Bagian 2
Gusti RatuArunika Baiduri tersadar dalam pangkuan Gusti Prabu Atma Prabangkara. Namun, ia tak berani bergerak. Ditambah bau anyir darah di sekujur sang prabu yang nyaris membuatnya muntah, membuatnya terpaksa pura-pura tidur sampai kereta itu menepi di gerbang kerajaan.‘Mati aku, mulai saat ini aku benar-benar akan menjadi pemuas ranjangnya saja,’ gumam gadis itu dalam hatinya.Ia diam saja saat diangkat sang prabu dengan kedua tangannya. Sedikit mengintip penari itu dari matanya. Istana Giri Dwipa begitu luas dan megah, tidak seberapa dibandingkan rumah sekaligus sanggar menarinya. Ia pandang setiap dayang wanita yang ada di dalam istana. Arunika menangkap beberapa jejak lebam di tubuh para pelayan itu. Entah apa yang menjadi sebab, seperti mendapatkan siksaan saja. Sedikit yang Arunika dengar tentang sang prabu, bahwa lelaki penguasa itu suka mengumpulkan banyak perempuan. Terserah akan diapakan, sebab ia penguasa yang telah membeli kesetiaan mereka.‘Biba-bisa aku bernasib sama seperti mereka. Wahai arwah para leluhur yang kupuja, tolonglah cucumu ini. Selamatkan aku dari Rahwana yang gemar menyantap manusia.’ Doa gadis tersebut dalam hatinya.“Kau sudah sadar dari tadi, bukan? Kenapa tak berkata apa-apa? Apa karena kau takut padaku?” Sang prabu sampai di depan kamarnya. Ia turunkan gadis itu di depan pintu. Para pelayan gegas membukanya, mereka sudah sangat paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Kemudian tak lama setelah itu para dayang datang, membawa Arunika untuk dipersiapkan terlebih dahulu. Begitu juga dengan sang prabu yang tubuhnya masih berlumur darah bayi.“Dandani dia sampai cantik dan wangi. Ajari dia jangan sampai ketakutan, aku tak mau banyak perlawanan nanti.” Sang prabu menyentuh dagu Arunika, gadis itu ketakutan ia bagaikan binatang buruan di tangan raksasa jahat.Para dayang membawa gadis itu bersiap. Terlebih dahulu ia disuruh berendam dalam air kembang. Tradisi yang memang senantiasa berjalan ketika sang raja membawa wanita baru ke dalam kamarnya. Penari itu hanya diam saja ketika tubuhnya digosok oleh batu kali. Rambutnya pun diberi pewangi, agar semakin menambah daya pikat pada sang raja.Setelahnya calon permaisuri tersebut diberi kain sutera berwarna merah menggoda. Rambutnya yang tadinya basah telah dirapikan, hingga setengah kering. Ditambah hiasan bunga yang sengaja disangkutan. Dua orang pelayan yang melayani Arunika dari tadi membisikkan beberapa ajaran untuk gadis itu. Ajaran agar nanti di atas ranjang ia tak lagi malu. Sang penari menutup mata, bukan karena ia malu, melainkan ia yakin nanti raksasa tersebut pasti tak akan bersikap baik dengannya. Bahkan dengan mata kepalanya sendiri ia bisa lihat bagaimana dua dayang yang melayaninya kini memiliki beberapa tangan lebam di tangan dan punggung.“Katakatan padaku, lebam ini karena apa? Apa aku akan merasakannya nanti saat harus melayani sang prabu?” tanya Arunika setelah sekian lama membisu.Dua dayang itu hanya saling melirik dan tak menjawab. Mereka takut dihukum mati oleh Gusti Prabu dan patihnya yang sama saja kejamnya. Namun, diamnya dua orang itu sudah menjadi jawaban yang jelas bagi Arunika.