Bagian 1
Sang PenariHutan Lembah Hitam yang telah berumur ribuan tahun tersebut telah menjadi saksi bisu banyak ritual sesat di dalamnya. Salah satunya yang akan digelar malam itu. Malam di mana bulan purnama sedang bersinar dengan angkuhnya. Gusti Prabu Atma Prabangkara tengah menanti kedatangan seorang penari yang akan melengkapi ritual panjang umurnya.Lelaki yang menjadi raja di Kerajaan Giri Dwipa tersebut telah berusia melewati 100 tahun, hanya ia sendiri yang tahu pasti berapa usianya. Meski demikian Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap terlihat awet muda dan gagah. Kini, ritual kesekian kalinya digelar, seorang penyihir telah menanti, beserta gamelan dan alat musik lainnya. Tak luput pula sebuah persembahan yang akan membuat umur dan kesaktian sang prabu semakin bertambah panjang.Gendang ditabuhkan, sang penyihir mengangkat kedua tangannya. Ia memuja ke arah bulan purnama, gamelan pun tak luput dibunyikan. Sang prabu memperhatikan dari singgasananya sembari menarik napas panjang. Sudah menjadi tradisi penari yang akan berlenggak-lenggok di depannya akan ia jadikan permaisuri berikutnya. Menggantikan istrinya yang sudah tua terlebih dahulu dan mati.Hentak irama gamelan dan gending semakin naik, lalu muncul seorang penari perempuan mengenakan kemben dan kain panjang sampai ke mata kaki dan belahan tinggi sampai ke betis. Hiasan di kepalanya berasal dari rangkaian bulu merpati yang disususun rapi. Tak lupa pula melati disematkan di atas kepala. Sang penari mulai bergerak. Awalnya gerakan tangan dan kakinya masih lemah lembut sesuai dengan alunan gending yang terdengar.Penari tersebut menghaturkan hormat pada sang prabu. Perempuan itu tersenyum, bibirnya yang masih ranum merekah hingga membuat penguasa di depannya tak dapat mengatur degup jantungnya. Penari yang memiliki lekuk tubuh amat sempurna, melenggak-lenggokkan pinggulnya dengan perlahan hingga akhirnya ia bersujud di hadapan sang prabu.Gustri Prabu Atma Prabangkara memintanya bangkit, kemudian penari itu melemparkan senyum kembali, tak lupa pula mengalungkan selendangnya ke leher sang penguasa. Lelaki mana yang tak akan tergoda dengan gerakan sedemikian rupa?“Selesai ritual pemujaan ini, siapkan dia langsung di kamarku. Aku tak peduli, persetan dengan semua upacara penobatan. Aku ingin dia malam ini juga,” ujar sang prabu pada patihnya. Tangan itu saling meremas jemari melihat gerakan indah sang penari yang ia belum ketahui namanya. Hatinya sudah tak tahan ingin segera bersama dalam lautan asmara. Sang prabu hanya memiliki satu permaisuri, tapi gundiknya juga tak terhitung jumlahnya. Semua perempuan dalam istana telah menjadi miliknya. Sesuka hati ia gunakan kapan pun ia mau. Sang prabu sesuka hati membawa wanita mana pun ke atas ranjangnya. Tak ada yang berani membantah. Sebab ia kejam dan bengis. Bahkan tumbal malam itu pun merupakan bayi laki-laki tak berdosa, tak hanya satu.“Baik, Gusti Prabu. Setelah itu penobatan permaisuri akan tetap dilakukan. Kau dan dia seperti biasa akan menjadi sepasang kekasih seperti sebelumnya,” balas Patih Aditya pada tuannya.“Aku sudah tak sabar memanaskan ranjangku bersamanya. Gadis muda, usianya pasti masih belasan.” Sang prabu tertawa, ia tak menghiraukan tatapan para iblis di Hutan Lembah Hitam padanya. Lagi pula mereka sama kejamnya.Tak lama kemudian, satu entakan kaki dari sang penyihir naik menjadi lebih tinggi. Penari tersebut melempar selendangnya tepat di wajah sang prabu. Lelaki itu menyambut dan mencium wangi kain tersebut sambil memejamkan mata, membayangkan perempuan muda itu sudah jatuh ke dalam pelukannya.Lima orang penari di bawah perintah sang penyihir masuk mengelilingi penari perempuan tersebut. Genderang semakin ditabuhkan, tengah malam sebentar lagi akan bertakhta. Sang prabu akan semakin berumur panjang. Penari tersebut melakukan gerakan tarian yang lebih keras dan tegas. Kemudian ia mengambil tombak yang telah disediakan. Melakukan gerakan memutar, serupa menghadapi musuh di medan perang. Alunan