Rintik-rintik hujan membasahi tanah tempat Gandari tinggal. Usai peristiwa penolakan dirinya yang akan dibawa paksa anak buah Danur Seta, wanita itu semakin sering mendapat kunjungan dari para istri ulama yang kini juga menjadi sahabatnya. Bergantian mereka memberi perhatian pada wanita yang tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Mengantar masakan agar ia tak repot-repot turun ke dapur. Turut serta membesarkan hati Gandari agar sabar menerima cobaan hidup. Sejatinya di dunia ini tak ada yang abadi. Semuanya akan kembali pada Allah cepat atau lambat, setiap manusia hanya menunggu giliran. “Mungkin ini rasanya sakit kehilangan,” gumamnya di atas ranjang ketika malam semakin kelam. “Mungkin ini juga hukuman atas dosa-dosaku, dulu.” Hujan deras di malam hari seoalah mengerti dengan kegundahan hati Gandari. Pagi ketika ia memetik sayuran di kebun belakang, rasa nyeri di perutnya kian bertambah jadi. Dengan langkah tertatih ia berjalan meraba-raba seorang diri, mencari pertolongan, i
Beberapa bulan tinggal dan diobati di rumah Tabib, telah membuat tubuh Syarif pulih. Luka luarnya telah kering, begitu juga dengan organ tubuh bagian dalam yang telah membaik. Pita suaranya yang sempat rusak telah kembali normal. Ia bisa kembali membaca ayat suci Qur’an dengan suara lantang. Tubuhnya sudah kuat untuk menempuh perjalanan jauh. “Terima kasih atas bantuannya, Tuan tabib. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu. Aku tak punya apa-apa untuk diberikan.” Syarif memandang wajah tabib yang terlihat teduh diterpa angin laut. “Bertemu denganmu sedikit mengusir rasa sepi di hatiku. Semua putraku turut ambil peran menyebarkan Islam. Sedangkan aku sudah tak kuat lagi untuk berjalan jauh, sudah udzur, Nak,” sahut lelaki tua yang menolong Syarif. “Jika masih berjodoh, aku akan berkunjung ke tempat ini, Tuan Tabib.” “Semoga Allah mengabulkan dan mempermudah jalanmu, Nak.” Dua orang itu berpelukan ketika kapal kecil yang akan membawa Syarif telah tiba. Beberapa hari ia akan berada
Bagian 37 Takdir Beberapa purnama telah terlewati, kesehatan Tuan Prabu Danur Seta semakin menurun. Ia bahkan hanya berbaring di atas tempat tidurnya saja. Sang Permaisuri sangat telaten mengurus segala keperluannya. Termasuk ketika sang Raja meminta untuk bertemu Gandari. “Aku dengar, suaminya masih hidup dan telah kembali, Kanda. Lebih baik kanda lupakan saja keinginan itu,” Ayu membersihkan tubuh suaminya dengan air hangat. “Sekali saja, apa tak bisa? Aku merasa waktuku tak lama lagi, Dinda.” Ia memohon sambil menahan sesak di dadanya. “Maaf, Kanda. Ada tata krama istana yang tak bisa kita abaikan. Kanda tak boleh mengganggu istri orang. Apalagi sekarang kita telah memeluk keyakinan yang berbeda. Aku mengikutimu, Kanda. Kau pun menjadi contoh bagi yang lain,” ucapnya sambil merasakan desir panas di hati. ‘Meski aku juga sama kejamnya, Kanda. Setidaknya aku tidak mengambil milik orang lain. Aku hanya mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku.’ Sang Ratu tetap tak mem
Bagian 1 Gerbang NerakaGadis berpakaian serba putih serta rambutnya dibiarkan begitu saja, turun dari atas dahan. Ia melihat ke dalam lembah hitam. Di sana bersemayam makhluk halus jenis apa saja yang senantiasa menarik umat manusia dalam kesesatan. Penjaga hutan itu tak bisa berbuat banyak, tempat itu memang turun temurun oleh guru dan kakak seperguruannya disebut sebagai gerbang neraka. Gayatri—gadis yang berasal dari perguruan yang sama dengan Gandari hanya bisa membuat tabir pelindung agar makhluk menyeramkan dengan wujud serba hitam tak ke luar mengganggu warga desa. Ia sendiri sebenarnya takut menghadang makhluk gaib itu, sebab baru kali itu ia jumpai dengan wujud yang menjijikkan. Lendir hitam mengalir dari sekujur tubuhnya. Tak ingin membuang waktu, adik seperguruan Nirmala itu melompat dari satu dahan ke dahan lain. Ia menuju tepi hutan lembah hitam. Menambah ketebalan tabir gaib agar makhluk itu tak bisa menembusnya. Biarlah ia yang terkurung di sana bersamanya, tak apa,