“Itu artinya aku hanya tinggal menunggu kematian saja di dalam istana ini?” Air mata Arunika jatuh. Dua dayang itu lekas menghapusnya. Mereka tak mau riasan calon permaisuri tersebut rusak dan sang prabu murka.“Gusti Ratu,” ujar salah satu dayang.“Aku bukan ratu, aku hanya budak pemuas nafsu,” bantah Arunika sambil menangis.“Nantinya engkau akan dinobatkan menjadi ratu,” balas para dayang itu bersamaan.“Untuk apa menggunakan makhkota sedangkan raga dan hatiku disiksa di dalam istana. Lebih baik kalian bunuh saja aku. Kukira aku hanya menjadi penari dalam ritual keagamaan saja. Nyatanya kedua orang tuaku begitu tega menjualku. Cih, bedebah semuanya!” umpat penari tersebut.“Gusti Ratu, nantinya bisa banyak bercerita pada kami. Hamba, Puspa, dan ini adik hamba Jali. Kami saudari kembar, dari lahir selalu bersama bahkan masuk istana juga sama.”Baru Arunika sadar dua dayang yang melayaninya dari tadi berwajah sama. Ia pun menarik napas panjang, hanya itu yang bisa penari itu lakukan. Selanjutnya, Puspa dan Jali mengasapi tubuh Arunika dengan wewangian. Gadis itu sudah siap untuk melayani sang prabu. Ia didudukkan di atas ranjang yang berlapis sutera dan bertabur bunga. Waktu demi waktu penari itu menanti dengan tegang, menunggu kedatangan Rahwana yang menculik Sinta dari pelukan Rama. Air matanya tak boleh tumpah, sebab bisa mengundang murka sang prabu. Hingga akhirnya pintu kamar itu terbuka.Sang prabu masuk, lelaki itu sudah bersiap juga menjadi lebih wangi dan gagah. Sejatinya setiap wanita akan tergila-gila melihat raganya yang begitu sempurna. Namun, tidak bagi Arunika, ia ketakutan. Dari kecil ia diajarkan akan senantiasa menjadi gadis suci sebagai penari persembahan untuk para leluhur. Nyatanya, kini ia sedang menanti kesuciannya direnggut secara paksa.Sang prabu menarik beberapa bunga yang dihias di rambut Arunika. Sang gadis suci itu mulai gemetar.“Bukankah para dayang sudah mengajarimu agar tak takut padaku. Aku akan membawamu melayang ke nirwana malam ini. Kau begitu muda dan menawan, bibirmu pasti terasa manis luar biasa.” Sang prabu menarik paksa wajah Arunika. Gadis itu mengulum bibirnya, mengikut naluri untuk melindungi diri.Satu tamparan kemudian melayang di wajah penari tersebut, darah mengalir di ujung bibir Arunika, hingga ia pun terjatuh di ranjang itu. Sang prabu menyusul penari tersebut, dua tangannya telah menggenggam tangan gadis suci itu. Tubuh Arunika mendadak kaku dan tak bisa bergerak, ia ketakutan memandang rupa yang berubah menjadi menyeramkan secara tiba-tiba. Ingin berteriak pun tak bisa, padahal tangannya sudah terasa sakit luar biasa.‘Inikah yang dialami oleh para dayang,’ jerit penari itu dalam hatinya.