gendang pun semakin ramai dan riuh terdengar.Satu kali penari perempuan itu melakukan kesalahan gerakan, tapi tidak ada yang menyadarinya. Ritual tetap dilanjutkan seperti biasanya. Kedua kalinya kesalahan dilakukan lagi, penari tersebut gugup, karena sayup-sayup ia dengar suara tangis bayi di telinganya. Ia tidak pernah diberi tahu menari untuk apa. Yang ia tahu hanya menerima bayaran dan setelah itu akan diboyong ke istana sebagai pemuas sang prabu. Ketiga kalinya, gerakan kakinya salah. Namun, dengan cepat penari tersebut menutupi kesalahannnya. Ia tetap berputar-putar dengan tombaknya, seumpama menghalau musuh yang hendak membunuh sang prabu.Gusti Prabu Atma Prabangkara bertepuk tangan ketika melihat penari tersebut bergerak dengan lincahnya. Lalu satu pukulan gendang dari sang penyihir menandakan tarian persembahan tersebut telah berakhir. Sang penari bersujud, keningnya ia letakkan di tanah. Begitu pula dengan penari dan pemusik lainnya. Sang penyihir membaca mantera dengan suara lantangnya. Gusti prabu sudah paham apa langkah selanjutnya. Ia berjalan lalu berdiri tepat di depan penari perempuan tersebut sujud. Semuanya menanti dengan harap-harap cemas, termasuk Patih Aditya.Peti yang sedari tadi berada di tengah-tengah ritual terbuka. Tangan sang penyihir bergerak memainkan tongkatnya. Lalu tiga orang bayi laki-laki terangkat dengan sendirinya dari sana. Penari perempuan tersebut berdegup kencang jatungnya bukan main. Teringat dia dengan adik laki-lakinya yang belum lama lahir.‘Kenapa aku harus terjebak dalam ritual keji ini,’ ucap penari tersebut dalam hatinya.“Lakukanlah. Aku sudah siap.” Gusti Prabu Atma Pranbangkara membuka kedua tangannya. Kemudian sang penyihir mengambil belati dari pinggangnya. Ia tusuk punggung bayi itu tanpa ampun. Pecah sudah tangis di dalam hutan tersebut. Darah tersebut digunakan sang prabu untuk mandi dan membasuh seluruh tubuhnya, sampai bayi laki-laki tanpa dosa tersebut tewas tanpa tahu apa kesalahannya.“Kau akan berumur amat panjang, Gusti Prabu. Jangan lupa ulangi lagi ritual ini 12 purnama kemudian. Dengan bayi laki-laki sehat dan darah yang terjaga. Kau tak akan mati dan sakti sampai kapan pun,” ujar sang penyihir. Kaki tangan iblis itu kemudian menghilang, masuk ke dalam Hutan Lembah Hitam bersama lima penari bawahannya.Bayi laki-laki tersebut jatuh di kaki sang prabu. Penari perempuan itu melirik sekilas, pucat wajahnya, kemudian ia pun jatuh tak sadarkan diri.“Patih Aditya, kau urus semua ini. Aku ingin pulang dan bersama dengannya. Wajahnya halus sekali. Dia pasti merawat dirinya sejak kecil. Siapa namanya?” tanya sang prabu pada wakilnya.“Arunika Baiduri, Gusti Prabu. Dia berasal dari pulau seberang. Penari terbaik yang dibesarkan dengan sopan santun, tata krama juga terjaga kesuciannya. Aku sudah membelinya dengan harga yang mahal. Dia pasti bisa melayanimu malam ini, Gusti Prabu.”“Baguslah kalau begitu. Aku tak pernah bisa kekurangan satu wanita walau satu malam pun.” Sang prabu mengangkat tubuh Arunika yang tak sadarkan diri, lalu masuk ke dalam kereta kencananya. Kendaraan itu berjalan sesuai titah sang penguasa. Terus membelah hutan bersama beberapa pengawal terpilih, hingga sampai ke Kerajaan Giri Dwipa. Tak sabar sang prabu ingin mencicipi gadis dalam pangkuannya. Namun, saat Arunika telah dipersiapkan dengan sutra dan bunga-bunga harum merekah dan sang prabu juga sudah membersihkan dirinya, sesuatu yang tak pernah diperhitungkan terjadi.***Enam orang rombongan ulama muda dari Kerajaan Samudra Pasai sedang beristirahat di tepi sungai. Sungai yang merupakan terusan dari Hutan Lembah Hitam. Rombongan itu dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Mereka baru saja usai menunaikan shalat Ashar. Salah satunya kemudian melihat seorang laki-laki hanyut, lalu membawanya ke tepian.