmarandana yang merindukanmu. Istana tak memperbolehkan kerabat kerajaan keluar selama perang berlangsung, Nyonya,” ucap Satrio sopan. “Kau sendiri kenapa tak mendampingi tuan prabumu pergi?” tanya Gandari, ia sebernarnya malas berurusan lagi dengan orang istana. “Aku ditugaskan menjaga putra kalian. Tolong, Nyonya, jan
“Kudengar, kau sudah punya istri, bahkan sedang hamil, benarkah?” Syarif yang diikat di kursi besi merasa terancam dengan tanya Xi Chian. Ia berontak ingin lepas dari ikatan, tapi tenaganya tak cukup kuat, berhari-hari memilih tak makan daripada menyentuh hidangan haram. “Kau tak punya mulut untuk bicara? Atau perlu lidahmu aku tarik keluar sampai putus!” Lelaki itu hampir kehilangan hak bernapasnya karena dicekik oleh Xi Chian. “Buka mulutmu! Katakan apa yang kau tahu tentang Hasan. Kau bilang dia sahabatmu. Kau pasti paham strategi perang macam apa yang direncanakannya, Tolol!” hardik wanita itu. “Ke-kenapa? Kau takut, tak bisa menang melawan kami?” sahut Syarif sambil meringis menahan perih di kulit yang darahnya telah kering. “Takut?” jawab wanita itu. Tawa kejinya memantul di dinding penjara, serupa nyanyian iblis yang senang melihat manusia tergoda nafsu. “Kau lihat sendiri armada perangku. Sekali tembak juga kapal kalian tenggelam.” “Sombong. Kau akan rasakan sendiri pasu
Dua pengawal Xi Chian itu tewas. Tubuhnya tembus tertusuk pedang panjang. Wanita itu bernapas cepat. Walau buta ia paham situasi yang baru saja terjadi.“Siapa kalian? Mau apa datang ke mari?” Gandari meraih asal selimut di ranjangnya, gegas wanita itu menutupi auratnya yang tersingkap. “Kami diutus oleh Tuan Prabu Danur Seta, Nyonya. Diminta untuk membawamu ke istana malam ini juga,” jawab mereka. “Istana? Untuk apa lagi, aku tak ada urusan di sana. Lagi pula aku menunggu kepulangan suamiku.” “Mengenai itu, Nyonya.” Ragu-ragu utusan Danur Seta membuka mulut. “Katakan,” desak Gandari. “Suami nyonya. Ehm, dia tidak selamat di medan pertempuran. Semua kapal perang hancur, hanya sedikit yang selamat.” “A-apa, tidak mungkin. Kalian berdusta! Mana mayat suamiku kalau memang dia tewas di pertempuran.” “Kemungkinan, tenggelam atau terbakar di lautan, Nyonya. Karena itulah Tuan Prabu meminta kami membawamu.” “Omong kosong, persetan dengan Danur Seta. Aku tak akan kembali ke istana. Ak
Rintik-rintik hujan membasahi tanah tempat Gandari tinggal. Usai peristiwa penolakan dirinya yang akan dibawa paksa anak buah Danur Seta, wanita itu semakin sering mendapat kunjungan dari para istri ulama yang kini juga menjadi sahabatnya. Bergantian mereka memberi perhatian pada wanita yang tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Mengantar masakan agar ia tak repot-repot turun ke dapur. Turut serta membesarkan hati Gandari agar sabar menerima cobaan hidup. Sejatinya di dunia ini tak ada yang abadi. Semuanya akan kembali pada Allah cepat atau lambat, setiap manusia hanya menunggu giliran. “Mungkin ini rasanya sakit kehilangan,” gumamnya di atas ranjang ketika malam semakin kelam. “Mungkin ini juga hukuman atas dosa-dosaku, dulu.” Hujan deras di malam hari seoalah mengerti dengan kegundahan hati Gandari. Pagi ketika ia memetik sayuran di kebun belakang, rasa nyeri di perutnya kian bertambah jadi. Dengan langkah tertatih ia berjalan meraba-raba seorang diri, mencari pertolongan, i
