Bagian 38 Kembali Pulang“Sudah tiga hari, Gusti Prabu. Kami menunggu jawabanmu. Lagi pula Gusti Ratu sudah meninggalkanmu sendirian, bukan? Jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk menolak lamaran dariku. Percayalah, putriku gadis terpandang di Samudra Pasai.” Panglima Rangkem memaksakan kehendaknya pada Maulana. “Haruskah sekarang?” tanya Maulana dengan menarik napas panjang. Sesak di dadanya karena kehilangan Gayatri tidak mudah bahkan rasanya tidak mungkin untuk diobati. “Seorang laki-laki bebas untuk menikah kapan saja yang ia mau. Tak perlu meminta pendapat istri. Kita punya kebebasan untuk melakukannya. Hak istimewa yang diberikan Allah pada kita. Sekalipun istri Gusti Ratu baru saja meninggal, tak jadi soal, semuanya halal untuk dikerjakan.” “Benar, Panglima, aku akui semua yang kau katakan benar. Tapi ayah sambungku yang juga seorang guru pernah berpesan, bahwa kata halal juga beriringan dengan kata tayyiban.” Panglima Rangkem diam di tempatnya. Sang juru bicara menyikut di
Ending Hidup yang Baru "Tapi, Paman. Aku merasa tak sepadan dengan Isnani, aku hanya laki-laki biasa tanpa harta, pekerjaanku juga hanya ke sawah dan ladang saja. Apa Paman tak malu nantinya?" Maulana mengutarakan siapa dirinya. Meski keturunan raja, ia lebih memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa"Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi itu semua tergantung pada Isnani juga. Kalau dia menerimamu, kalau tidak ya entah apalagi alasannya menolak sekian banyak pinangan yang berkali-kali datang." Hasan berdiri. Ia tinggalkan sejenak Maulana di luar, membicarakan semua pada istrinya dan Isnani. "Dijodohkan lagi?" Kesal Isnani dengan perkataan ayahnya barusan."Ya disuruh pilih sendiri tak pernah mau. Nak, kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Pikirkan putramu juga. Akbar itu haus kasih sayang seorang Ayah. Tak kau lihatkah dia begitu merengek minta ditimang oleh murid-murid di pondok." Jelas Ibu Isnani pada putrinya. "Siapa orangnya? Ananda tak mau kalau dari kalangan penc
Extra Part Alam lain Sejak moksa ke alam gaib, tak terhitung sudah berapa kali Gayatri menangis. Ia menyesal mengambil keputusan terburu-buru. Apalagi di alam lain ia tak mengenal siapa pun. Seorang guru yang di dunia sudah ia anggap sebagai ibunya lebih memilih bermeditasi dan tak menghiraukan semua keluh kesahnya. Penyihir itu hanya bisa meratap, ia tak bisa lagi kembali ke dunia tempatnya bersama dengan Maulana. Tubuhnya sudah tembus pandang. Beberapa kali ia perhatikan ternyata suaminya juga sama rapuh seperti dirinya. Sesal bukan kepalang yang ia rasakan. Seharusnya mereka tetap bersama saling menguatkan bukan saling menjauh. Kini ia tak bisa lagi menyentuh Maulana, Gayatri hanya bisa memperhatikan saja. Sejak menyesali semua keputuannya, wanita itu telah membuka hatinya. Ia tak lagi takut dengan suara adzan atau pun suara orang mengaji. Ia baru tahu di alam gaib sana ternyata banyak yang seagama dengan suaminya. Dipikirnya semua sama iblis seperti Sila dan Sita. Ternyata masi
Bagian 1 Sang Penari Hutan Lembah Hitam yang telah berumur ribuan tahun tersebut telah menjadi saksi bisu banyak ritual sesat di dalamnya. Salah satunya yang akan digelar malam itu. Malam di mana bulan purnama sedang bersinar dengan angkuhnya. Gusti Prabu Atma Prabangkara tengah menanti kedatangan seorang penari yang akan melengkapi ritual panjang umurnya. Lelaki yang menjadi raja di Kerajaan Giri Dwipa tersebut telah berusia melewati 100 tahun, hanya ia sendiri yang tahu pasti berapa usianya. Meski demikian Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap terlihat awet muda dan gagah. Kini, ritual kesekian kalinya digelar, seorang penyihir telah menanti, beserta gamelan dan alat musik lainnya. Tak luput pula sebuah persembahan yang akan membuat umur dan kesaktian sang prabu semakin bertambah panjang. Gendang ditabuhkan, sang penyihir mengangkat kedua tangannya. Ia memuja ke arah bulan purnama, gamelan pun tak luput dibunyikan. Sang prabu memperhatikan dari singgasananya sembari menarik napas p