“Bang Syarif, bagaimana ini, sepertinya dia masih hidup. Tapi betisnya hitam begini. Apa mungkin terluka?” tanya Fajar pada yang memimpin perjalanan.Syarif melipat kain alasnya sholat, lalu berjalan ke sana. “Yang kudengar, wilayah ini memiliki penyihir yang amat kejam tapi kita tidak bisa juga berprasangka. Lebih baik kita tolong saja. Bawa ke desa dan cari tabib sampai dia sadar,” ujar lelaki itu. Ia pindahkan tubuh lelaki yang tak sadarkan diri ke atas kudanya.Tiga orang ulama muda lainnya datang mendekat. Mereka mendengarkan apa kata sang pemimpin dengan baik. Namun, apa yang dikatakan Syarif sedikit membuat seseorang terkejut. Seseorang yang belum siap diberi amanah yang amat berat. Ia merasa tak mampu mengembannya.“Kita bagi rombongan menjadi dua. Tiga orang ke Kerajaan Hambu Aer, dalam hal ini aku, Fajar dan Mahesa. Tiga lagi ke Kerajaan Giri Dwipa, dalam hal ini, Azam, Nuh dan Rahmat.” Syarif menyerahkan surat penawaran kepada Azam, sebab lelaki itu yang usianya berada di bawahnya. Yang lain masih sangat muda dan belum cakap dalam memimpin. Ia sudah kenal betul bagaimana Azam.“Kenapa harus aku, Bang. Aku belum siap memimpin perjalanan seorang diri. Aku ikut denganmu saja, bagaimana?” Azam mencoba tawar-menawar. Ia sudah dua kali ikut Syarif selama perjalanan, rasanya belum siap dilepas seorang diri.“Siap. Kapan lagi kau akan belajar kalau tidak dari sekarang. Bismillah saja, lakukan sebisamu. Kerajaan Giri Dwipa hanya sedikit yang kudengar tentang mereka. Rajanya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Jika mereka melakukan ritual sesat. Tugasmu menyadarkan, jika tak mau juga minta bantuan pada Sultan agar mengirim pasukan tambahan. Aku juga punya tugas sendiri, Kerajaan Hambu Aer juga bukan mudah untuk ditaklukkan. Semoga Allah merahmati langkah kita. Semoga kita semua selamat dalam menyebarkan Islam.” Syarif kemudian memanjatkan doa-dosa keselamatan, dan diamini oleh yang lain.Mereka berpisah, tiga orang rombongan Syarif mengambil arah kanan, sedangkan Azam masih berdiam diri di tepi sungai.“Kenapa diam saja, Bang, ayo, engkau yang diberi kepercayaan oleh Bang Syarif.” Teguran dari Rahmat membuat Azam menarik napas panjang. Lekas ia naik kuda dan diikuti oleh dua orang adik seperguruannya. Mereka berkuda selama beberapa waktu, dan akhirnya sampai di desa yang berada dalam Kerajaan Giri Dwipa. Desa itu begitu suram, wajah penduduknya terlihat sedih dan bermuram durja. Azam dan dua orang ulama tersebut memutuskan turun dari kuda, berjalan kaki demi mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Kenapa dari tadi aku hanya melihat anak perempuan saja, ya? Apa anak laki-laki tidak ada yang lahir?” bisik Nuh.“Tidak tahu juga. Tak banyak kabar yang didapatkan tentang kerajaan ini. Semoga saja tidak banyak kesulitan yang menerpa kita.” Azam melirik ke kiri dan kanan, setiap rumah tersebut diikat oleh kain merah. Entah untuk apa.Mereka berjalan kaki dan beristirahat ketika waktu sholat sudah masuk, begitu terus hingga beberapa desa dilewati dan semuanya sama saja. Sama-sama suram dan tampak layu. Hingga akhirnya tiga orang ulama utusan Samudra Pasai itu sampai di depan gerbang kerajaan. Kerajaan Giri Dwipa yang kini diperintah oleh seorang ratu.Bersambung …Bagian 2 Gusti Ratu Arunika Baiduri tersadar dalam pangkuan Gusti Prabu Atma Prabangkara. Namun, ia tak berani bergerak. Ditambah bau anyir darah di sekujur sang prabu yang nyaris membuatnya muntah, membuatnya terpaksa pura-pura tidur sampai kereta itu menepi di gerbang kerajaan. ‘Mati aku, mulai saat ini aku benar-benar akan menjadi pemuas ranjangnya saja,’ gumam gadis itu dalam hatinya. Ia diam saja saat diangkat sang prabu dengan kedua tangannya. Sedikit mengintip penari itu dari matanya. Istana Giri Dwipa begitu luas dan megah, tidak seberapa dibandingkan rumah sekaligus sanggar menarinya. Ia pandang setiap dayang wanita yang ada di dalam istana. Arunika menangkap beberapa jejak lebam di tubuh para pelayan itu. Entah apa yang menjadi sebab, seperti mendapatkan siksaan saja. Sedikit yang Arunika dengar tentang sang prabu, bahwa lelaki penguasa itu suka mengumpulkan banyak perempuan. Terserah akan diapakan, sebab ia penguasa yang telah membeli kesetiaan mereka. ‘Biba-bisa aku b