Beberapa bulan tinggal dan diobati di rumah Tabib, telah membuat tubuh Syarif pulih. Luka luarnya telah kering, begitu juga dengan organ tubuh bagian dalam yang telah membaik. Pita suaranya yang sempat rusak telah kembali normal. Ia bisa kembali membaca ayat suci Qur’an dengan suara lantang. Tubuhnya sudah kuat untuk menempuh perjalanan jauh. “Terima kasih atas bantuannya, Tuan tabib. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu. Aku tak punya apa-apa untuk diberikan.” Syarif memandang wajah tabib yang terlihat teduh diterpa angin laut. “Bertemu denganmu sedikit mengusir rasa sepi di hatiku. Semua putraku turut ambil peran menyebarkan Islam. Sedangkan aku sudah tak kuat lagi untuk berjalan jauh, sudah udzur, Nak,” sahut lelaki tua yang menolong Syarif. “Jika masih berjodoh, aku akan berkunjung ke tempat ini, Tuan Tabib.” “Semoga Allah mengabulkan dan mempermudah jalanmu, Nak.” Dua orang itu berpelukan ketika kapal kecil yang akan membawa Syarif telah tiba. Beberapa hari ia akan berada
Bagian 37 Takdir Beberapa purnama telah terlewati, kesehatan Tuan Prabu Danur Seta semakin menurun. Ia bahkan hanya berbaring di atas tempat tidurnya saja. Sang Permaisuri sangat telaten mengurus segala keperluannya. Termasuk ketika sang Raja meminta untuk bertemu Gandari. “Aku dengar, suaminya masih hidup dan telah kembali, Kanda. Lebih baik kanda lupakan saja keinginan itu,” Ayu membersihkan tubuh suaminya dengan air hangat. “Sekali saja, apa tak bisa? Aku merasa waktuku tak lama lagi, Dinda.” Ia memohon sambil menahan sesak di dadanya. “Maaf, Kanda. Ada tata krama istana yang tak bisa kita abaikan. Kanda tak boleh mengganggu istri orang. Apalagi sekarang kita telah memeluk keyakinan yang berbeda. Aku mengikutimu, Kanda. Kau pun menjadi contoh bagi yang lain,” ucapnya sambil merasakan desir panas di hati. ‘Meski aku juga sama kejamnya, Kanda. Setidaknya aku tidak mengambil milik orang lain. Aku hanya mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku.’ Sang Ratu tetap tak mem
Bagian 1 Gerbang NerakaGadis berpakaian serba putih serta rambutnya dibiarkan begitu saja, turun dari atas dahan. Ia melihat ke dalam lembah hitam. Di sana bersemayam makhluk halus jenis apa saja yang senantiasa menarik umat manusia dalam kesesatan. Penjaga hutan itu tak bisa berbuat banyak, tempat itu memang turun temurun oleh guru dan kakak seperguruannya disebut sebagai gerbang neraka. Gayatri—gadis yang berasal dari perguruan yang sama dengan Gandari hanya bisa membuat tabir pelindung agar makhluk menyeramkan dengan wujud serba hitam tak ke luar mengganggu warga desa. Ia sendiri sebenarnya takut menghadang makhluk gaib itu, sebab baru kali itu ia jumpai dengan wujud yang menjijikkan. Lendir hitam mengalir dari sekujur tubuhnya. Tak ingin membuang waktu, adik seperguruan Nirmala itu melompat dari satu dahan ke dahan lain. Ia menuju tepi hutan lembah hitam. Menambah ketebalan tabir gaib agar makhluk itu tak bisa menembusnya. Biarlah ia yang terkurung di sana bersamanya, tak apa,
Bagian 2 Bertemu Ratu Maulana menghentikan kudanya ketika ia sampai di depan makam kerajaan yang dijaga oleh beberapa prajurit. Bisa dihitung dengan sebelah tangannya berapa kali ia pernah ke sana. Gandari dulu selalu berat hati ketika ia ingin mengunjungi ayah kandungnya yang telah lama tiada. Selain itu, begitu susah untuk masuk ke makam, ia akan ditanyai dan diperiksa terlebih dahulu walau ia juga seorang pangeran yang terbuang. Benar saja, baru akan memasuki wilayah yang dianggap keramat tersebut, ia sudah dihadang, hingga suara seorang wanita membuat beberapa prajurit menjauh darinya. “Lama tak bertemu, Putraku,” ujar Prameswari yang baru saja ke luar dari makam kerajaan. Maulana hendak mencium tangan ratu yang baru saja melepaskan takhtanya, tetapi wanita itu berpaling. Ia tak mau kulitnya yang halus disentuh oleh rakyat jelata seperti putra tirinya itu. Jadilah Maulana seperti menggenggam angin di tangannya. “Biarkan dia masuk. Dia bukan ancaman!” perintah Prameswari pada