“Kau akan belajar banyak malam ini, setelahnya kau tak boleh takut lagi malam-malam berikutnya. Semakin kau takut, semakin banyak siksaan yang kuberikan di tubuhmu.” Gelak tawa sang prabu memenuhi istana Giri Dwipa malam itu. Semua prajurit dan dayang sudah paham apa yang akan terjadi. Mereka menutup kedua telinga, berpura-pura tak tahu dengan apa yang akan berlangsung.Saat sang prabu ingin merasakan manis bibir Arunika, tiba-tiba saja tubuh tersebut ambruk begitu saja. Penari tersebut sampai merasa sesak napas dibuatnya. Dengan sekuat tenaga gadis itu dorong tubuh tersebut hingga terjatuh di sampingnya. Mendadak kesadaran sang prabu hilang tanpa sebab yang jelas. Arunika merasa heran, padahal tadinya lelaki beringas tersebut begitu bernafsu dengannya.“Mungkinkah ini pertolongan dari para leluhur?” Arunika menggerakkan lima jarinya, berusaha mencari tahu apa sang prabu benar sakit atau pura-pura saja.“Tidak sadar juga. Bagus kalau begitu, mati saja kau langsung!” umpat Arunika. Namun, saat itu juga mata sang prabu terbuka. Terkejut, Arunika mundur beberapa langkah ke belakang. Tangan sang prabu nyaris mencekiknya, lalu terjatuh lagi lelaki itu sambil mengucapkan beberapa patah kata.“Kau, akan mati di tanganku.” Setelahnya sang prabu jatuh lagi tak sadarkan diri.Arunika bingung, ia kemudian membuka paksa pintu kamar tersebut. Berkali-kali memanggil para dayang, tapi tak ada yang mau datang. Mereka semua menganggap itu hanyalah permintaan tolong ketika sang gadis direnggut paksa kesuciannya. Namun, gadis itu tak habis akal. Ia bakar kain di dalam kamar itu hingga mau tak mau pintu dibuka oleh para prajurit.“Gusti Prabu tak sadarkan diri tiba-tiba saja. Bukan aku yang menyakitinya,” ujar penari tersebut. Lalu kalang kabutlah seluruh istana. Termasuk Patih Aditya yang baru saja tiba.“Apa yang kau lalukan padanya, gadis kecil?” tanya Patih Aditya padanya. Sesaat dalam tarian persembahan di dalam hutan, kaki tangan Prabu Atma Prabangkara itu memang menangkap keanehan pada diri Arunika.“Hamba tak tahu, Tuan. Bukan salah hamba, tiba-tiba saja saat dia ingin meniduriku, sang prabu terjatuh, itu saja.” Arunika menunduk tak mau kena murka patih yang membelinya dulu dengan beberapa keping emas.“Jika saja bukan amanat dari Gusti Prabu untuk menobatkanmu menjadi seorang permaisuri, sudah habis isi perutmu aku keluarkan!” ancam Patih Aditya. Lelaki itu kemudian memerintahkan semua tabib istana untuk memeriksa keadaan tuannya. Namun, sudah sepekan berlalu tak ada hasil yang didapat. Gusti prabu tetap nyenyak dalam tidur panjangnya. Entah kapan akan bangun.“Bukan mudah memasuki Hutan Lembah Hitam. Tempat itu tak selalu terbuka untuk orang sepertiku.” Sang patih duduk di singgasanya. Ia bersama lima prajurit pribadinya sedang menimbang untuk mencari cara agar sang prabu lekas sadar. Akan tetapi, untuk meninggalkan istana juga tidak bisa sembarangan. Ia harus melakukan satu hal, menyerahkan kepemimpinan pada sang ratu sebagai wakil raja, dalam hal ini ia harus melaksanakan upacara penobatan pada diri Arunika Baiduri.Dengan berat hati ditambah kecurigaan yang belum sirna, upacara ada digelar. Arunika Baiduri mengikuti rangkaian ritual demi mendapatkan gelar Gusti Ratu. Satu hari satu malam ritual digelar. Setelahnya gadis yang masih sangat belia itu dipaksa untuk duduk di singgasana oleh Patih Aditya.