Bagian 3 Lelaki Keturunan Yaman Sejak ditinggalkan oleh Patih Aditya, banyak sekali perubahan yang dibuat oleh Gusti Ratu Arunika Baiduri. Istana itu semakin banyak tari-tarian yang ia ciptakan. Para petinggi istana hanya bisa menerima saja, sebab yang dilakukan oleh sang ratu juga tidak mengubah tradisi sama sekali. Begitu juga dengan beberapa dayang wanita yang kerap kali menjadi sasaran nafsu dan birahi gusti prabu, selama sang raja sakit, mereka tak lagi merasakan penderitaan. Tubuh para dayang tak lagi lebam akibat disiksa sebelum dibawa ke ranjang. Mereka mulai bisa tersenyum, bahkan berharap agar lelaki bengis itu tak usah sadarkan diri lagi. Seperti itu pula isi hati Gusti Ratu Arunika. Ia lebih memiliih menjadi perawan tua yang suci terjaga, daripada disentuh oleh lelaki kejam seperti yang kini sedang tidur di sebelahnya. “Kanda,” panggil sang ratu dengan rasa malas, “mimpi indahlah di sana, kalau perlu jangan bangun lagi,” ucap penari itu untuk yang kesekian kalinya. Lalu
Bagian 4 Pertanyaan Tersenyum Gusti Ratu Arunika, ia suka memandang wajah Azam. Lelaki keturunan Yaman dengan nama lengkap Teuku Azam Fachrurrazi itu memang memiliki wajah putih bersih seperti kakeknya, hidung mancung dan mata agak kebiruan. Selama di istana, Arunika hanya memandang laki-laki berperawakan terkutuk saja. Maksudnya, memang mereka tampan dan gagah, hanya saja perangainya dengan para wanita yang luar biasa bedebah. Hingga membuat penari itu muak. Dan baru kali ini ada yang menjaga pandangan ketika ia datang. Tergugahlah hati penari suci itu. Rasanya ia harus menyambutnya dengan lebih baik lagi. Azzam kemudian menyerahkan surat penawaran penyebaran ajaran agama Islam pada salah satu petinggi istana yang laki-laki, lalu diulurkan pada dayang sang ratu hingga sampai ke tangan Arunika sendiri. Tertegun sedikit sang ratu, ia tak bisa membaca apa yang sudah dituliskan juru tulis Kesultanan Samudra Pasai. Jenis hurufnya berbeda. Lama jadinya ia diam membisu, ingin mengatakan
Tak perlu menunggu waktu lama, tiga orang utusan dari Samudra Pasai itu langsung mempersiapkan diri untuk shalat meminta hujan. Ya, hanya diri mereka saja yang diperlukan, tidak ada ritual apa pun atau tumbal seperti yang disebutkan ratu tadi. “Apakah mereka benar-benar bisa dipercaya?” tanya Gusti Ratu dari singgasananya. Ia kemudian meminta agar pelayannya menyiapkan tempat. Ia ingin melihat dari dekat bagaimana caranya tiga orang alim ulama itu meminta hujan. Kursi kayu dibawa oleh dua dayang, lalu Arunika memperhatika dari dekat apa saja yang dikerjakan oleh Azam dan dua adik sepondoknya. Tak hanya sang ratu saja, beberapa petinggi istana pun mulai memperhatikan keanehan gerakan yang dikerjakan tiga orang itu. Terlalu asing, tak akrab di mata para penyembah arwah leluhur itu. Sesekali mereka mengerutkan kening, sesekali pula tertawa, mereka bersujud pada sesuatu yang tak tampak di depan mata. Dikatakan dengan pohon, tiga orang itu tak menyembah langsung ke pepohonan. “Mungkin m
Pagi itu, Gusti Ratu Arunika didandani seperti biasa oleh para dayang. Beberapa kali penari tersebut bersin-bersin. Sebab dari malam ia bak orang gila yang menari tanpa henti di bawah guyuran air hujan. Akibatnya ia sedikit demam dan pusing kepalanya. Padahal ia harus menetapi janjinya untuk membincangkan masalah kedatangan utusan Samudra Pasai.“Kalau masih sakit sebaiknya istirahat saja, Gusti Ratu,” pinta Puspa. Dari tadi hidung sang ratu ia perhatikan meler terus sampai kemerahan. “Jangan, bisa hilang wibawaku di depan mereka,” jawab Arunika. Bersin lagi dirinya, bahkan kini tubuhnya agak menggigil. “Ayo kita temui mereka. Aku sudah janji dari kemaren.” Gustri Ratu berjalan, agak terhuyung dirinya lalu dipapah oleh Puspa dan Jali. Sepanjang perjalanan ia perhatikan tanah di sekitar istana sudah becek karena diguyur hujan deras. Tanaman yang tadinya layu dan kering menjadi segar. Kupu-kupu mulai hinggap di bunga-bunga yang mulai merekah. Begitu juga dengan Azam dan dua temannya.