Bagian 2 Bertemu Ratu Maulana menghentikan kudanya ketika ia sampai di depan makam kerajaan yang dijaga oleh beberapa prajurit. Bisa dihitung dengan sebelah tangannya berapa kali ia pernah ke sana. Gandari dulu selalu berat hati ketika ia ingin mengunjungi ayah kandungnya yang telah lama tiada. Selain itu, begitu susah untuk masuk ke makam, ia akan ditanyai dan diperiksa terlebih dahulu walau ia juga seorang pangeran yang terbuang. Benar saja, baru akan memasuki wilayah yang dianggap keramat tersebut, ia sudah dihadang, hingga suara seorang wanita membuat beberapa prajurit menjauh darinya. “Lama tak bertemu, Putraku,” ujar Prameswari yang baru saja ke luar dari makam kerajaan. Maulana hendak mencium tangan ratu yang baru saja melepaskan takhtanya, tetapi wanita itu berpaling. Ia tak mau kulitnya yang halus disentuh oleh rakyat jelata seperti putra tirinya itu. Jadilah Maulana seperti menggenggam angin di tangannya. “Biarkan dia masuk. Dia bukan ancaman!” perintah Prameswari pada
Bagian 3 Pulau Seberang Syarif dan Gandari berdiri di tepi laut, menunggu kedatangan kapal yang akan membawa mereka berlayar ke pulau seberang. Bekas penyihir tersebut merasakan amis aroma pantai untuk pertama kalinya, sebab sejak kecil sampai belasan tahun menjadi istri ulama ia hanya berkutat antara hutan dan rumah saja. “Indah juga di luar sini, ya? Pantas saja Cut Abang betah berlama-lama ke luar pulau dan pulang dalam jangka waktu yang sangat lama!” “Ya Allah, Abang, kan, pergi ada tujuannya, demi dakwah, bukan untuk menikmati pemandangan,” balas ulama itu menanggapi keluhan istrinya. “Ya, ya, ya, aku hanya nomor dua dalam hidupmu. Harus selalu mengalah dibandingkan tugas jangka panjangmu,” ucap wanita buta itu sembari merapikan kerudungnya yang dimainkan angin. “Sedikit pun tak pernah aku menganggapmu yang kedua dalam hidupku, justru kau itu—“ “Sudahlah, aku malas memulai perdebatan!” ketus wanita itu pada Syarif. “Astagfirullahhaladzim, yang memulai terlebih dahulu siap
Bagian 4 Pasrah Sekian waktu lamanya Syarif terdiam di depan rumah tuan tabib, ia tak meyangka semua usahanya sia-sia setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Namun, manusia hanya bisa berusaha saja, hasil akhir bukan kuasanya lagi. “Bagaimana, Cut Abang, kenapa dari tadi diam saja?” tanya Gandari ketika suaminya tak mengucapkan sepatah kata pun. “Dinda, sepertinya kita harus berikhtiar lebih keras lagi. Tuan Tabib telah meninggal. Kau bersabarlah, yakin kalau jalan pengobatan lain masih bisa ditempuh,” jawab lelaki itu dengan menahan sesak di dadanya. “Iya, tak apa-apa. Kalau begitu kita kembali saja. Tak tenang hatiku meninggalkan anak kita dengan orang lain.” Wanita itu berbohong, sejujurnya sejak tadi malam ia sudah merasakan nyeri di matanya semakin menjadi. Namun, lagi-lagi ia harus tahan sebab tak ingin membuat suaminya semakin risau saja. Dua orang itu beruntung, karena kapal masih bersandar di tepi pantai. Gegas saja mereka berlayar kembali sembari memikirkan
Bagian 5 Pesan Terakhir Demam Gandari semakin menjadi, ditambah rasa nyeri di matanya yang tak bisa ia lukiskan dengan kata-kata lagi. Wanita itu menyesal telah menyiksa putra pertamanya secara membabi buta. Seharusnya ia tak menuruti amarah kala itu, hingga tanpa sadar telah melukai lahiriah Asmarandana. Syarif menyelimutinya dengan kain panjang berlapis-lapis. Namun, gigil pada tubuh Gandari seakan-akan tak hendak hengkang dari tubuhnya. Tak kurang rasanya obat yang diberikan tabib ia minum selama dua hari terakhir, tetapi demamnya justru semakin parah. Wanita itu kerap menangis tiba-tiba. Jalan hidupnya dari masa kecil di perguruan sihir putih sampai menjadi penjaga hutan, penyihir kejam dan seorang istri ulama terus berputar-putar di kepalanya. Sekali lagi ia menyesal karena telah sangat jahat dengan orang-orang yang tak ada sangkut paut dengan dendamnya dulu. “Bawa aku ke makam anak dan istri Danur Seta, aku ingin minta maaf pada mereka,” ujar Gandari di dalam selimut. Namun,