“Kau hanya boneka di sini. Cepat atau lambat, setelah aku kembali dan Gusti Prabu sadar, kau tak lebih hanya seonggok daging yang memuaskan hasrat sang raja saja. Sampah. Cuih!” Tak sopan memang Patih Aditya pada seorang ratu. Namun, bukan tanpa alasan ia berlaku seperti itu. Sebab Arunika bukan berasal dari kasta tinggi. Hanya seorang penari rendahan dan sudah seharusnya berakhir menjadi gundik murahan saja. Sayangnya, cinta pada pandangan pertama sang raja yang jatuh padanya, membuat gadis itu mendapat sedikit saja keberuntungan.“Kau awasi istana ini selagi aku pergi. Mungkin akan memakan waktu beberapa purnama. Belajarlah dengan baik. Setiap ada utusan yang datang jika itu menawarkan keuntungan untuk kita maka terima dan sambut mereka. Tapi jika mereka berani mengobrak-abrik tradisi leluhur kita, jangan ragu menghukum mati mereka. Kutinggalkan pasukan terbaikku di sini beberapa untukmu. Kau akan kumata-matai walau jauh. Dan ingat jauhi gudang bawah tanah. Sekalipun jangan kau injakkan kaki rendahanmu di sana. Jika kau ingin menari di sini bebas, silakan, sesuka hatimu. Paham!” Patih Aditya menggertak Arunika berulang kali. Gadis itu hanya mengangguk saja. Kemudian kaki tangan sang prabu pergi. Membawa beberapa pengawal terbaiknya untuk mencari cara menyadarkan sang raja. Gusti Ratu memandangnya dari kejauhan.“Jika ada kesempatan akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri. Kau sudah berulang kali menghinaku. Aku bukan hanya seonggok daging, aku adalah penari terbaik untuk para leluhur yang sudah tiada. Kau tak tahu sesuci dan sehebat apa aku di mata para leluhur. Semoga di dalam hutan kau tersesat, bertemu iblis dan kembali dalam waktu yang sangat lama. Bila perlu mati saja sekalian!” Arunika Baiduri menatap punggung Aditya yang semakin menjauh. Kini ia yang memegang kendali di dalam istana. Setidaknya sampai sang raja sadar, atau ada hal lain yang menimpa istana dan terutama pada diri penari suci tersebut.Bersambung …Bagian 3 Lelaki Keturunan Yaman Sejak ditinggalkan oleh Patih Aditya, banyak sekali perubahan yang dibuat oleh Gusti Ratu Arunika Baiduri. Istana itu semakin banyak tari-tarian yang ia ciptakan. Para petinggi istana hanya bisa menerima saja, sebab yang dilakukan oleh sang ratu juga tidak mengubah tradisi sama sekali. Begitu juga dengan beberapa dayang wanita yang kerap kali menjadi sasaran nafsu dan birahi gusti prabu, selama sang raja sakit, mereka tak lagi merasakan penderitaan. Tubuh para dayang tak lagi lebam akibat disiksa sebelum dibawa ke ranjang. Mereka mulai bisa tersenyum, bahkan berharap agar lelaki bengis itu tak usah sadarkan diri lagi. Seperti itu pula isi hati Gusti Ratu Arunika. Ia lebih memiliih menjadi perawan tua yang suci terjaga, daripada disentuh oleh lelaki kejam seperti yang kini sedang tidur di sebelahnya. “Kanda,” panggil sang ratu dengan rasa malas, “mimpi indahlah di sana, kalau perlu jangan bangun lagi,” ucap penari itu untuk yang kesekian kalinya. Lalu