Bagian 2 Gusti Ratu Arunika Baiduri tersadar dalam pangkuan Gusti Prabu Atma Prabangkara. Namun, ia tak berani bergerak. Ditambah bau anyir darah di sekujur sang prabu yang nyaris membuatnya muntah, membuatnya terpaksa pura-pura tidur sampai kereta itu menepi di gerbang kerajaan. ‘Mati aku, mulai saat ini aku benar-benar akan menjadi pemuas ranjangnya saja,’ gumam gadis itu dalam hatinya. Ia diam saja saat diangkat sang prabu dengan kedua tangannya. Sedikit mengintip penari itu dari matanya. Istana Giri Dwipa begitu luas dan megah, tidak seberapa dibandingkan rumah sekaligus sanggar menarinya. Ia pandang setiap dayang wanita yang ada di dalam istana. Arunika menangkap beberapa jejak lebam di tubuh para pelayan itu. Entah apa yang menjadi sebab, seperti mendapatkan siksaan saja. Sedikit yang Arunika dengar tentang sang prabu, bahwa lelaki penguasa itu suka mengumpulkan banyak perempuan. Terserah akan diapakan, sebab ia penguasa yang telah membeli kesetiaan mereka. ‘Biba-bisa aku b
Bagian 3 Lelaki Keturunan Yaman Sejak ditinggalkan oleh Patih Aditya, banyak sekali perubahan yang dibuat oleh Gusti Ratu Arunika Baiduri. Istana itu semakin banyak tari-tarian yang ia ciptakan. Para petinggi istana hanya bisa menerima saja, sebab yang dilakukan oleh sang ratu juga tidak mengubah tradisi sama sekali. Begitu juga dengan beberapa dayang wanita yang kerap kali menjadi sasaran nafsu dan birahi gusti prabu, selama sang raja sakit, mereka tak lagi merasakan penderitaan. Tubuh para dayang tak lagi lebam akibat disiksa sebelum dibawa ke ranjang. Mereka mulai bisa tersenyum, bahkan berharap agar lelaki bengis itu tak usah sadarkan diri lagi. Seperti itu pula isi hati Gusti Ratu Arunika. Ia lebih memiliih menjadi perawan tua yang suci terjaga, daripada disentuh oleh lelaki kejam seperti yang kini sedang tidur di sebelahnya. “Kanda,” panggil sang ratu dengan rasa malas, “mimpi indahlah di sana, kalau perlu jangan bangun lagi,” ucap penari itu untuk yang kesekian kalinya. Lalu
Bagian 4 Pertanyaan Tersenyum Gusti Ratu Arunika, ia suka memandang wajah Azam. Lelaki keturunan Yaman dengan nama lengkap Teuku Azam Fachrurrazi itu memang memiliki wajah putih bersih seperti kakeknya, hidung mancung dan mata agak kebiruan. Selama di istana, Arunika hanya memandang laki-laki berperawakan terkutuk saja. Maksudnya, memang mereka tampan dan gagah, hanya saja perangainya dengan para wanita yang luar biasa bedebah. Hingga membuat penari itu muak. Dan baru kali ini ada yang menjaga pandangan ketika ia datang. Tergugahlah hati penari suci itu. Rasanya ia harus menyambutnya dengan lebih baik lagi. Azzam kemudian menyerahkan surat penawaran penyebaran ajaran agama Islam pada salah satu petinggi istana yang laki-laki, lalu diulurkan pada dayang sang ratu hingga sampai ke tangan Arunika sendiri. Tertegun sedikit sang ratu, ia tak bisa membaca apa yang sudah dituliskan juru tulis Kesultanan Samudra Pasai. Jenis hurufnya berbeda. Lama jadinya ia diam membisu, ingin mengatakan
Tak perlu menunggu waktu lama, tiga orang utusan dari Samudra Pasai itu langsung mempersiapkan diri untuk shalat meminta hujan. Ya, hanya diri mereka saja yang diperlukan, tidak ada ritual apa pun atau tumbal seperti yang disebutkan ratu tadi. “Apakah mereka benar-benar bisa dipercaya?” tanya Gusti Ratu dari singgasananya. Ia kemudian meminta agar pelayannya menyiapkan tempat. Ia ingin melihat dari dekat bagaimana caranya tiga orang alim ulama itu meminta hujan. Kursi kayu dibawa oleh dua dayang, lalu Arunika memperhatika dari dekat apa saja yang dikerjakan oleh Azam dan dua adik sepondoknya. Tak hanya sang ratu saja, beberapa petinggi istana pun mulai memperhatikan keanehan gerakan yang dikerjakan tiga orang itu. Terlalu asing, tak akrab di mata para penyembah arwah leluhur itu. Sesekali mereka mengerutkan kening, sesekali pula tertawa, mereka bersujud pada sesuatu yang tak tampak di depan mata. Dikatakan dengan pohon, tiga orang itu tak menyembah langsung ke pepohonan. “Mungkin m