Sudah dua hari sejak pulang dari mengunjungi rakyatnya, Gusti Ratu Arunika Baiduri demamnya semakin menjadi. Ia hanya berbaring saja semberi memijit kepalanya. Penari itu diurus oleh Puspa dan Jali. Sedangkan Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap tidur seperti orang mati. Tak hanya sang ratu saja yang sakit. Lelaki keturunan Yaman itu juga meriang. Jadi selama dua hari, dua orang berbeda kepentingan itu sama-sama melepas lelah terlebih dahulu. Bedanya, Azam hanya mengurus dirinya sendiri saja. Ia hanya berbaring saja sampai hilang pusing di kepalanya. “Nampaknya, abang kita ini benar-benar meriang,” ujar Rahmat ketika masuk ke dalam kamar Azam. Ia menyodorkan makanan yang dibawa oleh para dayang. Atas permintaan mereka pula hanya ingin memakan sayuran tanpa ikan atau daging saja, demi menjaga kehalalan. “Memang ada meriang yang main-main?” tanya Nuh ketika ia ikut menuangkan air. “Meriang yang diderita oleh abang kita ini yang tingkat tinggi. Maksudnya, merindukan kasing sayang, dari
“Siapa wanita itu, mengapa gerakan tariannya begitu indah. Terlihat lebih segala-galanya dariku.” Arunika sadar, ia mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Wanita di dalam penjara tersebut rambutnya telah banyak uban, tapi wajahnya masih menawan. Ia menengguk secawan air putih, tenggorokannya serasa dialiri oleh kesejukan, air yang berasal dari hujan yang masih terus turun walau tak deras. “Jika para tuan itu aku tahan tinggal di sini, tentu setiap musim kering bisa meminta hujan, bukan? Tapi aku juga jadi tak memikirkan mereka, bukan tidak mungkin ada yang akan mencoba membunuh tiga orang itu tanpa sepengetahuanku. Aku hanya boneka di sini, tidak punya kuasa apa-apa. Para bangsawan seringnya hanya memandang lekuk tubuhku saja.” Sang ratu menghela napas panjang. Jauh pikirannya menerawang. Andai ia tak dijual oleh kedua orang tuanya, tentu ia tak akan mengalami derita seperti sekarang. Namun, jika ia masih hanya berkutat antara rumah dan sanggar saja, ia tak akan pernah juga ber
Ditanya hal seperti itu, bawahan Aditya langsung pergi begitu saja tanpa izin dari Gusti Ratu. Lagi-lagi sang ratu merasa terhina diperlakukan demikian. “Baiklah, kalau kau tak mau memberitahuku, aku cari tahu saja sendiri.” Sang ratu memperhatikan kepergian lelaki itu, ia menghilang di antara taman dan pepohonan. Di sana petunjuk terakhir ratu bisa menemukannya. Azam hanya memperhatikan saja dari belakang. Ia turut prihatin dengan bagaimana kehidupan perempuan di dalam istana, yang ia curi dengar dari beberapa lelaki. Hanya menjadi pemuas saja. Begitu jauh dari kemuliaan. Bahkan bisa dipakai bergantian, sesuka hati lelaki mana yang akan memilih. Sang ratu berjalan sampai ke balai kerajaan. Di sana ia meminta Puspa dan Jali membantu para utusan itu untuk menyiapkan tempat belajar. Lagi-lagi mereka menolak. Beberapa waktu menunggu tak ada yang datang untuk belajar juga, semuanya sepakat mengikuti perintah para bangsawan agar tak menghiraukan kehadiran utusan tersebut. “Puspa, Jali,