Bagian 4 Pertanyaan Tersenyum Gusti Ratu Arunika, ia suka memandang wajah Azam. Lelaki keturunan Yaman dengan nama lengkap Teuku Azam Fachrurrazi itu memang memiliki wajah putih bersih seperti kakeknya, hidung mancung dan mata agak kebiruan. Selama di istana, Arunika hanya memandang laki-laki berperawakan terkutuk saja. Maksudnya, memang mereka tampan dan gagah, hanya saja perangainya dengan para wanita yang luar biasa bedebah. Hingga membuat penari itu muak. Dan baru kali ini ada yang menjaga pandangan ketika ia datang. Tergugahlah hati penari suci itu. Rasanya ia harus menyambutnya dengan lebih baik lagi. Azzam kemudian menyerahkan surat penawaran penyebaran ajaran agama Islam pada salah satu petinggi istana yang laki-laki, lalu diulurkan pada dayang sang ratu hingga sampai ke tangan Arunika sendiri. Tertegun sedikit sang ratu, ia tak bisa membaca apa yang sudah dituliskan juru tulis Kesultanan Samudra Pasai. Jenis hurufnya berbeda. Lama jadinya ia diam membisu, ingin mengatakan
Tak perlu menunggu waktu lama, tiga orang utusan dari Samudra Pasai itu langsung mempersiapkan diri untuk shalat meminta hujan. Ya, hanya diri mereka saja yang diperlukan, tidak ada ritual apa pun atau tumbal seperti yang disebutkan ratu tadi. “Apakah mereka benar-benar bisa dipercaya?” tanya Gusti Ratu dari singgasananya. Ia kemudian meminta agar pelayannya menyiapkan tempat. Ia ingin melihat dari dekat bagaimana caranya tiga orang alim ulama itu meminta hujan. Kursi kayu dibawa oleh dua dayang, lalu Arunika memperhatika dari dekat apa saja yang dikerjakan oleh Azam dan dua adik sepondoknya. Tak hanya sang ratu saja, beberapa petinggi istana pun mulai memperhatikan keanehan gerakan yang dikerjakan tiga orang itu. Terlalu asing, tak akrab di mata para penyembah arwah leluhur itu. Sesekali mereka mengerutkan kening, sesekali pula tertawa, mereka bersujud pada sesuatu yang tak tampak di depan mata. Dikatakan dengan pohon, tiga orang itu tak menyembah langsung ke pepohonan. “Mungkin m
Pagi itu, Gusti Ratu Arunika didandani seperti biasa oleh para dayang. Beberapa kali penari tersebut bersin-bersin. Sebab dari malam ia bak orang gila yang menari tanpa henti di bawah guyuran air hujan. Akibatnya ia sedikit demam dan pusing kepalanya. Padahal ia harus menetapi janjinya untuk membincangkan masalah kedatangan utusan Samudra Pasai.“Kalau masih sakit sebaiknya istirahat saja, Gusti Ratu,” pinta Puspa. Dari tadi hidung sang ratu ia perhatikan meler terus sampai kemerahan. “Jangan, bisa hilang wibawaku di depan mereka,” jawab Arunika. Bersin lagi dirinya, bahkan kini tubuhnya agak menggigil. “Ayo kita temui mereka. Aku sudah janji dari kemaren.” Gustri Ratu berjalan, agak terhuyung dirinya lalu dipapah oleh Puspa dan Jali. Sepanjang perjalanan ia perhatikan tanah di sekitar istana sudah becek karena diguyur hujan deras. Tanaman yang tadinya layu dan kering menjadi segar. Kupu-kupu mulai hinggap di bunga-bunga yang mulai merekah. Begitu juga dengan Azam dan dua temannya.
Sudah dua hari sejak pulang dari mengunjungi rakyatnya, Gusti Ratu Arunika Baiduri demamnya semakin menjadi. Ia hanya berbaring saja semberi memijit kepalanya. Penari itu diurus oleh Puspa dan Jali. Sedangkan Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap tidur seperti orang mati. Tak hanya sang ratu saja yang sakit. Lelaki keturunan Yaman itu juga meriang. Jadi selama dua hari, dua orang berbeda kepentingan itu sama-sama melepas lelah terlebih dahulu. Bedanya, Azam hanya mengurus dirinya sendiri saja. Ia hanya berbaring saja sampai hilang pusing di kepalanya. “Nampaknya, abang kita ini benar-benar meriang,” ujar Rahmat ketika masuk ke dalam kamar Azam. Ia menyodorkan makanan yang dibawa oleh para dayang. Atas permintaan mereka pula hanya ingin memakan sayuran tanpa ikan atau daging saja, demi menjaga kehalalan. “Memang ada meriang yang main-main?” tanya Nuh ketika ia ikut menuangkan air. “Meriang yang diderita oleh abang kita ini yang tingkat tinggi. Maksudnya, merindukan kasing sayang, dari
“Siapa wanita itu, mengapa gerakan tariannya begitu indah. Terlihat lebih segala-galanya dariku.” Arunika sadar, ia mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Wanita di dalam penjara tersebut rambutnya telah banyak uban, tapi wajahnya masih menawan. Ia menengguk secawan air putih, tenggorokannya serasa dialiri oleh kesejukan, air yang berasal dari hujan yang masih terus turun walau tak deras. “Jika para tuan itu aku tahan tinggal di sini, tentu setiap musim kering bisa meminta hujan, bukan? Tapi aku juga jadi tak memikirkan mereka, bukan tidak mungkin ada yang akan mencoba membunuh tiga orang itu tanpa sepengetahuanku. Aku hanya boneka di sini, tidak punya kuasa apa-apa. Para bangsawan seringnya hanya memandang lekuk tubuhku saja.” Sang ratu menghela napas panjang. Jauh pikirannya menerawang. Andai ia tak dijual oleh kedua orang tuanya, tentu ia tak akan mengalami derita seperti sekarang. Namun, jika ia masih hanya berkutat antara rumah dan sanggar saja, ia tak akan pernah juga ber
Ditanya hal seperti itu, bawahan Aditya langsung pergi begitu saja tanpa izin dari Gusti Ratu. Lagi-lagi sang ratu merasa terhina diperlakukan demikian. “Baiklah, kalau kau tak mau memberitahuku, aku cari tahu saja sendiri.” Sang ratu memperhatikan kepergian lelaki itu, ia menghilang di antara taman dan pepohonan. Di sana petunjuk terakhir ratu bisa menemukannya. Azam hanya memperhatikan saja dari belakang. Ia turut prihatin dengan bagaimana kehidupan perempuan di dalam istana, yang ia curi dengar dari beberapa lelaki. Hanya menjadi pemuas saja. Begitu jauh dari kemuliaan. Bahkan bisa dipakai bergantian, sesuka hati lelaki mana yang akan memilih. Sang ratu berjalan sampai ke balai kerajaan. Di sana ia meminta Puspa dan Jali membantu para utusan itu untuk menyiapkan tempat belajar. Lagi-lagi mereka menolak. Beberapa waktu menunggu tak ada yang datang untuk belajar juga, semuanya sepakat mengikuti perintah para bangsawan agar tak menghiraukan kehadiran utusan tersebut. “Puspa, Jali,
“Aku wanita yang sebelum kau datang melayani Gusti Prabu Atma Prabangkara. Akulah Gusti Ratu Pradnya Swari, ratu yang dibuang ketika sudah tak cantik lagi,” jawab wanita itu. Seketika Arunika mematung di dalam penjara. Tak ia tahu sama sekali bahwa permaisuri sebelum dirinya masihlah hidup. “Lalu mengapa Gusti Ratu masih di sini, ayo, kembalilah ke tempatmu. Akan kukeluarkan engkau saat aku sudah kembali, tunggulah.” Arunika hendak terbang kembali ke kamarnya, tapi satu perkataan dari Pradnya membuatnya terdiam lagi. “Tak perlu bersusah payah, Gusti Ratu. Aku sendiri sudah tak disayang lagi oleh Kang Mas Prabu. Dulunya aku sama sepertimu, muda, cantik, dan bergairah. Aku menari demi memenuhi ritual kejamnya. Seperti halnya dirimu, aku diboyong ke dalam istana. Bedanya, aku pasrah dan suka rela menyerahkan diriku. Aku akui kalau aku lemah, aku jatuh cinta dengan gagah raga sang prabu, tak dipungkiri dia tampan dan sangat jantan di mataku. Kau beruntung karena mengikuti kata hatimu. T